Jakarta, Koranpelita.com
Harapan Mintarsih buat mendapat keadilan lagi-lagi terganjal. Sidang gugatan perkaranya di Pengadilan Negeri Karawang Rabu pekan lalu membuatnya kecewa.
Gugatan perkara bernomor 48/Pdt.G/2019/PN.KWG justru menimbulan banyak tanda tannya. Dia menilai pengajuan perkara tanah dengan sertifikat Rosid bin Saijo yang tumpang tindih yang diterbitkan pada tahun 2014, terdapat hal yang mencurigakan.
“Sertifikat tahun 2014 ini dibuat atas dasar fotocopy sertifikat tanah sementara 50 tahun silam, yang diganti dengan sertifikat
pengganti yang asli,”ujar Mintarsih kepada sejumlah media termasuk KORANPELITA.COM belum lama ini di Karawang, Jawa Barat.
Fotocopy sertifikat sementara tidak disertai adanya surat laporan hilangnya sertifikat sementara ke Kepolisian,” jelas Mintarsih dalam keterangan tertulisnya,
Tak hanya itu, Mintarsih lantas bercerita kalau proses penunjukan letak tanah oleh tergugat, tanpa dilakukan plotting oleh BPN Karawang. Sampai-sampai, lanjut dia, pihak BPN Karawang menyatakan BPN tidak dapat mengerti mengapa tergugat menunjuk tanah yang tumpang tindih.
“Pada sertifikat tergugat tercantum nama-nama pemilik tanah perbatasan. Namun nama-nama pemiiik tanah perbatasan yang tercantum di sertifikat tergugat berbeda dengan fakta pemilik tanah perbatasan, sehingga lokasi tanah tergugat dengan sendirinya terbukti salah letak. Sedangkan nama-nama pemilik tanah perbatasan dari sertifikat penggugat sama dengan fakta nama pemilik di lapangan,” tuturnya.
Mintarsih juga kecewa lantaran pengacara dari penggugat tanpa izin membuat perubahan gugatan yang mengajukan sita jaminan bukan terhadap sertifikat pihak tergugat, namun justru sita jaminan terhadap sertifikat penggugat.
“Pada sidang terakhir Majelis Hakim telah memberikan kesempatan untuk menyerahkan tambahan alat bukti. Namun penggugat kecewa sekali saat salah seorang dari Majelis Hakim menyatakan bahwa penggugat tidak boleh menyerahkan alat bukti berupa DPPKAD tahun 2002, sedangkan DPPKAD tahun 2012 diminta untuk dicoret,” ungkapnya
Seperti diketahui alasan yang dikemukakan adalah bahwa DPPKAD tahun 2002 yang ada di kelurahan telah dijadikan alat bukti oleh pihak tergugat. Padahal Penggugat akan memberikan komentar yang berbeda.
Pihak Tergugat memberikan komentar bahwa sertifikat Tergugat ada di peta. Sedangkan Penggugat akan memberikan komentar bahwa lokasi sengketa ada digambar dengan kode 1 (yang tercantum di angka terakhir PBB Penggugat) yang berarti bahwa pemiliknya adalah Penggugat.
“Sedangkan angka PBB terakhir dari Tergugat bernomor 64, yang berarti bahwa pada tahun 2002 lokasi tanah Tergugat tidak berada di tanah sengketa dan tidak terdaftar di peta yang dijadikan alat bukti,” ungkap Mintarsih.
Langkah selanjutnya Mintarsih berencana mengadu kepada Komisi Yudisial dan Ombudsman agar kelak Mintarsih mendapatkan keadilan atas nama hukum.(han)