NKS Menulis Ambon -1: Misteri Masjid Tua Wapauwe Ambon

Nama saya Sumarjono. Tapi saya lebih nyaman menyebut, Nami Kulo Sumarjono. Dan, inilah kisah perjalanan saya ke Ambon. Kota indah yang pernah menjadi tempat bangsa-bangsa besar di dunia, singgah.

Selalu ada yang menggetarkan setiap saya ke kota ini. Tiga tahun lalu, saya tergetar. Juga minggu lalu.  Ambon manise, memang tak berhenti memberi indah, serta ramah bahkan hingga ke lidah.

Tak banyak yang berubah. Tetap indah, tetap ramah, dan tetap berjuluk the city of music. Lihat saja di setiap angkot, penumpang tetap dihibur oleh lantunan lagu Ambon yang diputar  keras-keras. Tidak usah takut bising, apalagi terganggu oleh suara sumbang yang berkumandang. Sebab, semua orang Ambon, jika menyanyi, yang keluar tak ubahnya suara surga. Ajiab. Suara orang Ambon memang tidak ada yang fals.

Saya berangat dari Jakarta sudah sangat pagi, tapi baru sampai Ambon menjelang petang. Saat memanjat langit, menembus awan, di Jakarta masih pagi. Lalu, tiga jam di udara, ditambah beda waktu dua jam, membuat jam cepat merapat ke petang hari.

Tentu senang. Terutama, bertemu dengan insan muda BPJS Ketenagakerjaan yang penuh gairah kerja luar biasa. Saya dijemput Ibu Muy Mulya dan Pak Adi di Bandara Pattimura International Airport.

Sumarjono bersama Mas Indra, Pak Adi, Pak Agung, Bu Muy, dan Mas Arya.

Bu Muy dan Pak Adi kurang lebih dua tahun menjadi Kepala Bidang di Cabang Ambon BPJS Ketenagakerjaan. “Pak Kakacab ada?” Begitu pertanyaan yang saya ajukan.  Langsung dijawab, pendek “Ada.”

Tapi pertanyaan saya berikutnya,  menjadi terasa aneh. “Kalau ada, kenapa tidak ikut ke sini Mama?” Saya bertanya percaya diri dengan logat yang tak mau kalah seolah orang Ambon asli. Mama adalah panggilan seperti halnya ibu.

Pertanyaan itu, menjadi aneh, karena logika bahasanya yang tidak sempurna. Coba saja baca jawaban Bu Muy, “Maaf Bapak, maksud saya, Pak Kakacab ada pergi dinas ke Pulau Buru.” Saya tersadar, lalu dalam hati menyebut, Oalah.. ada pergi dinas to. Kalau di Ambon, saya harusnya bertanya dengan bahasa yang lebih lengkap: “Pak Kakacab ada di kantor atau ada pergi?”

Setelah mampir hotel sekejap untuk mengganti pakaian yang lebih selaras demi kepentingan pengambilan gambar, saya berpacu dengan waktu. Waktu luang yang harus diisi dengan selfi, menikmati detik demi detik angslupnya sang bagaskara.

Saya memilih Benteng Amsterdam sebagai tempat yang pas untuk memandang matahari meninggalkan siang. Ternyata sampai lokasi masih harus menunggu. Sebab, matahari yang ditunggu pulang ke peraduan, masih senang menghibur siang.

Rombongan memutuskan mengunjungi masjid Wapauwe, masjid tertua di Ambon.  Ini adalah masjid sangat bersejarah, warisan nenek moyang yang menandakan Islam telah datang sangat lama di Bumi Maluku.

Saya berbincang dengan dua marbot masjid yang terlupa tak menanyakan nama mereka. Yang satu sudah sangat sepuh dengan jengot putih yang rapi. Satu lagi masih muda, mungkin akan menjadi penerus pak marbot yang sudah tua. Dua marbot ini, sekaligus menjadi tour guide di masjid Wapauwe.

Dari kedua marbot tersebut saya mendapat cerita asal-usul Masjid Wapauwe. Menarik, terutama cerita-cerita lisan yang terasa lebih epic. Jika ingin mengetahui secara resmi, tinggal baca prasasti dan  papan berisi sejarah singkat masjid tua tersebut. Hanya sayang, tulisannya tidak lagi mudah dibaca karena dimakan usia.

Masjid Wapauwe ini dibangun pada tahun 1414. Awalnya berdiri kaki bukit. Lebih tepatnya di lereng Gunung Wawane. Karena dibangun di lereng Gunung Wawane, masjid tersebut awalnya dinamai Masjid Wawane.

Pak Marbot Masjid tua Wapauwe Ambon.

Setelah Portugis datang dan juga Belanda menyusul, banyak yang bergerak, bergeser, bahkan dihilangkan. Bukankah sudah biasa, dua negeri itu, banyak mengacak-acak tradisi lama bangsa ini?

Karena tidak aman dan selalu diganggu Belanda, Masjid Wawane dipindahkan. Itu terjadi pada tahun 1614, dua ratus tahun sejak pertama kali masjid didirikan. Pindahnya cukup jauh yaitu ke Kampung Tehala yang berjarak 6 km sebelah timur Wawane. Tetap masih di daerah pegunungan.

Itu masih cerita dari dua marbot masjid yang saya temui. Kampung Tehala yang dipilih menjadi lokasi baru, banyak ditumbuhi pohon mangga hutan atau mangga berabu yang dalam bahasa lokal disebut wapa.

Ada cerita unik yang terus dituturkan. Cerita tentang daun  pepohonan yang gugur. Meski masjid berdiri di bawah pohon, ajaibnya tak satu helai daun yang gugur itu jatuh di atas masjid. Nah, karena masjid berada di bawah (bahasa lokalnya uwe) pohon mangga (wapa), maka penduduk mengganti nama masjid dengan nama Masjid Wapauwe.

Saat Belanda makin menguasai Maluku, terjadi lagi pergeseran. Untuk alasan kemudahan dalam memantau pergerakan masyarakat, Belanda memaksa semua orang yang bermukim di pegunungan untuk turun mendekati daerah pesisir.

Dengan berat hati masyarakat meninggalkan Kampung Tehala termasuk meninggalkan Masjid Wapauwe. Masyarakat pindah ke Kampung Kaitetu di Leihitu yang terletak dekat dengan Benteng Amsterdam.

Soko guru Masjid Wapauwe Ambon yang kokoh.

Berpuluh-puluh tahun masyarakat muslim di Kampung Kaitetu pindahan dari Kampung Tehala ini tidak memiliki masjid. Namun, suatu pagi masyarakat dikejutkan dengan hadirnya Masjid Wapauwe di tengah mereka. Masyarakat Kaitetu yang sudah sepuh mengisahkan,  hari itu bertepatan dengan hari Jumat. Masih pagi  di tahun 1664.

Masyarakat meyakini masjid tersebut pindah sendiri dari Kampung Tehala yang sudah sangat lama mereka  tinggalkan untuk indah ke Kampung Keitetu. Bukan hanya masjid saja yang tiba-tiba hadir di tengah kampung, tetapi ikut pula semua perlengkapan masjid seperti mimbar, bedug, timbangan beras untuk zakat.

Setelah menyapu seluruh area masjid dengan pandangan takjub, saya masuk dan mengambil wudhu. Lalu sholat dua rokaat dan berdoa dalam kekhusukan. Selesai berdoa, lagi-lagi mata saya dibuat tak berhenti keliling, mengagumi semua yang terlihat. Ketuaan yang dijaga dengan sempurna.

Masjid ini, tidak terlalu besar. Hanya 10 meter x 10 meter. Tapi istimewa. Tata arsitekturnya, bahan-bahan yang digunakan, serta (terutama) aura religius saat sholat di dalamnya. Saya merasakan sendiri suasana tentrem beribadah, nyaman berdialog dengan Tuhan, melakukan penyerahan diri secara total: hidup menjadi lebih ringan, karena bisa sumeleh lan sumendhe.

Kayu soko guru, terlihat sangat kokoh. Terbuat dari Kayu Nani Hitam atau orang lebih mengenal Kayu Ulin. Untuk mendirikan masjid ini, tidak ada paku yang digunakan. Kayu dengan kayu, disiku, dipasak, direkatkan dengan cara lama.

Atap masjid dengan ukiran indah.

Pada sebuah sudut, saya  menemukan hiasan unik. Rupanya tidak hanya di satu sudut, tapi di setiap sudut, di bagian atas masjid. Saya foto tiap sudut atas masjid yang tampak jelas ada Lafaz Alloh dan Lafaz Muhammad yang terukir di atas kayu.

Pahatan kayu itu, terlihat sangat indah karena dipadupadankan dengan atap daun sagu mengelilingi kayu. Atap daun sagu sepertinya memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di tanah Ambon. Atap ini, katanya, diganti setiap lima tahun sekali.

Pintu masjid yang sudah nampak keropos dimakan jaman tersender di dalam masjid. Menariknya ada tetenger atau tanda khusus yang mirip dengan tanda pada bangunan tua di Jogja atau di Demak. Seperti dijelaskan oleh marbot muda bahwa tanda itu, ada kaitannya walisongo.

Demikianlah. Dengan menarik nafas panjang, saya menyudahi wisata sejarah spiritual di Masjid  Wapauwe. Masjid yang hadir dan kehadirannya masih misteri namun jelas kekuasaan Alloh mengirimnya agar umat Islam di Kampung Kaitetu dapat beribadah menyembah Alloh di Rumah Alloh tersebut.

Tidak jauh dari masjid, ada Gereja Tua Immanuel. Jadi saya mampir ke bangunan yang tak kalah bersejarah itu. Ini adalah  gereja peninggalan Portugis. Tampak kurang terawat karena memang sudah ditinggalkan umatnya sejak adanya kerusuhan tahun 1999.

Melangkah  200 meter dari gereja,  ada Benteng Amsterdam. Benteng tiga lantai yang dari tempat itu bisa memandang jauh ke laut. Sayang atapnya tidak lagi asli seperti jaman dulunya. Benteng ini awalnya milik Portugis yang difungsikan sebagai loji untuk menyimpan rempah-rempah untuk di bawa ke Eropa.

Namanya juga benteng,  fungsi pertahanan  tampak sangat kentara dari arsitektur bangunan yang kokoh dan megah, seolah tak terjamah usia.

Benteng ini, agaknya juga dirancang anti gempa, sehingga masih sangat kuat walaupun kawasan ini, sangat rawan gempa.  Sayangnya, hanya sedikit informasi tentang sejarah tentang benteng ini.

Masjid tua, gereja yang ditinggalkan jema’atnya, serta benteng peninggalan Belanda, adalah keindahan yang menggenapi semua yang serba elok dari Ambon. Ditambah lagu-lagu merdu, yakinlah Ambon adalah negeri tempat segala yang mempesona. (bersambung)

Salam NKS: Nikmati Keindahan Semesta

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca