Korupsi Anggota KPU Melukai Demokrasi

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK kali ini menyasar Komisioner KPU Pusat, Wahyu Setiawan. Ia ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) Bersama beberapa orang yang teerlibat suap. dimaksud. Penangkapan ini melukai dokrasi dan menciderei kepercayaan masyarakat terhadap kuaitas kinerja KPU yang dalam banyak hal dinilai mengandung kejanggalan.

OTT terhadap pelaku korupsi kali ini terasa istimewa sebab menimpa penyelenggara pemilu yang harusnya menjaga marwah demokrasi di tanah air. Lebih istimewa lagi, dalam berbagai kesempatan sang komosionere, Wahyu Setiawan secara kelembagaan sering menyatakan bagaimana kinerja lembaganya menjaga marwah demokrasi itu dengan mempergunakan anggaran sedemikian besar yang dipercayakan kepada Lembaga penyelenggara pemilu degan sebaik baiknya jauh dari korupsi

Modus

Modus yang dilakukan oleh Wahyu Setiawan adalah dengan mengakali, yang secara mencolok mata menyimpangi dari ketentuan hukum terhadap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR. Cerita awalnya, ditangkapnya komisioner itu dilatarbelakangi modus terkait transaksi suap terhadap penetapan PAW dimaksud.

Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) juga menetapkan Harun Masiku sebagai tersangka kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024 yang juga menjerat Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dimaksud. Harun berposisi sebagai pihak yang memberikan uang kepada Wahyu Setiawan agar membantunya menjadi anggota legislatif melalui mekanisme pergantian antar waktu ( PAW). Namun sang penyuap hingga kini masih belum ditemukan keberadaannya.

Kronologi suap yang melibatkan Harun Masiku itu sendiri berawal saat rekan satu partai Harun, yakni Nazarudin Kiemas dari fraksi PDI Peerjuangan meninggal dunia dan dicoret sebagai peserta Pemilu 2019. Nazarudin Kiemas merupakan politisi PDI-P yang mencalonkan diri sebagai caleg DPR RI dari Dapil Sumatera Selatan I. Namun, dalam prosesnya Nazarudin meninggal pada Maret 2019 atau sebelum hari H pemungutan suara pada 17 April 2019 lalu.

Utuk itu, pada 20 September 2018, KPU menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) DPR RI Pemilu 2019 dapil Sumatera Selatan I. Ada delapan caleg PDI Perjuangan yang ditetapkan dalam DCT itu. Pelantikan tersebut dihadiri oleh Ketua KPU Arief Budiman serta komisioner KPU Ilham Saputra dan Pramono Ubaid Tanthowi. Pelantikan dilakukan di ruang rapat lantai satu kantor KPU pusat, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Pelantikan berlangsung tertutup.

Dalam kasus ini, Wahyu disebut meminta dana sebesar Rp 900 juta kepada Politikus PDI-Perjuangan, Harun Masiku untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR 2019-2024 melalui mekanisme pergantian antar-waktu yang kemudian menjadi bermasalah karena harusnya yang menjadi anggota hasil PAW adalah yang menduduki peringkat perolehan suara tertinggi berikutnya.

Atas permintaan dana tersebut, pada pertengahan Desember 2019, Harun memberikan Rp 200 juta kepada Wahyu Setiawan. Uang itu diterima Wahyu melalui mantan anggota Badan Pengawas Pemilu yang juga orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fredlina, di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Selanjutnya, pada akhir Desember 2019, Harun kembali menitipkan uang kepada Agustiani sebesar Rp 450 juta.

Rencananya, dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 400 juta akan diberikan ke Wahyu. Namun, belum sampai ke tangan Wahyu, KPK telah menangkap pihak-pihak terkait melalui OTT dimaksud, dengan bukti uang dollar singapura.

Memprihatinkan dan Melukai Demokrasi

Penetapan sang komisoiner sebagai tersangka korupsi dalam OTT, memberikan kesan memprihatinkan. Masalahnya, lembaga itu merupakan hulu dari penjaga demokrasi di tanah air.

Penetapan yang tidak sesuai ketentuan peraturan perundangan, yang didasari oleh suap menjadikan anggota DPR yang dilantik dibebani dengan motivasi untuk mengembalikan dana yang diberikan sebagai suap. Berbagai tindakan akan dilakukan demi tujuan mengembalikan dana dimaksud. Caranya apa lagi kalau tidak dengan cara culas.

Suap sebesar itu dalam korupsi yang sifatnya suap terbilang sangat besar. Memang berbeda dengan korupsi yang sifatnya menggarong uang negara. Sementara dari uang pribadi tentunya diperoleh dengan cara yang tidak halal pula. Inilah yang memperihatinkan, bagaimana cara memperoleh kedudukan dilakukan dengan melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Paga sisi lain, tindakan itu jelas jelas melukai demokrasi sebagai soko guru kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di tanah air. Bahwa pengangkatan yang dimuluskan dengan suap itu melibatkan pejabat tinggi partai (PDI-P seharusnya diusut tuntas. Sebab pengangkatan PAW seseorang secara langsung juga harus ditandatangani oleh petinggi partai bersangkutan.

Bagaimana penyimpangan terhadap ketentuan hukum dimaksud terjadi dengan legitinmasi dari petinggi partai secara langsung (Ketua Umum dan Sekretaris Jendral Partai), juga harus diklarifikasi. Apa lagi dipahami bahwa pada hakekatnya korupsi tidak akan bisa terjadi dengan atau atas dasari pribadi. Pada kasus suap ada yang menyuap dan disuap serta ada legitimasi administrasi dari petinggi partai sebagaimana dimaksud.

Dengan demikian tidak ada alasan selain mengust korupsi yang melibatkan partai politik ini, untuk menjaga marwah demokrasi di tanah air dari tindakan yang pada akhirnya mendegradasi kualitas para wakil rakyat. Bagaimana ternyata mereka yang duduk sebagai wakil rakyat itu melakukan perbuatan melawan hukum secara nyata dengan melakukan korupsi.

Hal yang sangat mahal pada kasus ini adalah nilai kepercayaan masyarakat terhadap para wakilnya dan kualitas kinerja lembaga perwakilan itu senddiri secara umum. Maknanya bahwa kasus ini harus tidak dipandang secara individual yang menjadi dasar interaksi munculnya suap yang dihukumi sebagai tindak pidana korupsi.

Berbagai pihak yang terlibat, kalau diperlukan sampai kepada terjadinya korupsi partai politik harus diusut.

Harus dilakukan pengusutan secara tuntas apakah seorang komisioner KPU hanya bermain sendiri pada kasus ini. Meskipun sudah ditetapkan tiga komisioner, apakah tidak ada kemujngkinan ada anggota lain yang terlibat sehingga hal itu menjadi korupsi yang bersifat kelembagaan. Pengusutan dan klarifikasi bersifat terbuka kepada rakyat sebagai akuntabilitas dan pertanggungjawaban secara kelembagaan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.***

About redaksi

Check Also

Inovasi Ketahanan Pangan Kota Semarang Kembali Raih Penghargaan Tingkat Nasional

Semarang,KORANPELITA com – Inovasi Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang di bidang ketahanan pangan kembali mendapatkan apresiasi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca