Oleh: Nazaruddin
Tidak terelakkan perhatian kader PAN seluruh Indonesia saat ini tertuju pada serangkaian peristiwa yang terjadi di DPP dalam proses-proses pengambilan keputusan yang riuh dan gaduh menjelang Kongres.
Suasana chaotic dan gaduh semacam ini, yang eskalasinya semakin memanas hingga diujung kepantasan dan jadi tontonan masyarakat Indonesia serta mengancam keutuhan Partai, dipicu dan diperparah oleh sikap paranoid yang muncul akibat nafsu untuk berkuasa kembali dari pihak tertentu. Situasi ini sungguh membahayakan Partai. Melihat resiko yang harus ditanggung oleh Partai akibat dari situasi ini, layak diduga bahwa situasi ini terkait dengan kepentingan-kepentingan tertentu pihak eksternal terhadap PAN.
Sejak awal sikap paranoid itu telah terindikasi dengan dilakukannya pencopotan terhadap ketua-ketua DPD selaku pemilik hak suara di beberapa wilayah yang ditengarai tdk akan mendukung petahana. Juga bongkar pasang pengurus harian DPP sehingga orang-orang baru yang sblmnya tdk dikenal tiba-tiba muncul sebagai pengurus harian DPP. Pengurus-pengurus baru ini yang kemudian aktif menggunakan media untuk membela habis-habisan ketua umum sekarang Zulkifli Hasan.
Puncak kegaduhan adalah Rapat Harian DPP yang diselenggarakan dengan agenda untuk menentukan tempat dan tanggal kongres. Sebuah hal yang mestinya bisa dimusyawarahkan dengan baik dengan mengkompromikan jalan tengah seperti memilih tempat yang dianggap netral misalnya, justru berakhir dengan cara yang memalukan. Sulit dipahami bahwa untuk agenda semacam itu hrs ditempuh cara2 yang tidak wajar dengan menutup dialog dan dengan tergopoh-gopoh menutup sidang dan membawa palu sidang. Ini semua kan tidak dpt dipungkiri mrpk refleksi dari sikap paranoid. AD/ART partai sudah menggariskan mekanisme pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah mufakat atau voting. Kedua mekanisme itu tidak dilaksanakan dan diganti dengan cara yang otoriter.
Yang membuat suasana kongres ini semakin gaduh adalah diproduksinya narasi-narasi PAN ingin melepaskan diri dari bayang-bayang dari Amien Rais. Slogan dan narasi itu jelas maksudnya untuk mengamputasi peran Amien Rais dari PAN ke depan. Ini sebuah hal yang amat serius. Bagi kader yang berpikir, situasi ini menimbulkan pertanyaan besar. Pertanyaan itu adalah mengapa ada pihak-pihak yang ingin mengamputasi Amien Rais dari PAN? Jawabannya sederhana, karena Amien Raislah yang selama ini menjadi batu sandungan PAN menjadi bagian dari rezim jokowi. Dan mengapa narasi-narasi ingin melepaskan diri dari bayang-bayang Amien Rais itu gencar dipublikasikan ke publik? Ini semacam “laporan kinerja” kepada pihak-pihak terkait bahwa mereka sudah berjibaku melawan Amien Rais. Pihak-pihak yang haus kekuasaan di PAN saat ini sudah kebelet dan tidak bisa lagi menahan nafsu menjadi bagian dari kekuasan.
Jadi hiruk pikuk pertarungan menjelang kongres ini tidak lain dan tidak bukan adalah pertarungan antara kubu yang ingin mempertahankan independensi PAN – bila perlu mengambil posisi sebagai oposisi, karena memang itu aspirasi mayoritas konstituen PAN, melawan para “cebong biru” yang sudah tidak bisa menahan syahwat kekuasaan dengan membawa PAN ke pelukan kekuasaan. (Penulis, Ketua DPW PAN DIY)