Menuju sewu kutho. Begitu kira-kira tulisan ini diniati. Sejak lama, saya memang berniat menulis cerita dari 1.000 kota yang pernah saya langkahi. Nanti pada waktunya, saya akan tuliskan kota paling bersejarah dalam hidup, paling mengesankan, serta paling menentukan nasib saya.
Bukan kota besar. Karena dari dulu ya memang hanya seperti itu kotanya. Tapi akan saya tuliskan banyak hal yang sinengker, cerita yang tak banyak disibak.
Pada tulisan yang rencananya menjadi penutup buku Sewu Kutho itu, akan saya ajak Anda menyusuri, menyisiri, dan menyusup hingga ke sudut-sudut paling rahasia.
Setelah kota itu saya kunjungi (lagi) semua tulisan bisa Anda baca dalam sebuah buku. Ini adalah buku NKS jilid 2. Agak berbeda, karena saya menulisnya secara lebih santai. Tidak ada beban, tidak ada yang sedih-sedih.
Dan, di antara jeda mengikuti acara Global Social Security Week 2019 yang diadakan oleh International Labour Organization (ILO) di Jenewa, saya ingat buku NKS jilid 2, yang masih jauh dari target. Tulisannya juga masih jauh dari angka 1.000. Untungnya saya orang Jawa yang masih kuno, sehingga saat menguncapkan sewu kutho, tak lantas harus benar-benar seribu kota yang saya tuliskan.
Bagi orang Jawa (barangkali juga orang Indonesia) tempo dulu, sewu adalah jumlah terbanyak yang bisa dipahami. Meski kadang jika dihitung tidak ada seribu, orang tetap menyebutnya sewu karena saking banyaknya.
Sangat mudah dijumpai contoh tentang sewu yang tidak berarti seribu. Ada masjid pintu seribu di Tangerang. Sebuah bangunan tua di Semarang yang kini menjadi destinasi pemburu selfie, juga disebut Lawang Sewu. Ada lagi Candi Sewu. Atau, Kepulauan Seribu.
Barangkali, seribu yang barangkali benar-benar seribu adalah program 1.000 aktuaris. Percayalah, OJK akan mengejar target hingga mencapai jumlah 1.000 orang aktuaris untuk memenuhi kebutuhan.
Di Jenewa itulah, niat menulis cerita dari seribu kota, kembali menyala. Karena, setiap kota memiliki cerita. Juga Jenewa.
Kalau boleh jujur, ke Jenewa kali ini sebenarnya tidak dalam perencanaan diri. Tapi entahlah. Apakah ini yang dinamakan rezeki atau sebenarnya lebih tepat karena ditugasi. Tugas yang tentunya tak elok jika ditolak.
Suatu ketika saya diminta oleh Pak Maliki Bappenas untuk turut hadir di Global Social Security Week 2019 yang diadakan oleh International Labour Organization (ILO). Sebuah agenda penting yang tentu dihadiri pejabat papan atas dari berbagai negeri yang terbagi dalam dua acara: high level conference dan technical segment.
Kata Jenewa sudah sangat lumrah terdengar di telinga, namun mendatangi kota di negara Swiss adalah mimpi yang menghampiri. Mimpi cah ndeso untuk dapat menjelajah dunia, menapaki banyak kota: sewu kutho.
Ini untuk pertama kali, saya menjejakkan kaki di kota Jenewa atau Geneva atau Geneve, Swiss. Yang terbayang adalah kota lama yang dikelilingi oleh pedesaan yang asri dan pegunungan. Pedesaan yang memberikan pasokan bermacam makanan bagi seluruh Swiss.
Saya berangkat bersama Pak Maliki dan Bu Annissa dari Bappenas. Tidak langsung, karena harus mampir di Doha, sebelum akhirnya benar-benar sampai di Jenewa. Delegasi dari Indonesia yang hadir sebenarnya cukup banyak.
Ada Pak Hilman dari TNP2K Kantor Wapres yang jago bahasa Jerman. Ada pula Bu Puspita dan Pak Eko rekan kerja di bpjamsostek. Ada dua lagi mewakili serikat pekerja. Di hari ketiga Bu Vivi dari Bappenas juga turut hadir untuk menjadi nara sumber di hari keempat, Kamis pagi.
Ada satu hari yang bisa dipakai untuk mempelajari bagaimana nenek moyang bangsa Swiss membangun peradaban di kota Jenewa. Satu hari sebelum acara dimulai. Waktu yang hanya sehari, sudah pasti tak akan cukup, sekalipun hanya kulit luar dari peradaban yang terlihat mata. Tapi masih beruntung dan mesti dimanfaatkan secara seksama.
Saya mencoba mencari tempat yang tepat untuk mengenal Jenewa. Lalu, ketemu Reformation Wall, sebuah pilihan yang menurut saya tidak salah. Sudah pasti saya tidak sendiri. Sebab, momen mengunjungi sebuahperadaban lengkap dengan cerita di baliknya, tidak enak dilakukan seorang diri.
Dinding reformasi memiliki ukuran panjang 100 meter dengan tinggi 7 meter. Ada pahatan tentang tokoh-tokoh sentral tergambar di sepanjang dinding.
Tokoh itu antara lain Guillaume Farel (pendeta pertama mengabarkan Reformasi di Jenewa), John Calvin (pemimpin gerakan Reformasi dan bapak rohani Jenewa), Theodore Beza(penerus Calvin yang menekankan Calvin’s doctrine of predestination), John Knox (imam gereja di Skotlandia, teman dari Calvin, dan pendiri Presbyterianism di Skotlandia), Martin Luther (Bapak Reformasi yang berasal dari Jerman), dan Ulrich Zwingli yag dikenal sebagai pembaharu berasal dari Zurich Swiss.
Menjauh dari Dinding Reformasi, saya melihat ada kursi sangat besar saat perjalanan pulang ke hotel. Ya, Kursi rusak (patah satu kakinya) atau broken chair. Sebenarnya kursi besar itu adalah sebuah monumen. Monumen dari kayu ini berada persis di depan gedung United Nations, atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Broken chair memiliki tinggi 12 meter. Didirikan pada tahun 1997. Ini adalah sebuah bentuk penolakan kekerasan bersenjata terhadap warga sipil. Simbol yang sangat menarik sekaligus mahakarya yang tak lekang.
Monumen ini seolah menggambarkan bahwa orang sipil yang tak tahu peperangan menginjak ranjau pasti dia akan cacat seperti kehilangan kakinya.
Jenewa termasuk kota yang sangat indah yang pernah saya kunjungi. Indah dari kaca mata cah ndeso sangat sederhana, dilihat dari tingkah keramahan kota dan warganya. Warga kota Jenewa tergolong sangat ramah seperti di ndeso yang setiap ketemu akan menyapa dengan “Bonjour”. Kita seolah tidak sedang di negeri orang.
Jenewa masuk dalam kota terbesar urutan kedua di Swiss (saya yakin setelah Zurich walau belum pernah mengunjunginya). Kota yang memang menawarkan berbagai keindahan. Termasuk danau Jenewa yang melengkapi keindahan kota.
Keindahan itu, semakin terasa surealis, pada pagi hari. Saya menikmatinya, sambil lari pagi, mengusir dingin. Saya lari di tepian Danau Jenewa lalu mengulangi kembali menikmati indahnya Danau Jenewa pada sore hari menjelang matahari menghilang.
Bisa menikmati sekaligus menyusuri tepian Lake of Geneva atau Danau Jenewa, adalah kebahagiaan yang nyata. Segala kepenatan tubuh dan stres yang menyelimuti pikiran akan terlepas, hilang tak tersisa.
Danau yang luas dan kilau jernih airnya, sangat memukau. Sungguh. Mampu menenggelamkan kegalauan hati. Semua orang bebas menikmatinya tanpa harus membayar, kecuali akan menyewa perahu, jika ingin menikmati suasana kota dari tengah danau.
Terbayang jika musim panas tiba, pasti banyak yang berenang atau bermain air di tepian danau.
Dari tepian Danau Jenewa ini, tampak icon lain dari kota Jenewa. Air mancur yang super tinggi yang mencapai 140 meter ke atas. Air mancur di Danau Jenewa itu, masyhur sebagai Jet d’Eau.
Masih di sekitaran danau, datanglah ke Restaurant La Perle Du Lac. Ini adalah salah satu pilihan terbaik untuk menikmati makanan khas Jenewa sambil disuguhi suasana Danau Jenewa.
Maka kenyang sudah pasti di tangan (lebih tepatnya di perut) dan mata jelas dimanjakan oleh pemandangan danau yang memukau.
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS ...bersambung