Jumat pagi, tidak tahu karena apa, saya ingin sekali ke Garut. Seperti ada kekuatan tak terlihat yang menarik-narik untuk datang ke kota yang beraroma nostalgia itu.
Oleh: Hirwan
founder www.kabarno.com & www.koranpelita.com
JAKARTA, sayangnya tak memberi jeda untuk saya melesat dan menikmati pakansi di Garut. Apa boleh buat, Garut hanya bisa saya bayangkan sebagai sesuatu yang menyenangkan.
Garut kembali melintas dalam hati, Sabtu pagi. Saya mengenang, pernah ingin menjadikan Garut sebagai tempat melewati hari-hari di masa purna.
Di Sabtu itu, Garut benar-benar mengisi relung hati, tanpa pernah saya tahu sebabnya. Juga nama Kang Jul yang bersama Kang Baden pernah sangat dekat dalam beberapa kurun.
Saya baru tercengang Sabtu malam saat sedang menikmati mie Jawa di Jogja. Sebab, pada nostalgia yang lain di sudut Jogja, tiba-tiba Kang Ahmad mengabarkan kedukaan: Kang Jul meninggal Jumat pagi.
Saya terdiam. Wajah Kang Jul yang kadang lugu, muncul. Dalam diam, bersama kemunculan bayangan wajahnya, saya melafal doa-doa. Semoga sahabat saya itu damai di sisi Illahi.
Seketika, mie Jawa yang biasanya menjadi pengobat rindu pada masa lalu, berubah menjadi bagian dari ornamen duka di dalam dada.
Andai Jumat pagi, empat hari lalu, saya benar-benar memiliki waktu ke Garut, barangkali masih akan bertemu dengan Kang Jul. Serta, mengantarkan wartawan senior Garut ini, ke peristirahatan terakhir, pulang di kedamaian.
Saya baru sadar sekarang, barangkali dorongan untuk ke Garut, karena ada pertalian batin dengan Kang Jul. Bisa jadi, kontak batin itu, adalah cara Kang Jul untuk mengucapkan salam perpisahan.
***
MOCHAMMAD Juliandi, bagi saya adalah sahabat yang tak tergantikan. Bersama Kang Baden dan nama-nama lain, Kang Jul mengenalkan Garut secara lebih mendalam. Itu terjadi sejak tahun 2014. Cerita, perkenalan saya dengan akang yang bersahaja ini, didahului perkenalan saya dengan Kang Baden.
Dari arah Tasik, sepulang dari Jogja, saya menyisir perbukitan, mampir ke Garut. Sengaja, saya perlukan mampir, karena ingin menemui Kang Baden. Itu janji saya pasca pertemuan pertama saya dengan Kang Baden di Jakarta, beberapa bulan sebelumnya. Disitulah saya berkenanan dengan Kang Jul. Sebuah awal dari kerjasama panjang mendirikan dan mengelola Harian Garut.
“Kita bikin koran sendiri saja kang.” Saya akan selalu simpan kalimat spontan itu dalam ingatan. Kalimat yang mendapat respon biasa-biasa saja dari Kang Baden dan Kang Jul, saat bertemu di Hotel Bintang Radante, tempat saya menginap, bulan-bulan awal di tahun 2014.
Saya paham. Kang Baden dan Kang Jul kaget (dengan dosis kekagetan yang besar) begitu saya ajak membuat koran sendiri. Tapi saya yakin, koran itu bisa diwujudkan. Sebab, kami memiliki cukup modal pengalaman menjadi wartawan.
Setelah cerita banyak hingga lewat tengah malam, kami berpisah. Ada kesepakatan, koran yang siap kami lahirkan diberi nama Harian Garut. Tahapannya, Kang Jul dan Kang Baden akan datang ke Jakarta, sebagai tanda keseriusan membangun koran. Dan, tiga bulan kemudian, kedua sahabat baru saya itu, benar-benar sampai di rumah.
Tidak lama. Persiapan segera dimulai. Lalu, hari itu datang. 1 Mei 2014. Awalnya, saya merancang terbit perdana Harian Garut lebih awal, tapi momentum Hari Buruh lebih menarik untuk menandai kelahiran Harian Garut.
Kang Jul, saya pasrahi mengurus segala yang berhubungan dengan bisnis koran. Sedang Kang Baden, menggawangi redaksi. Saya, memilih berada di balik tirai, karena menimbang banyak hal yang harus dikompromikan. Lagi pula, dengan Kang Jul dan Kang Baden yang berada di depan, langkah Harian Garut, lebih leluasa.
Sudah. Nyaris setiap pekan, saya datang ke Garut. Tidak hanya mengantar koran, tapi sekaligus memastikan bahwa redaksi berjalan sesuai dengan kebijakan. Pada hari-hari saya di Garut itulah, pergumulan batin terjadi. Termasuk dengan Kang Jul yang menyediakan rumahnya sebagai kantor redaksi.
Saat Kang Jul merelakan rumahnya sebagai kantor, saya serasa menemukan ruh Harian Garut di sana. Rumah di tepi sawah adalah mimpi yang saya jaga sepanjang usia. Jadilah, setelah melihat rumah Kang Jul, saya memutuskan untuk menerima tawarannya menjadikan rumah sebagai kantor redaksi.
Saya membayangkan, di tengah alam Garut yang indah, semua kata yang terangkai dalam ribuan kata di Harian Garut, lahir dalam spirit keindahan. Sawah menghijau, gunung yang agung, atau udara dingin-sejuk, adalah tempat menyemai benih jurnalisme berkeindahan.
Sepanjang tahun 2014, di rumah itulah saya singgah. Pulang ke Jakarta, kadang sudah sangat larut, mengimbangi semangat Kang Jul dan Kang Baden. Atau, sesekali menunggu bis paling awal dari Garut, menjelang pagi. Kang Jul memboncengkan saya dengan motornya yang legendaris itu, ke terminal, menunggu sampai bis datang dan memastikan hingga bis bergerak meninggalkan Garut.
***
HARIAN Garut terus merajut semangat. Kang Jul seolah menemukan semangat baru. Juga Kang Baden yang selalu antusias. Saya melihat, kegairahan yang besar, karena awalnya menjadi wartawan biasa, kemudian menjadi wartawan yang sekaligus pemilik koran.
Dinamika Harian Garut berlanjut. Koran ini, bahkan mampu ‘berbicara’ di tengah geliat jurnalistik di Kabupaten Garut. Ada sepuhan dan sentuhan baru, bukan hanya pada tulisan, tapi sekaligus tampilannya.
Setahun berjalan dengan segala warnanya, muncul perkembangan yang menarik dari Harian Garut. Publik menyambutnya dengan gempita sebagai media yang kritis, berani menyuarakan teriakan rakyat. Pasar Harian Garut ada di sana. Saya melihat, ada pasar yang kosong, yang tak tersentuh Harian Garut: media yang berbicara secara lebih lembut.
Masuknya Kang Ahmad Sadli di jajaran redaksi Harian Garut, memberi spirit baru. Kepada Kang Sadli inilah pasar yang kosong tadi itu saya serahkan. Lalu, lahirlah Poros Garut dengan memulai kiprahnya sebagai nama rubrik di halaman 12.
Poros Garut, baru benar-benar dilepaskan dari halaman 12 Harian Garut untuk menjadi koran baru, pada tanggal 16 Februari 2016. Kang Sadli yang memimpin koran ini. Secara personal, dalam catatan harian, saya menulisnya dengan angka 1602-2016. Angka yang tidak datang tiba-tiba, melainkan lewat kontemplasi tanpa henti. Di tanggal itu juga, Kabupaten Garut memperingati hari jadi.
Selanjutnya, Harian Garut dan Poros Garut tampil sebagai dua media yang beriringan. Prototipe wajahnya, mirip-mirip. Font awal pada logo juga sama. Warnanya, merah yang serupa. Sementara itu, gaya serta kualitas tulisan terjaga dengan baik.
Maka begitulah. Jika disandingkan, Harian Garut dan Poros Garut tak ubahnya saudara kembar. Yang membedakan hanya kebijakan redaksinya. Harian Garut, kritis. Poros Garut, kompromistis.
Bahwa kemudian, Poros Garut yang lebih eksis, bahkan hingga hari ini, semata karena pasarnya yang lebih lentur tak tertatih. Harian Garut dengan warna merah yang menyala masih bertahan beberapa saat, tapi kemudian saya putuskan untuk ditutup. Tujuannya, membiarkan Poros Garut berkembang lebih leluasa. Apalagi saya sedang konsentrasi menyiapkan lini bisnis di bidang digital.
Jadi begitulah. Harian Garut yang saya dirikan bersama Kang Jul dan Kang Baden, kemudian menjadi legenda. Setidaknya, bagi kami bertiga yang sesekali berteleponan sekadar berbagi cerita. Tapi barangkali, Harian Garut dan Kang Jul, memang sudah digariskan untuk tak terpisahkan. Keduanya, bagai berbagi ruh.
Sudah pasti, kepulangan Kang Jul menghadap Tuhan dan matinya Harian Garut memberi kesedihan paling mendalam bagi saya. Kang Jul adalah sahabat yang tak tergantikan. Sedang Harian Garut merupakan cita-cita yang menjadi nyata. Jadi yakinlah, dua-duanya, akan selalu memberi cerita paling indah dalam perjalanan karir saya sebagai wartawan. Selamat jalan kang… (*)