Pegadaian “pinggir jalan” tampak semakin menjamur bak di musim hujan. Gadai swasta ini banyak ditemui di pinggir jalan Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, dan kota-kota lainnya di Indonesia. Ruangan tempat gadai pinggir jalan itu tidak terlalu besar, mirip kios atau gerai, dan terpampang spanduk dengan tulisan besar “Gadai”. Gadai swasta ini menerima gadai barang apa saja, mulai dari handphone, laptop, kamera, emas hingga BPKB motor atau mobil.
Menjamurnya gadai swasta pinggir jalan tak lepas dari demand dari masyarakat sendiri. Gadai swasta pinggir jalan ini tentu sangat membantu bagi anggota masyarakat yang kepepet membutuhkan uang segera. Mereka bisa menggadaikan barang untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan mudah tanpa banyak syarat. Hanya butuh waktu tidak kurang dari satu jam, cukup dengan menyertakan identitas KTP dan barang yang akan digadai, seseorang bisa dengan mudah dan cepat mendapatkan pinjaman tunai.
Meski ada risiko–misalnya rumah gadai tidak jelas ijinnya, bunga yang cukup tinggi, rawan penipuan, dan lainnya–tapi tak menyurutkan langkah anggota masyarakat memanfaatkan jasa rumah gadai swasta itu. Sampai tahun 2016, seperti tercatat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan pendataaan bersama PT Pegadaian (Persero), terdapat tidak kurang dari 585 rumah gadai swasta.
Perkembangan usaha gadai ini cukup merepotkan OJK. Kehadiran gadai swasta berpotensi merugikan masyarakat karena mereka tidak transparan menentukan harga gadai serta menerapkan bunga yang tinggi. Mereka juga tidak mempunyai jasa penaksir gadai yang memiliki sertifikasi.
OJK sebagai lembaga yang mengawasi bisnis keuangan di Tanah Air ini melihat dampak negatif dari gadai swasta itu. Akhirnya, pada Juli 2016, OJK menerbitkan Peraturan No. 31/POJK.05/2016 tentang usaha pegadaian. Peraturan OJK ini bukan untuk mematikan usaha gadai yang sudah ada, tapi agar usaha gadai lebih tertib, memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha pegadaian, dan memberikan perlindungan bagi konsumen pengguna jasa pegadaian, serta melahirkan usaha pegadaian yang sehat.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan OJK itu di antaranya mengatur mengenai bentuk badan hukum, permodalan, persyaratan dan prosedur perijinan usaha, keharusan memiliki ahli taksir, ahli gadai dan tempat penyimpanan yang aman untuk barang konsumen. Dalam permodalan, POJK ini mewajibkan usaha gadai yang didaftarkan di tingkat kabupaten minimal modal yang disetorkan sebesar Rp 500 juta.
Untuk ijin usaha pegadaian tingkat provinsi minimal modal disetorkan Rp 2,5 miliar. Pelaku usaha gadai hanya bisa membuka cabang di wilayah provinsi tersebut. Usaha gadai harus berbentuk perseroan terbatas atau koperasi. Kepemilikan saham dilarang dimiliki langsung atau tidak langsung oleh perorangan atau badan pihak asing.
POJK tentang usaha gadai itu juga mewajibkan gadai swasta melakukan registrasi usaha. OJK memberikan tenggat 2 tahun bagi pelaku usaha pegadaian swasta untuk registrasi terhitung sejak 29 Juli 2016 hingga 29 Juli 2018. Dan tenggat 3 tahun untuk pengajuan ijin pendirian badan usaha hingga 29 Juli 2019. Ternyata tidak semua gadai swasta mengikuti aturan OJK. Buktinya, hingga akhir batas waktu yang ditentukan hanya puluhan gadai swasta yang mendaftarkan ke OJK atau mengajukan ijin ke OJK. Sampai Mei 2019, OJK telah memberikan ijin kepada 25 perusahaan pegadaian swasta. Selain itu terdapat 72 pelaku pegadaian swasta yang terdaftar di OJK.
Namun, OJK masih menemukan pelaku usaha gadai swasta yang beroperasi secara ilegal tanpa mengantongi ijin usaha resmi dari OJK. Sejak Januari hingga Oktober 2019, berdasarkan laporan Satuan Pengawas Pegadaian di Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK, ditemukan sebanyak 68 pelaku usaha gadai swasta ilegal tersebar di wilayah Indonesia. Dari jumlah itu, 16 gadai ilegal berasal dari wilayah Jawa Timur, Bali, dan Riau.
Sampai saat ini belum ada gadai swasta yang diseret ke jalur hukum. Pasalnya, tidak ada UU yang menjadi payung hukum untuk menyeret usaha gadai swasta “abal-abal” itu.
Perlu UU Pegadaian
Maraknya gadai ilegal hanya bisa diselesaikan dengan undang-undang. Pada Maret 2019 lalu, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (INKB) OJK Mohammad Ihsanuddin sudah menegaskan UU Pegadaian sangat diperlukan untuk menertibkan maraknya jasa gadai ilegal yang ditemui di pinggir-pinggir jalan.
POJK Nomor 31/POJK.05/2016 tentang usaha pegadaian hanyalah untuk mengisi kekosongan hukum tentang usaha pegadaian yang selama ini belum diatur secara rinci. Dasar peraturan atau payung hukum Peraturan OJK itu adalah hukum Belanda, Pandhuis Reglement (Aturan Dasar Pegadaian) Staatsblad Tahun 1928 Nomor 81.
Peraturan OJK tentang usaha pegadaian dirasakan belum cukup. Karena itu UU Pegadaian menjadi urgen. Sejauh ini, OJK bersama Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah merancang naskah akademik UU Pegadaian sejak 2010 silam. Namun, hingga kini rancangan UU Pegadaian tidak ada kejelasan. Naskah akademik itu belum bertransformasi menjadi RUU Pegadaian.
Mengapa diperlukan UU Pegadaian? Pertama, UU Pegadaian semakin urgen seiring dengan semakin maraknya pegadaian ilegal yang hanya berorientasi pada keuntungan (profit). Namun, sayangnya, praktik gadai ilegal ini berpotensi merugikan masyarakat karena dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan gadai. Misalnya, tidak ada juru taksir sehingga barang yang digadaikan dinilai murah, tidak tersedianya tempat penyimpanan yang menjamin keamanan dan nilai barang.
Kedua, maraknya pegadaian ilegal menunjukkan adanya perorangan maupun kelompok masyarakat yang ingin diberi kesempatan dapat melakukan usaha pegadaian. Artinya, pelaku usaha lain tertarik untuk melakukan usaha gadai. Sebab, tak terbantahkan, bisnis pegadaian bisa mendatangkan keuntungan yang signifikan. Karena itu, pelaku usaha pegadaian perlu diperluas ke sektor swasta dan koperasi.
Namun, tidak ada aturan yang menyeluruh yang mengakomodasi tuntutan itu. Tidak adanya landasan hukum justru menjadi celah menjamurnya praktik gadai ilegal dan membuka peluang menjadikan gadai sebagai bisnis yang semata-mata mencari keuntungan. Karena itu, perlu regulasi yang mengatur pegadaian agar masyarakat tidak dirugikan dari praktik usaha gadai yang hanya bermotif keuntungan (profit).
Ketiga, pertumbuhan pegadaian di Indonesia semakin pesat. Pangsa pasar pegadaian tidak hanya bertumpu pada masyarakat lapisan bawah tapi mulai menjangkau masyarakat menengah atas. Meski pranata gadai masih digunakan untuk pembiayaan konsumtif, ke depan pegadaian tidak bisa dilepaskan dari fungsinya sebagai alternatif pembiayaan masyarakat. Karena itu, regulasi pegadaian semestinya ditujukan untuk menciptakan lembaga pembiayaan yang mampu menjadi penggerak ekonomi. Dengan kata lain, regulasi pegadaian ditujukan untuk menggerakan sektor riil dan menjadi unsur penggerak ekonomi nasional.
Keempat, UU Pegadaian harus mampu memberikan rambu-rambu agar jasa pegadaian sebagai alternatif pembiayaan tidak bergeser menjadi alternatif investasi yang spekulatif. Materi muatan UU Pegadaian meliputi perluasan objek gadai, kegiatan usaha dan sumber pendanaan, bentuk badan hukum, kepemilikan dan perijinan, penggabungan, peleburan, pengambialihan, kewajiban dan larangan, pembinaan dan pengawasan, penjualan barang jaminan, perlindungan hukum, ketentuan sanksi.
Pada kenyataannya, usaha gadai memang sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Usaha gadai tidak hanya menjadi penyelamat bagi mereka yang sedang kepepet, tapi diharapkan juga jadi alternatif pembiayaan. BS