Capek tak sirna hanya dibayar dengan tidur pulas semalaman. Tapi agenda lain sudah menanti. Sisa bayangan Banjarmasin, belum terhapus, namun pagi-pagi sekali sudah bersiap ke Gambir, mengejar bayangan lain: Cirebon.
Yaa, pasti ada yang menarik untuk dikisahkan. Itu yang membuat perjalanan saya ke Cirebon, tetap bersemangat. Agenda kali ini mengunjungi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Cirebon dalam rangkaian menyusun Arsitektur LKM.
Kereta Argo Muria menjadi pilihan, minimal untuk tidak terlalu buru-buru sampai Cirebon. Berangkat tepat pukul 6.55, niatnya melanjutkan tidur di kereta. Tapi rupanya tak terwujud karena lebih asyik ngobrol dengan Dinar.
Sayangnya, pemandangan sepanjang perjalanan sekitar tiga jam kurang menarik, karena persawahan baru saja dipanen. Memandangi sisa batang padi yang kering, rasanya mata ikut kering.
Saat kehabisan perbincangan dengan Dinar, secara cepat, saya mengedarkan pandangan ke dalam gerbong. Terlihat, penumpang yang lain lebih memilih pulas. Saya iri. Dan, berusaha ikut mengatupkan kelopak mata. Juga Dinar.
Tapi rasanya baru terlelap sekejap, tahu-tahu, kereta sudah merapat ke Stasiun Cirebon. Kami harus bergegas turun karena kereta hanya berhenti sebentar untuk lanjut ke Semarang.
Sampai stasiun sudah dijemput oleh pak Lutfi, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Cirebon. Kunjungan pertama adalah PT LKM BKD Mandiri yang merupakan penggabungan dari 5 BKD di Cirebon.
Pendirian LKM ditujukan untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah yang belum terlayani oleh perbankan (non bankable).
Harapannya dengan memperoleh pembiayaan dari LKM, masyarakat kecil dapat meningkatkan usahanya untuk kesejahteraan keluarga.
Pasti tak mudah menjalankan usaha LKM karena saingan terdekatnya adalah Koperasi Simpan Pinjam, BRI Unit Desa, BPR, Fintech Lending bahkan rentenir yang juga memberikan pembiayaan kepada masyarakat kecil.
Tentu dengan layanan yang cepat, analisis yang tepat terhadap calon peminjam serta pengelolaan yang efektif menjadi kunci sukses sebuah LKM.
Selesai kunjungan pertama, sudah mendekati waktu sholat Jum’at. Sengaja memilih masjid di sentra batik Trusmi, agar saat para bapak sholat Jumat, saya, Dinar dan Naomi bisa memilih batik di toko Salma langganan saya.
Biasa. Naluri emak-emak semuanya ingin dibeli, sehingga tanpa terasa bawaan kami bertiga sudah bertambah beberapa kain dan baju batik. Lanjut makan siang empal asem dan empal gentong H Apud yang terkenal. Karena lapar dan penuh pengunjung suasana makin panas hingga lupa memotret diri.
Kunjungan kedua adalah Bank Wakaf Mikro (BWM) Buntet Pesantren yang berbadan hukum Koperasi Jasa dengan ijin usaha LKM syariah. Modal operasionalnya diperoleh dari dana wakaf para donatur.
Berbeda dengan LKM pada umumnya, BWM tidak menerima simpanan masyarakat namun hanya menyalurkan pembiayaan tanpa agunan kepada kaum ibu dengan pola tanggung renteng diantara anggota kelompok.
Tujuan pembiayaan adalah memberikan modal bagi kaum ibu yang memiliki usaha mikro atau mau berusaha di sekitar pesantren agar lebih berkembang guna meningkatkan kesejahteraan keluarga. Untuk menekan risiko gagal bayar, BWM Buntet menerapkan program Halaqoh Mingguan (Halmi).
Melalui strategi Halmi, pengelola BWM dan nasabah bertemu tiap pekan yang diisi dengan kegiatan pengajian, pembinaan dan pendampingan sekaligus tempat membayar angsuran pinjamannya.
Pola pembiayaan BWM ini mirip dengan pembiayaan Mekaar dari Penanaman Nasional Madani yang khusus diperuntukan bagi kaum perempuan. Pembiayaan awal diberikan 1 juta dengan sistem bagi hasil yang terjangkau sebesar 3% dan diangsur selama 50 pertemuan.
Karena tanpa agunan maka syarat utama adalah kejujuran, kedisiplinan hadir dan menepati janji mengangsur setiap Halmi. Untuk mendapatkan kenaikan plafond pembiayaan maka tingkat kehadiran harus diatas 75% dari total pertemuan Halmi.
Kembali dalam kesempatan tersebut saya mengingatkan kepada ibu ibu sebagai pengelola keuangan keluarga agar selalu menyisihkan hasil usahanya di depan untuk angsuran dan bukan menyisakan setelah berbagai keperluan. Hal ini untuk mendisiplinkan diri mendahulukan kewajiban dan persediaan dana darurat.
Pada umumnya ibu ibu tersebut produktif dalam membuat aneka olahan makanan namun kesulitan dalam pemasarannya. Sehingga saya menyarankan agar pengelola BWM dapat bekerjasama dengan pemilik toko batik di Trusmi atau toko oleh oleh untuk menitipkan hasil produksi mereka.
Setelah selesai kunjungan, pak Lutfi mengajak kami mampir bersilahturahmi ke Ketua Dewan Pengawas Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren , yang rumahnya bersebelahan dengan BWM.
Kegiatan usai sudah, kini saatnya membeli oleh oleh di toko Pangestu. Kembali aneka makanan sambal goreng teri kacang, abon udang ebi, rengginan, permen jahe, teh upet segera masuk dalam dos sehingga menambah tentengan. Masih ada lagi mangga gedong gincu dan ketan gurih pemberian pak Lutfi. Meskipun bawaan sudah beranak pinak, rasanya kurang lengkap bila belum mampir ke Nasi Jamblang bu Nur yang terkenal dengan lauknya yang aneka rupa.
Perjalanan kembali ke Jakarta dengan Cirebon Ekspres sore itu makin lengkap sambil menikmati nasi jamblang ditemani segelas teh panas. Sampai Jakarta disambut keindahan monas dalam dekapan malam bulan purnama.(*)