Oleh Man Suparman
BERBURU jabatan. Kesan itu, yang muncul dalam menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan digelar secara serentak pada tanggal 23 September 2020. Di berbagai daerah tercatat begitu banyaknya orang yang mencalonkan diri, karena ingin menjadi bupati.
Pilkada sepertinya momentum berburu jabatan, sehingga banyak orang belomba-lomba mencalonkan jadi bupati. Contohnya di Cianjur, tidak kurang dari 20 orang yang mendaftarkan jadi bakal calon bupati, bahkan yang mendaftar ke Partai Gerindra saja, mencapai angka 11 orang. Sungguh, luar biasa. Ini sepertinya cukup untuk satu kesebelasan sepak bola.
Dari 20 orang itu, datang dari berbagai kalangan status sosial masyarkat yang berdea, profesi, politisi, budayawan, ASN, pengusaha, kyai, bahkan orang yang tidak bekerja atau dan lain sebagainya. Secara global, mereka ingin jadi bupati, pastinya mereka memiliki niatan yang sama ingin membangun dan mensejahteraan masyarakat Cianjur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita harus yakin, mereka berburu jabatan bupati,bukan ingin dihargai atau dihormati orang, ingin dipanggil Pak Bupati atau Bu Bupati, bukan ingin bepergian kemanapun pergi dikawal polisi dan Satpol PP, bukan ingin mengubah status sosial demi sebuah gengsi di masyarakat, bukan ingin korupsi, bukan ingin kolusi nepotisme, bukan ingin memperkaya diri, dan bukan ingin memburu harta karun (bukan ingin-ngin lainnya yang ada dalam pusaran kekuasaan seorang kepala daerah).
Sedangkan, jika saja ada calon calon bupati, yang menjawab blak-blakan atau vulgar seperti itu. Tentu saja, dianggap atau disebut orang gila, orang tak waras alias owah kata orang Sunda. Walaupun dalam praktiknya tidak jauh dari yang seperti itu.
Apapun alasannya, bupati hasil pilkada langsung sangat rentan korup, tidak lebih baik dari bupati yang dipilih DPRD pada masa-masa orde baru. Kita tahu biaya politik Pilkada sangat tinggi. Untuk memenangkan pertarungan menjadi seorang bupati bisa mencapai angka Rp. 30 miliyar.
Nah, bisa dibayangkan uang modal sebesar Rp. 30 miliar, tentu harus kembali, apalagi jika uang tersebut sebagaian hasil pinjaman yang harus dikembalikan, kecuali uang pribadi yang betul-betul “dihibahkan” untuk sebuah jabatan. Jika tidak, harus dari mana mengembalikannya ? Sedangkan gaji seorang bupati, jika dihitung total jenderal setahun hanya Rp. 12 miliar (diantaranya tergantung juga besaran APBD-nya).
Itulah yang harus diwaspadai, betapa sangat rentannya korupsi. Jangan-jangan ditengarai dibalik jabatan bupati kental juga dengan perburuan harta karun. Wallohu’alam.(Penulis, wartawan Harian Umum Pelita 1980 – 2018/www.koranpelita.com/koranpelita).
0000