Datang ke FMIPA ITB minggu lalu, membuat saya benar-benar kepengin kuliah lagi. Rasanya belum terlalu tua untuk belajar. Toh belajar memang tidak mengenal usia. Apalagi, soal usia, saya malah masih seksi: seket siji (lihat kamus bahasa Jawa untuk memahami maknanya).
Dan keinginan itu terwujud. Tidak hanya terwujud, tapi sekaligus mewujudkan pepatah sepuh. Tuntutlah ilmu walau sampai ke Negeri Kungfu, eh Negeri China.
Benar. Sepanjang satu pekan penuh, saya belajar di China. Tepatnya di Shanghai yang aduhai. Saya mengikuti program apik bertajuk ASEAN Global Leadership Program 2019. Temanya sangat menggelitik, Understanding China’s Next Move. Jangan pernah berfikir bahwa saya akan belajar gerakan kungfu.
Seperti nama programnya, peserta leadership program berasal dari negara yang tergabung dalam organisasi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Total peserta program berjumlah 36 orang, dengan 35 orang dari Indonesia dan sisanya dari negara yang bergabung juga dalam ASEAN yaitu Kamboja. Saya kurang tahu mengapa 8 negara ASEAN lain tidak ikut dalam program yang sebagus ini. Bisa jadi mereka akan belajar dari kami, para alumni. Let’s see.
Ke Shanghai, meski kali ini dalam rangkaian kuliah kilat, seperti perjalanan menyusuri masa lalu. Masih sangat lekat dalam ingatan saya, pertama datang ke China tahun 2006. Itu berarti sudah tiga belas tahun lalu. Waktu itu, tentu, saya masih lebih muda. Mendampingi atasan sekaligus panutan dalam disiplin tentang waktu, tertutama saat berdinas.
Kami mengunjungi Beijing dan Shanghai. Tapi, Shanghai dahulu, berbeda dengan Shanghai sekarang. Shanghai dulu usianya juga lebih muda.
Nah, mengapa mesti belajar terus? Saya yakin tidak hanya karyawan yang perlu di-upgrade ilmunya, tapi pimpinan juga wajib mengembangkan diri. Termasuk, mengembangkan potensi diri menghadapi perubahan yang sangat cepat. Ini perlu agar pimpinan dapat merespon perubahan dengan tepat dan cepat.
Belajar memang tidak selalu harus ke luar negeri. Saya sepakat itu. Tapi dengan melihat, mendengar dan merasakan langsung di negara asalnya, pasti akan lebih melekat erat dalam ingatan kita.
Komitmen mengembangkan diri para leader termasuk leader di BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK) dibuktikan dengan pengiriman pimpinan institusi. Tidak hanya satu orang. Tapi tiga direksi sekaligus dan dua dewan pengawas sekaligus.
Kali ini, agak tumben, saya tekun serta menikmati setiap materi yang dibawakan oleh para profesor dari CKGSB, Cheung Kong Graduate School of Bussiness di Shanghai. Padahal, biasanya saya tergoda untuk membolos.
Godaan itu memang agak memalukan, sebab hanya untuk berburu barang-barang buatan aseli negeri yang kita kunjungi. Tapi tidak untuk kali ini. Saya konsentrasi full, mengikuti seluruh materi. Alasannya cukup sederhana, barang-barang produksi dalam negerinya bisa dipastikan ada tulisannya ‘made in China’.
Tidak ada godaan membolos juga lantaran tidak ada satu rekan pun di Jakarta yang meminta oleh-oleh. Ini agak ajaib. Di luar kebiasaan orang Indonesia. Rupanya mereka tidak mau barang yang bertuliskan made in china. Atau, sudah paham dengan dalil baru ekonomi pasar yang sering diucapkan banyak orang. Bunyinya: Tuhan menciptakan langit dan bumi, sedangkan seluruh isinya ‘Made in China’.
Untuk mencapai Shanghai, saya dan beberapa peserta lain menggunakan maskapai kebanggaan negeri. Pukul 23.30 saya berangkat, dengan jangka waktu penerbangan 6 jam 30 menit. Ke arah utara.
Mata yang telah lelah, langsung lelap. Terpejam begitu menemukan nomor tempat duduk. Tak terdengar lagi pesawat memacu laju, memanjat mengangkasa. Sebab yang terdengar adalah deru dengkur yang sesekali terasa lirih, liris memasuki tengah malam dari sebuah ketinggian.
Teh hangat atau kopi panas, mendingin tanpa guna. Hanya saja, guncangan sepanjang perjalanan membuat lelap tak berhiasi mimpi berseri.
Pukul 07.00, sampai Bandara Shanghai Pudong International Airport. Hari Minggu pagi tanggal 15 September 2019. Saya berkaca di toilet Bandara. Entah kenapa saya terlihat lebih tua. Terlihat satu jam lebih tua di banding di Jakarta. Ternyata memang waktu Shanghai lebih cepat satu jam dari Jakarta. Tak heran jika rambut putih pun bertambah, walau hanya satu helai.
Kelas baru mulai esok harinya. Saya merasakan ada keinginan kuat untuk segera menyerap ilmu para profesor ternama dari CKGSB. Sebuah ujian kesabaran yang harus saya lalui.
Baiklah. Agar jam berjalan cepat, saya tak boleh berdiam di hotel menunggu waktu berlalu. Perlu menjelajah Shanghai. Saya kira ini pun termasuk menimba ilmu. Letak kampus CKGSB berada di Hongqiao Vanke Center, Minhang district, berjarak cukup jauh dari pusat aktivitas perekonomian Shanghai di Pudong. Pelajaran pertama adalah memahami transportasi yang tersedia dan bagaimana cara menggunakannya.
Sepeda. Seperti 13 tahun yang lalu saat pertama kali saya datang ke Shanghai, masyarakat banyak yang nge-pit untuk mobilitasnya. Rupanya 13 tahun tak berarti apa-apa buat para pengepit.
Saya amati, sepeda yang banyak digunakan saat ini di Shanghai adalah sepeda sewa. Untuk menyewa dan menggunakannya, kita perlu download aplikasi dulu. Tentu ada tujuan mulia dari startup bike-sharing.
Memudahkan orang untuk bergerak, mengurangi kemacetan, lebih menyehatkan masyarakat dan yang paling utama pastinya mengurangi polusi udara dan polusi suara. Adapun tujuan bisnis, tentunya tetap termasuk di dalamnya. Insfrastuktur juga mendukung untuk bersepeda menjadi lebih aman dan nyaman.
Sayang memang perlengkapan keselamatan bersepeda tidak wajib dikenakan. Jangan coba-coba itu dilakukan oleh anggota BCC, BPJAMSOSTEK Cycling Club. Bisa-bisa teguran keras dari om petinggi BCC tanpa pandang bulu. Om Direktur saja bisa kena semprit.
Setiap melihat sepeda kemudian menggejotnya, yang segera tersaji dalam ingatan adalah suasana Kulon Progo di masa lampau. Suasana saat SMP dan SMA dulu. Saya adalah pengepit garis keras. Sebab, pergi dan pulang sekolah ya hanya bisa ngepit wong punya cuma pit. Itupun pit lungsuran.
Tapi kali ini, saya memilih tidak menggunakan sepeda karena kota yang saya tuju agak jauh. Dengan mobil saja bisa 45 menit, apabila dengan sepeda, bisa gempor. Pertimbangan lain, saya bepergian dengan dua direksi lain, yang siapa tahu, tidak memiliki memori indah tentang bersepeda. Beda dengan saya yang setiap hari medal alias nggowes dengan jarak yang tidak bisa dibilang dekat dengan medan yang tidak bisa dibilang mudah.
Selain sepeda onthel, ada pilihan sepeda motor listrik. Bila kita komparasikan dengan sepeda motor yang ada di Indonesia, sepeda motor listrik di Shanghai besarnya mungkin hanya separonya. Ramping.
Sepeda jenis ini, lalu lalang dengan kecepatan lumayan tinggi. Tanpa suara. Tidak bising. Sekali lagi sayangnya tidak wajib menggunakan helm pengaman. Mungkin juga karena sangat mirip dengan sepeda. Tapi sepeda motor listrik membuat jantungan karena tiba-tiba sudah sangat dekat dengan kita dalam kecepatan tinggi tanpa terdengar suaranya.
Lalu ada Didi Chuxing. Taksi online yang ada di China. Sering disebut ubernya China. Seperti halnya gocar atau grabcar jika di Indonesia. Tapi karena komunikasi yang tidak mudah dengan driver, alternatif taksi online harus dicoret.
Pilihan paling nyaman adalah sewa mobil untuk 8 jam ke depan. Plus sekalian yang bisa menjadi tour guide. Ongkos bagiga, alias bagi tiga. Tentu saya sudah memperkirakan kemampuan dan kemauan untuk sharing. Ini penting. Apalagi di era maraknya peer-to-peer lending platform.
Berangkatlah kami. Bertiga menuju tiga tempat yang wajib dikunjungi jika ke Shanghai. The Bund, Nanjing Road, dan Yu Yuan Old Street. Sekali lagi saya tidak sendiri, tapi bersama dua teman direksi. Itu bukti seiring sejalan, satu visi. Untuk urusan yang ini. Juga yang lainnya pasti.
The Bund adalah tempat wisata sungai. Jika melihat sejarahnya, the Bund jaman dahulu merupakan dermaga di sepanjang sungai Huangpu. Sungai yang berada tepat di tengah kota Shanghai. Saat berada di The Bund, kita bisa menikmati sensasi indahnya sungai Huangpu, melihat hilir mudik kapal. Di seberang sungai, kita akan dimanjakan dengan deretan bangunan pencakar langit.
Saya datang di The Bund ketika mentari berada tepat di atas kepala yang menghasilkan bayangan tidak terlalu kentara. Kaca mata yang saya pakai berubah gelap seakan tahu harus melindungi indera penglihat. Momen itu tentu harus terekam dalam jejak digital sebagai bumbu pelengkap di sosmed nantinya.
Saya membayangkan andai saya datang ketika matahari baru bangun dari tidur malamnya atau saat matahari akan tenggelam dalam gelapnya malam, pasti pemandangannya tak akan tertandingi. Itulah golden hour yang sering disebut para fotografer.
Untungnya, panitia menyiapkan acara makan malam di kapal pesiar di lokasi sungai Huangpu. Tawaran yang tak ada yang mampu menolaknya menikmati megahnya kota Shanghai di The Bund pada malam hari. Momen ketika lampu-lampu gedung menyala dengan berbagai gambar dan tulisan.
Terbaca sangat jelas sebuah tulisan besar ‘I ♡ SH’, yang bermakna I Love Shanghai. Sungguh sayang, saya tidak didampingi sang pujaan hati. Andai dia ikut, pasti akan saya peluk dari belakang. Lalu, minta ke pengelola gedung di seberang sungai itu untuk mengganti tulisan itu dengan ‘I ♡ U’. Agar dia tahu malam itu menjadi malam paling romantis dalam hidupnya.
The Bund harus ditinggalkan dalam lapar. Ini bahaya. Karena urusan perut adalah urusan yang tidak main-main. Menuju Nanjing Road, kami mampir sejenak untuk memanjakan lidah.
Di Shanghai, restauran yang ada, kebanyakan menawarkan chinese food. Di mana-mana. Ini yang agak merepotkan. Beruntung, ada driver sekaligus guide yang sudah biasa mengantar wisatawan Indonesia. Jadi, di resto itu kami sholat berjamaah, jamak qashar. Kenyang jasmani, kenyang rohani. Alhamdulillah.
Perjalanan berikutnya adalah Nanjing Road, surganya kaum emak. Sebab, di tempat ini, kanan kirinya adalah tempat belanja. Di jalan itu tidak dilintasi oleh kendaraan kecuali pada perempatan jalan. Sangat nyaman dan para lelaki bisa duduk-duduk ganteng di tengah jalan Nanjing Road. Mungkin disiapkan khusus untuk menunggu jika mengantar para ibu menunaikan tugasnya menghabiskan uang di tas. Hari itu, saya juga banyak duduk, tanpa tahu emak-emak yang mana yang ditunggu.
Sudah. Selanjutnya, ke Yu Yuan Old Street. Sebuah kawasan yang sangat terasa China-nya. Wajah oriental dari bangunan China masa lalu terlihat anggun. Pas jika kemudian kita berganti pakaian seperti halnya yang dipakai para pendekar kungfu masa lalu.
Banyak barang, kerajinan dan tentunya makanan dengan kualitas bagus, asli buatan China. Hanya dibutuhkan sedikit ketrampilan untuk bisa menawar jika membeli barang di Yu Yuan Old Street.
Di dekat Yu Yuan Old street ada sebuah kebun bambu yang menjulang lurus ke atas setiap batang bambunya. Indah untuk berfoto, seolah sedang di negeri tirai bambu.
Jadi begitu. Hari Minggu sudah mau berlalu. Sewa mobil mendekati limit waktu. Saatnya memeluk mimpi. Mimpi yang diharap datang tanpa goncangan atau gangguan ibunya pramugari yang menyiapkan sarapan pagi. Mimpi besok berkumpul dengan para pimpinan institusi yang menjadi mahasiswa (lagi). Mimpi besok akan banyak berselfi. Dan mimpi buku NKS ada di rak CKGSB Library. (*)
Shanghai, 21 September 2019. Salam NKS: Nulis Kisah Shanghai