Ketika malam saya terjaga dan sulit bertemu kantuk, menulis merupakan aktivitas menyenangkan dan menenangkan. Apalagi menulis tentang negeri yang teramat saya cintai. Ambon adalah bagian dari negeri yang belum lama saya kunjungi tapi mungkin akan saya datangi lagi dan lagi.
Dalam tulisan sebelumnya, saya seharian beraktivitas dengan OJK baik di ultah OJK, kunjungan OJK ke bpjamsostek, dan seminar Program 1000 Aktuaris yang ditutup dengan menikmati sunset ditemani rujak di Pantai Natsepa.
Rujak Natsepa menjadi penutup hari yang menyegarkan dan terasa sangat khas Ambon. Rujak ini dibumbui kacang tanah yang dominan, gula merah, dan parutan buah pala tanpa ada tambahan air kecuali air yang datang dari buah belimbing yang ikut diulek.
Sudah itu kenyang. Namun ritual makan malam tetap dilakukan walau sekedar cara untuk menghormati tuan rumah. Maka dipilih lah makanan yang menyajikan variasi makanan dan bukan hanya ikan. Bukan bosan ikan tapi perlu variasi.
Berikutnya istirahat. Tidur, kegiatan yang menyenangkan. Apalagi saya memang butuh tidur yang cukup dengan kualitas yang baik. Karena esok saya ingin jalan pagi, mencari keringat yang lama tak didapat.
Dan pukul 06.00 WIT saya sudah siap. Tidak sendirian, karena ada Pak Kakacab, Para Kabid, dan bpjamsostek runner dari Cabang Ambon Maluku. Saya jalan pagi menuju jembatan merah putih. Sebuah target yang tak terlalu berat untuk dicapai. Namun ini target yang penting agar dapat gambar yang baik saat dipampang di dinding sosial media. Juga, untuk sebuah alasan: sarapan pagi yang lebih bergizi.
Hari itu hari Jumat dengan acara memang sudah tidak terlalu padat. Saya perlu menunggu penerbangan yang hanya ada sekali, pada pukul 15.00 WIT, dengan pesawat yang datang dari Jakarta.
Banyak diskusi dengan para laskar jaminan sosial ketenagakerjaan Maluku. Dari bagaimana mencapai target kepesertaan dan iuran, sampai bagaimana mengisi waktu saat akhir pekan datang. Sayang memang olah raga air seperti stand up paddle belum masuk di wilayah yang lebih dari 90 %-nya adalah berisi air.
Sambil sarapan pagi diskusi informal itu, terasa lebih jujur. Tak ada yang perlu ditutupi atau dilebih-lebihkan. Terasa apa adanya tanpa was-was ada apa-apanya. Saya pun jujur, sebenarnya ingin mencicipi nasi kuning Ambon, tapi sayangnya pagi itu nasi kuning datangnya terlambat.
Kenyang. Selanjutnya, saya ajak semua bersiap untuk bekerja kembali. Saya berencana menengok desa sadar jaminan sosial ketenagakerjaan. Saya sering ditanya berbagai pihak tentang program desa sadar jaminan sosial ketenagakerjaan.
Mumpung ada waktu saya pun ingin pahami realita di lapangan, termasuk kendala yang dihadapi. Semestinya desa seperti ini juga akan menjadi contoh bagi desa lainnya yang terdekat untuk kemudian mau megikutsertakan pamong desa, aparat desa, serta masyarakatnya untuk mengikuti program jaminan sosial.
Menuju desa sadar ternyata sayang juga jika tidak bergaya di depan kamera. Saya mampir ke beberapa spot penting sambil tentunya berhitung agar dapat berjumatan sesuai jadwal.
Jadilah saya berpose di Pantai Batu Kapal yang masih sepi. Atau karena masih terlalu pagi jadi memang sepi. Saya datang ke Batu Kapal dengan melewati jalan turunan beranak tangga. Hanya saya, Pak Lias Muin (Kakacab), dan Mas Arya yang menikmati indahnya batu yang membentuk seperti kapal besar.
Secara kreatif penduduk setempat memberi asesoris yang menguatkan kesan tebing batu itu sebuah kapal besar. Tidak salah jika disebut Batu Kapal.
Keindahannya tidak hanya berhenti di situ. Pantai juga dihiasi oleh batu dari ukuran kecil hingga sebesar kepalan orang dewasa yang seperti dipilih menggantikan pasir yang lembut.
Ada lubang besar di batu tersebut. Di dalamnya ada spot sangat indah perpaduan air laut yang sangat jernih dan batu yang tersusun hingga kita bisa menuruninya hingga sangat bawah untuk misalnya saja, mandi di dalamnya. Jangan khawatir. Ada tempat ganti baju dan toilet yang lumayan.
Kalau melancong ke Ambon, rasanya memang harus menikmati indahnya Pantai Batu Kapal. Destinasi ini adanya di Desa Lilibooi, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Biar tambah sumringah, siapkan baju renang dan baju ganti.
Dari destinasi Batu Kapal yang menawan, saya beranjak ke destinasi lain yang tak kalah mempesona: Desa sadar jaminan sosial ketenagakerjaan.
Memang. Beberapa desa telah dinobatkan sebagai Desa Sadar Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Desa itu sebagian besar perangkat desanya dan masyarakatnya melek jaminan sosial. Hari itu saya ingin memastikan bahwa desa tersebut ada, termasuk lokasinya dimana dan sebagainya.
Hal ini penting. Agar jangan sampai ada desa sadar fiktif. Siluman, karena desa sadar yang sebenarnya tidak ada wujudnya. Tapi kecemasan saya soal desa sadar fiktif hilang, begitu sampai di sebuah spot foto dengan latar belakan laut yang menakjubkan. Dan jelas, itu, bukan desa sadar siluman.
Lega karena desa sadar benar-benar ada, saya berburu Ikan Morea. Tempatnya di sebuah sungai di Larike. Saya diajak melihat ikan sidat atau seperti belut dengan ukuran raksasa. sangat besar. Ikan ini namanya ikan morea. Ukuran panjang ikan morea antara 1 sd 1,5 meter dengan diameter 15 sd 20 cm.
Sangat jinak dan sudah terbiasa berinteraksi dengan manusia, jadilah ikan Morea suguhan menarik. Tapi para turis harus ditemani oleh pawang (tour guide ala desa Larike) agar ikan morea mau keluar dari sarangnya di bawah batu besar.
Sang pawang tidak membawa dupa, kemenyan atau sejenisnya untuk memanggil si morea. Ia hanya berbekal ikan laut kecil-kecil. Begitu sampai di lokasi yang banyak bersembunyi ikan morea, umpan ditebar, membuat ikan morea berebut untuk menyantapnya. Sementara pawang lain memberi contoh bagaimana mengelus, memeluk, dan membopong ikan-ikan raksasa ini.
Ini memang bukan ikan biasa. Ada kisah beraroma metafisika di balik Ikan Morea. Itu, yang membuat masyarakat Larike, memperlakukan ikan morea dengan baik. Dikeramatkan. Walaupun ikan ini enak untuk dikonsumsi, namun masyarakat justru menjaga dan memberinya makan.
Legenda munculnya belut raksasa ini, dimulai saat dahulu kala ada seseorang yang menancapkan tongkatnya yang kemudian memercik sumber air. Bersama itu, hadir beberapa jenis ikan serta ikan morea.
Saya puas. Mengagumi ikan morea, agaknya tak akan habis. Tapi perjalanan harus dilanjutkan, karena masih ada satu spot yang perlu didatangi, tak jauh dari lokasi ikan morea di Larike. Namanya Batu Layar.
Batu berbentuk layar sebuah perahu berada di pinggir pantai di tepi jalan raya. Dari Batu Layar ini kami langsung mencari masjid yang memang sangat mudah didapatkan di sepanjang jalan. Bersyukur diberi kesempatan untuk menikmati ciptaanNya.
Selesai Jumatan, mendekat ke bandara untuk bersiap meninggalkan Ambon. Walau agak terburu, ikan kuah pala sudah menunggu di sebuar rumah makan dekat bandara. Saya senang bisa berkumpul dan makan bersama dengan keluarga besar saya di bpjamsostek Cabang Ambon Maluku (walau tak semua bisa ikut).
Saya bertemu kembali dengan Mbak Putri rekan kerja yang tiga tahun lalu justru meminta untuk berkarya menopang kinerja Cabang Ambon. Dari bicaranya Putri sudah sangat Ambon. Bukan hanya itu, kini, ia telah memiliki putera yang saya yakin juga logat sangat Ambonnya. Sukses selalu untuk tim Ambon. Sehat selalu untuk Pak Lias Muin dan didukung Bu Muy, Pak Adi, Pak Saleh Bakri. (tamat)
Nami Kulo Sumarjono: Salam NKS