Suasana Jakarta hari Rabu, 25 September 2019 agak memanas. Juga di malam hari, yang terasa lebih sumuk, umeg, gerah.
Memang. Hari itu, bahkan hingga larut malam, suasana panas yang sesungguhnya ada di jalan-jalan ibukota. Suasana itu, terutama karena unjuk rasa yang sejak siang, sudah tegang. Kerumunan massa dalam jumlah besar terjadi di depan gedung DPRRI. Beberapa jalanan ditutup. Akibatnya, Jakarta semakin semrawut.
Nah, suasana sumuk, umeg, gerah, yang tak kalah menyiksa terjadi, karena saya harus bergegas. Meninggalkan Jakarta yang tegang, di tengah malam yang biasanya sulah lelap.
Malam itu, saya harus ke Bandara untuk sebuah penerbangan ke Negeri Gingseng. Bisa dibayangkan bagaimana gerahnya suasana hati, karena malam-malam harus berkejaran dengan waktu, di tengah jalanan yang tak menentu.
Dengan deg-degan, saya menghitung langkah. Dari Depok ke pinggiran Tangerang, memang agak mencemaskan bisa ditempuh dengan lancar, hari itu. Untuk bisa mencapai Bandara, saya melewati jalan yang dipandu oleh aplikasi.
Saya diarahkan memutar menghindari penutupan jalan di depan gedung DPR RI. Memilih jalan yang tidak selalu lebar namun lebih lancar. Tapi oke juga. Sungguh banyak jasa pembuat aplikasi ini, mampu menunjukkan jalan yang benar, yaitu jalan yang benar-benar lebih lancar. Sementara rekan lain yang dipandu insting, tak juga lepas dari kemacetan yang membuatnya semakin pusing.
Walau berbeda antara waktu tempuh perjalanan sesungguhnya dan waktu perkiraan aplikasi, saya tidak akan memprotes aplikasi penunjuk jalan. Toh sudah membantu mengantarkan hingga Bandara tanpa ditinggal pesawat.
Hari hampir berganti saat pesawat memanjat langit. Tanggal pun bergulir perlahan bertambah satu ketika tanda sabuk pengaman di pesawat dipadamkan. Walau begitu saya tetap memasang erat sabuk pengaman.
Saya masih ingat pesan rekan yang dulu sekolah pilot sewaktu di Oregon State bahwa sabuk pengaman penting selalu terpasang karena bisa jadi turbulensi datang tanpa permisi.
Pesan itu, tak pernah saya tinggalkan, meski teman saya itu, tak jadi pilot. Lucu juga dia, mahal-mahal sekolah pilot, setelah lulus, pindah ke Kanada dengan profesi yang jauh dari dunia penerbangan.
Tidak terasa. Mak lep, tahu-tahu sudah di Negeri Gingseng. Pasti banyak pembaca yang berfikir tidak-tidak, mengapa saya pergi ke Negeri Gingseng, Korea. Apakah ingin lebih strong? Ada benarnya juga, ingin lebih strong. Lebih greng dan grengseng. Tapi bukan saya yang ingin strong, melainkan BPJS Ketenagakerjaan alias BPJAMSOSTEK.
BPJAMSOSTEK datang ke negeri gingseng untuk menjalin kerjasama dengan Korea Workers’ Compensation and Welfare Services atau KCOMWEL. Tujuannya jelas untuk menjadikan kedua belah pihak makin strong.
Acara inti adalah penandatanganan MOU antara BPJAMSOSTEK dan KCOMWEL. Korea Workers’ Compensation and Welfare Services (KCOMWEL) merupakan lembaga pemerintah Korea Selatan yang menyelenggarakan perlindungan kecelakaan kerja dan layanan untuk kesejahteraan pekerja. Sangat mirip dengan jaminan kecelakaan kerja yang diselenggarakan oleh BPJAMSOSTEK.
Tujuh jam 20 menit di udara. Lalu, mulus mendarat di Bandara Internasional Incheon Korea Selatan. Semoga nggak salah saya menghitung. Jangan di-bully jika salah menyebut, karena memang lebih cepat dari pada ke Amerika yang memang lebih jauh.
Hari masih pagi sekitar 9.00 WS (Waktu Seoul). Proses yang agak lama, adalah saat melewati imigrasi, dilanjutkan mengambil bagasi, serta melalui jalan tol menuju hotel. Saya baru sampai di sebuah hotel di daerah Myeongdong sekitar pukul 11.30 WS.
Jam segitu, tentu belum bisa check-in. Tak apa yang penting kami bisa menitip koper. Sementara, perut memberi kode agar segera diisi. Pukul 12.00 WS kami sepakat meninggalkan hotel untuk kulineran.
Namanya juga melancong, muter-muter, salah jalan, dan semua keribetannya, dimaklumi. Setelah mencari tempat makan yang pas, kami temukan resto khas Korea. Kami butuh waktu tempuh satu setengah jam dari daerah Myeongdong. Entah nama daerahnya itu apa, namun tak jauh dari sebuah pasar tradisional.
Pemilik restoran seorang ibu Korea yang hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa Korea. Sama sekali tak bisa bahasa Inggris. Lagi-lagi, harus dibantu aplikasi penerjemah, agar komunikasi bisa terjadi. Lagi-lagi perlu waktu cukup lama sekadar untuk berkomunikasi memesan dan menanyakan beberapa hal termasuk cara masak dan cara makannya.
Akhirnya, daging sapi yang harus dipanggang sendiri memenuhi rongga kosong di dalam perut. Kenyang kata lainnya. Saya sengaja tak menyentuh nasi, agar dapat menikmati daging sapi yang lembut bergizi. Pukul 15.00 WS kami selesai perbaikan gizi. Eh, jangan-jangan bukan perbaikan gizi namun proses penumpukan lemak.
Tidak sehat jika habis kuliner tanpa membakar kalori. Kebetulan hari tak begitu panas. Jalanan di pinggir Sungai Han perlu dicoba. Banyak jembatan menghubungkan daratan yang dipisahkan oleh Sungai Han. Pemerintah sangat bagus menata kota. Di pinggir sungai, nampak harmoni antara jalur penggemar jalan kaki/lari dan penggowes. Bahkan nampak beberapa lapangan futsal atau playground.
Menyusuri jalan sekitar 2 km mendapati tempat yang menarik. Watersport dan penyewaan berbagai peralatan untuk olah raga air. Cano, wind surfing, dan Stand Up Padle boarding. Saya jadi ingat mimpi bisa SUP di Waduk Sermo. Jadi, bisa main SUP di Sungai Han, sangat sayang jika dilewatkan.
Tak dinyana, Pak Dirut yang penggemar berat SUP membawa pakaian tidak hanya satu untuk beliau. Bahkan celana yang saya yakin tak muat untuk beliau tapi sedikit kebesaran buat saya sudah disiapkan. Jadilah saya dan Pak Dirut bermain paddling menyusuri Sungai Han. Satu setengah jam hingga langit merah merona tanda gelap segera tiba.
Rona merah di atas Sungai Han, menjadi tanda untuk kembali ke Myeongdong. Dan, begitu masuk ke kamar hotel, ingin rasanya segera menghempaskan tubuh di atas kasur. Tapi tunggu dulu, ada benda aneh di sana, benda yang tak lazim dijumpai di hotel dalam negeri: promo masker.
Ada dua buah masker gratis. Memang sangat dekat, hotel itu dengan tempat belanja kosmetik di Myeongdong. Ini yang membuat para pedagang memanfaatkan hotel untuk promosi ke tamu-tamu yang menginap. Boleh juga.
Saya urungkan niat rebahan, tergiur mencoba maskeran. Sejatinya saya sering kaget dan takut saat melihat anak atau kekasih hati maskeran.
Tapi tak ada salahnya kali ini saya mencoba maskeran karena saking penasaran. Toh tak ada yang melihat. Apalagi bertambah penasaran ketika tahu bahwa ada kandungan gingseng dalam masker tersebut. Pasti ini agar kulit wajah lebih kencang.
Mencoba bermaskeran tak bisa berlama-lama. Perut yang terisi penuh siang hari habis terkuras saat SUP di Sungai Han. Jelas, perut perlu isi ulang. Restoran Yoogane Myeongdong menjadi pilihan tempat makan malam.
Sajian istimewanya adalah nasi goreng dengan ayam dan keju. Pak Dirut menyebutnya nasi goreng pizza karena kejunya yang meleleh di nasi goreng membuat seperti makan pizza. Sangat pas bagi penyuka pedas.
Tidak perlu lama makan malam, karena yang mengantre juga banyak. Apalagi, ada tugas membeli beberapa pesanan orang-orang terkasih yang mesti dicari di Myeongdong. Pesanan kosmetik berupa pensil alis, cream, ataupun jaket khas ala artis K-POP.
Memang tidak sulit mencarinya jika sudah dibilang merk dan kodenya. Walau jika tak ada, entah harus kemana lagi mencari karena malam sudah terlalu larut. Esok, hanya ada sedikit waktu jika harus mencari di mall.
Jumat keramat datang melambat. Seperti biasa, ritual pagi diisi dengan menanti terik matahari sambil berlari-lari kecil. Tidak harus lari jauh dari hotel. Larinya juga hanya formalitas, karena resminya adalah mencari tempat selfi.
Lari dikombinasi dengan jalan kaki belum juga memompa keringat, maka saya coba fasilitas hotel dengan treadmill sembari mencuci baju dan mengeringkannya. Tak sendiri kali ini, ada Pak Salkoni menemani. Hanya 2000 won untuk nyuci dan 2000 won untuk mengeringkannya. Tapi saya dapat keringat menetes deras setelah lebih dari 30 menit berlari.
Menjelang siang kami bersiap berjumatan. Sholat Jumat di Seoul Central Mosque, masjid pertama di kota Seoul yang berlokasi di puncak sebuah bukit. Tentu bahagia bertemu dengan saudara dari berbagai suku bangsa. Apalagi bisa berselfi dengan Imam masjidnya.
Selepas Sholat Jumat, makan di resto dekat dengan masjid. Banyak pilihan makanan halal di sana. Tapi perlu bergegas karena bersiap untuk acara penandatanganan MOU.
Berjas supaya jika difoto bisa agak lumayan hasilnya, saya berangkat ke acara penandatangan MOU. Karena kerjasama ini melibatkan dua negara, maka hadir pula perwakilan dari KBRI Seoul. Nah, dari wajah, sepertinya saya mengenal perwakilan KBRI ini.
Ternyata benar. Pak Priyanto Mawardi, rekan seperjuangan saat persiapan sekolah S2. Lebih dari 34 tahun tak berjumpa dengan beliau, rasanya menyenangkan bisa mengenang bagaimana bermain bola setiap sore di PPSDM Kemenkeu di komplek Kampus STAN (kini bernama Politeknik Keuangan Negara STAN) di daerah Bintaro.
34 tahun silam, banyak peserta diklat masih bujangan atau persiapan menikah. Malah, ada yang dapat jodoh saat persiapan sekolah. Banyak rekan berasal dari berbagai kementerian, tapi yang menonjol penguasaan bahasa Inggrisnya tentu dari Kementerian Luar Negeri.
Pak Priyanto yang kini menjadi pejabat penting di KBRI Seoul termasuk di dalamnya. Sementara saya jatuh bangun memperbaiki bahasa yang tak dapat ditangkap lawan bicara. Sampai kini pun tetap yang keluar Jonglish, Jowo English. Sayang pertemuan sangat singkat. Hanya saat penandatanganan MOU dan dilanjutkan dengan makan malam bersama. Tapi lumayan, itu mampu mengobati rindu.
Tapi ya itu. Karena singkatnya pertemua, ada yang terlupa kalau sebenarnya sudah ada satu Buku NKS untuk Pak Priyanto. Akhirnya satu buku saya titip di hotel dengan pesan agar jika nanti Pak Priyanto datang bisa diberikan. Selamat membaca Buku NKS Pak Pri, semoga berkenan menjadi Sedulur NKS.
Akhirnya MOU ditandatangani setelah secara masing-masing sepakat dengan isi perjanjian. Disaksikan pejabat KBRI, ini merupakan kerjasama yang sangat penting. Meliputi peningkatan kapasitas SDM masing-masing pihak, bidang pertukaran informasi, penanganan Pekerja Migran Indonesia di Korea atau Pekerja Migran Korea di Indonesia serta pengiriman ahli jaminan sosial ke masing-masing lembaga.
Selesai. Saya kembali ke hotel untuk bersiap istirahat setelah selesai packing. Saya masih memiliki satu masker gratis yang sayang jika tidak dimanfaatkan. Malam itu saya memakai masker yang mengandung bahan gingseng dan berharap besok wajah saya lebih kencang, lebih strong. Namun saat ngaca, saya malah ketakutan sendiri melihat wajah yang memakai masker, walau itu adalah diri sendiri.
Esok harinya saat mentari belum mampu menampakkan diri, saya sudah berkendara ke Bandara. Saatnya pulang. Sudah pasti masker tak lagi menutupi wajah.
Pada sebuah ketinggiah, saya dihampiri pramugari. Kaget, degdegan, padahal ia hanya menawari minum dan meminta saya memilih menu makanan. Akhirnya saya mengucap terimakasih kepada Mbak Uty yang telah menjadi pramugari hebat dari Incheon hingga Sukarno Hatta. Sebagai ucapan terimakasih, Buku NKS saya hadiahkan. Bertambah satu lagi Sedulur NKS. (*)
Salam NKS: Nang Korea Sedelo