Sampit, Koranpelita.com
Menurut Irwan Fakhrudin, warga Kabupaten Kotawaringin Timur ( Kotim) Provinsi Kalteng, yang juga seoang pemerhati ,terkait perhelatan demokrasi kita.
Diungkapkannya, beradu slogan adalah satu-satunya kegiatan produktif perpolitikan kita sekarang ini.Retorika memang menjadi kegemaran politik bangsa yangkita.
Tetapi berlangsung sakarang adalah retorika politik dalam bentuk banal, dangkal,murah dan kosong.Pertandingan argumen di parlemen lebih banyak unsur demagogis, ketimbang pedagogis.
Produk politik kepartaian (koalisi, pilkada,pileg, pilpres), misalnya lebih mengesankan sebuah hasil transaksi bisnis elite partai politik ketimbang upaya pendidikan politik bermutu untuk rakyat.
Oportunisme kekayaan jauh mendahului normativisme demokrasi, politik lebih dilihat sebagai alat kekuasaan demi kegunaan jangka pendek dan bukan sebagai pelembagaan nilai-nilai demokrasi untuk peradaban jangka panjang.
Kualitas demokrasi memang ditentukan oleh kualitas politisi.Reformasi 21 Mei 1998 menghasilkan lembaga-lembaga politik modern tetapi etika politiknya masih jahiliah.
Sesungguhnya sejarah politik kita pernah memiliki masa ketika retorika diolah dalam kualitas.Periode yang disebut “demokrasi liberal” 1950-an.Itu adalah sebuah masa ketika retorika politik diukur berdasarkan mutu argumen di parlemen dan bukan jumlah spanduk/baliho di jalanan.
Periodeitu adalah sebuah masa ketika politik bekerja dalam kendali etika. Ada debat publik keras, tetapi kehangatan sosial tetap terjaga.Ada prinsip di dalam menyelenggarakan politik praktis, tetapi tidak jatuh dalam seteru pribadi.Penghargaan terhadap kualitas manusia menjamin tidak terjadi “pembunuhan karakter” dalam perselisihan politik.
Dalam satu istilah,ruang publik berfungsi secara beradab.Di era itu politik lebih dihayati sebagai inisiasi kebudayaan ketimbang transaksi “dagang sapi”.
Keinginan untuk membangun peradaban demokrasi adalah pikiran bersama yang menjadi dasar pergaulan politik di masa itu.Ada kondisi citizenship yang sehat, yaitu tumbuhnya kesadaran hak-hak politik, sekaligus berlangsungnya dinamika politik yang terbuka, jujur dan tanpa money politik.
Dari sudut interpretasi teori politik kontemporer, periode tahun 1950-an itu memenuhi semua persyaratan normatif suatu sistem demokrasi, penghormatan integritas individu untuk menjamin hak asasi manusia, berlangsungnya overlapping consensus untuk mencegah sektarianisme,publisitas untuk mengaktifkan ruang publik, dan toleransi yang otentik sesama anak bangsa.
Oleh karena itu, semoga panasnya Pilkada Kotim 23 September 2020 nanti, tidak menghasilkan berbagai ekses substantif yang kebanyakan bernuansa sara, juga tidak memecah belah (divisive) karena berbeda pilihan.
Besar harapan , semoga Pilkada Kotim nanti adalah Pilkada yang berkeadaban,aman,damai, dan persatuan tetap terjaga.( Ruslan AG).