Agustus sudah mulai menepi. Hari bersiap memasuki September yang membuat saya selalu berdebar. Dan, debaran pertama datang dari Tangerang. Saya diundang oleh Om Eko. Atau lengkapnya, Eko Nugriyanto, Deputi Direktur Wilayah Banten.
Mengapa berdebar? Nanti dulu. Saya ingin cerita kenapa ada pangggilan Om, bukan Pak, atau Kakak, atau yang lain. Inilah indahnya paseduluran (persaudaraan) di BPJSTK Cycling Community (BCC). Kasta kita tanggalkan, yang ada adalah om dan tante. Tentu, ini mengadop panggilan sayang tanpa jarak yang diinisiasi oleh Bike To Work Indonesia. Jadi, saya juga mendapat panggilan sayang, Om Dir.
Lalu, Say No To Plastic Polution menjadi tema yang tidak main-main. Tema sekaligus pesan penggowes untuk mengurangi penggunaan plastik. Tidak sekadar tema, para penggowes memberi contoh dengan selalu membawa tumbler yang siap diisi ulang airnya. Ke mana pun roda sepeda berputar.
Pagi-pagi saya sudah bersiap. Acara pukul 06.30 WIB di BSD. Pukul 06.00 saya sudah sampai. Saking semangatnya. Nah, ini yang saya sebut mendebarkan tadi itu. Sebab, setiap pit-pitan, rasa-rasanya kok menjadi melankoli.
Lha iya. Ini persis masa-masa SMP dulu. Di SMPN 2 Wates (sekarang SMPN 1 Pengasih, Kulon Progo) yang berjarak sekitar 8 km dari rumah di dusun Nganjir. Saya berangkat paling lambat jam 06.00 WIB. Ngepit.
Tapi ya saat itu, tidak terasa sedih. Saya menikmatinya dengan hati senang. Kecuali saat hujan tiba. Bayangkanlah kesedihan saya itu: tanah basah yang lengketnya minta ampun, tak bisa dengan gampang dilalui.
Kondisi itu saya bayangkan, sangat tragistik, saat ni. Kalau memaksa naik sepeda, harus berantem dengan lumpur. Atau, seperti sahabat saya, sepeda dipanggul dari rumah sampai jalan besar. Dramatis betulan.
Jadi, ya naik sepeda itu, menyenangkan kalau tidak sedang hujan. Dusun Nganjir yang letaknya di ketinggian, tanpa terlalu banyak mengayuh, roda berputar kencang bahkan jika tanpa rem bisa-bisa mengalahkan Valentino Rossi. Benar-benar ra medal.
Suatu kali, peristiwa maut menghampiri. Masih pagi. Saya berangkat sekolah dengan sepeda andalan. La kok ndilalah, rem blong. Karena turunan sangat tajam, kecepatan tak lagi terkendali. Dalam hitungan detik saya harus mengambil keputusan agar maut tak benar-benar menjemput.
Dalam sekilas, saya ingat, di depan ada kali kecil. Blumbang alias parit.Di seberangnya tanah yang menanjak. Tanpa pikir pwanjang, sepeda saya arahkan ke kali kecil itu. Alhamdulillah laju sepeda berhenti. Saya nyungsep. Untung tidak ada yang lihat, jadi tidak malu. Hanya lecet dan baju kotor saja, tapi jadi ada alasan untuk saya menuntun sepeda pulang. Tidak masuk sekolah.
Cerita soal sepeda belum selesai. Itu tadi saat berangkat sekolah. Pulangnya, tak kalah dramatik. Sebab, bagi saya perjuangan sejati terjadi justru di waktu pulang sekolah. Mari kita bayangkan lagi: tengah hari, capek, lapar, dan lain-lain menjadi beban, terus masih harus ditambah menakhlukkan jalan menanjak.
Jangan ada yang membayangkan, sepeda dengan gear yang serba canggih seperti saat ini. Sepeda jaman dulu, yang hanya satu gear, tidak akan ada yang mampu menggowes tanjakan di sekitar Dusun Ngruno. Jadi sudah tergambar kan, letihnya anak SMP berpostur tidak tinggi menuntun sepeda di tengah terik matahari.
Tiga tahun naik pit dari Nganjir ke Pengasih, masih berlanjut hingga SMA. Sesekali, memang ada kemewahan kecil, bisa mbonceng motor teman. Saat kuliah di Bandung, sepeda seolah belum mau lepas dari hidup saya. Waktu itu, ada sepeda milik kakak sepupu yang jarang dipakai, saya tembung untuk memakainya ke kampus. Itu terjadi sepanjang tiga tahun, sampai saya mendapatkan lungsuran motor turun-temurun.
Tapi ya ampun. Sepeda masih juga betah mewarnai hidup saya. Bahkan, jauh-jauh di Amerika, saat sekolah S2, sepeda tetap jadi andalan. Saya ingat betul membeli sepeda di hari Sabtu saat ada garage sale. Harga yang sangat murah karena memang sepeda bekas. Entah pemiliknya mau pindah atau pulang kampung.
Jadi begitulah. Tergambar jelas betapa hidup saya sudah akrab dengan sepeda. Sebab, sudah berpuluh tahun lekat dengan sepeda, bahkan sebelum orang-orang tergila-gila dengan gowes, lengkap dengan segala kegembiraan naik sepeda.
Lalu, semua mengajak saya ikut gowes. Dan, saya bergeming. Alasan penolakan saya memang agak absurb. Begini: kini, ketika saya bisa naik motor atau mobil, haruskah masih bersepeda dan terkenang jaman susah dahulu.
Tapi itu sebelum Event Gowes Guyub 2019. Gowes yang diadakan oleh BPJSTK Kanwil Banten di BSD itu, benar-benar mengubah pola pikir saya secara drastis.
Datang terlalu pagi memberi saya kesempatan bincang mesra dengan om dan tante penggemar gowes baik dari internal maupun dari eksternal BPJSTK. Termasuk dengan Om Poetoet dari Bike to Work Indonesia. Saya seperti dibukakan mata hati dan pikiran tentang tujuan mulia para penggiat dan penggila gowes.
Om Poetoet ini tidak bisa dibilang muda, tapi fisik dan geloranya saat bicara tentang bersepeda, luar biasa. Sejatinya Bike to Work atau lebih akrab disingkat B2W merupakan gerakan moral.
Gerakan yang lahir dari keprihatinan akan kemacetan terutama di Jakarta dan kota besar lainnya. Lebih dari itu, pemborosan energi & meningkatnya polusi. Jelas bahwa B2W ingin menjadi bagian solusi permasalahan. Karena pengaruh dari kemacetan dan polusi bisa jadi berakibat pada degradasi kecerdasan & mental manusia Indonesia.
Dengan serius Om Poetoet bercerita, sudah 13 tahun bersepeda dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Minimal seminggu 3 kali. Yang didapat adalah badan yang sehat sehingga berkinerja lebih baik. Di sisi perusahaan, selain manfaat dari pegawai yang berkinerja baik, perusahaan menjadi lebih efisien karena tidak perlu mengeluarkan uang bensin.
Para penggerak BCC yang datang, kemudian ikut nimbrung dalam diskusi hangat saya dengan Om Poetoet. Om Romie, Om Nasipiyanto, Om Jay, Om Iman Kethel. Juga om dan tante lainnya dari BCC Kalimantan, Riau, Sumbagut, DKI, Jawabarat, Kantor Pusat.
Dari diskusi sekitar setengah jam, saya memetik banyak pelajaran dari bersepeda. Pelajaran yang tidak saya dapatkan ketika (mau tak mau harus naik sepeda) untuk bisa sekolah. Berikut ini yang saya dapat dari para pakar gowes atas kuliah singkat kemarin itu.
Pelajaran pertama, untuk terus maju dan tidak jatuh saat bersepeda, om dan tante hanya perlu terus bergerak, menggowes pedal. Sesederhana itu. Jika kita diam, kita akan jatuh dan mungkin akan tergilas atau tertinggal oleh para penggowes lain. Maknanya bahwa kita perlu terus bergerak, belajar, berinovasi jika ingin tidak jatuh dalam keterpurukan karir atau bisnis.
Jatuh saat belajar menaiki sepeda, adalah hal yang biasa. Jangan putus asa, bangkit dan gowes lagi. Ini mengajarkan bahwa dalam hidup ada kalanya kita gagal, tapi belajar dari kegagalan adalah jalan meraih sukses.
Kadang di tengah perjalanan nggowes, ada orang lain ingin menyalip. Beri jalan mereka untuk melewati, jangan tutup jalan, apalagi menjegalnya. Bahkan ketika mereka melewati kita, beri senyum dan sapa mereka. Ini penting sebagai pelajaran dalam kehidupan, kadang ada rekan kita bahkan anak buah kita yang karirnya lebih baik. Kita jangan iri tapi sokong dia untuk maju dan berprestasi.
Tidak menutup kemungkinan kita menempuh jalur yang salah, tidak sesuai dengan yang kita rencanakan. Tapi hal ini tidak selalu berarti buruk. Melewati jalur yang baru mungkin membuat perjalanan yang lebih panjang dan melelahkan. Tapi kita akan mendapatkan pemandangan baru, pengalaman baru, mungkin juga teman baru.
Lebih dari semua itu, prinsip pesepeda dalam menjalani hidup berpegang pada filosofi bahwa urip kuwi ora mung golek jenang, nanging urip kuwi golek jeneng. Arti bebasnya kira-kira bahwa hidup itu bukan hanya cari makan (jenang adalah sejenis makanan), tapi hidup itu bagaimana kita (nama kita, jeneng artinya nama) akan terkenang banyak orang karena peran kita saat menjalani kehidupan.
Kuliah kehidupan dari bersepeda dengan para pakar sepeda ini, pasti akan saya ingat untuk mengarungi kehidupan. Mungkin mulai bulan depan saya akan mencari sepeda. Sepeda yang tak perlu mahal karena yang terpenting bukan mahalnya, tapi seberapa sering kita menggowesnya. Lagian kita bisa makan bubur setelah lelah bersepeda.
Selesai kuliah kehidupan, lanjut ke acara inti Gowes Guyub 2019. Hadir juga dalam acara tersebut, Wakil Walikota Tangerang Selatan, Pak Benjamin Davnie. Tentu kami berterimakasih beliau berkenan hadir.
Beliau pun mengucap terimakasih telah memilih Tangerang Selatan sebagai tempat untuk dilaksanakannya event Gowes Guyub 2019. Sayangnya karena padatnya acara, beliau tidak ikut nggowes. Oleh sebab itu kami tetap memanggil dengan panggilan Pak bukan Om sebagai sebutan antar penggowes.
Kesempatan bertemu dengan Pak Benjamin yang merupakan pejabat publik tentu tidak boleh sia-siakan. Masih ingat kasus seorang sekuriti yang digigit ular weling? Berita yang cukup viral bahwa seorang petugas keamanan atau satpam sebuah perumahan di Gading Serpong, Tangerang Selatan bernama Bapak Iskandar meninggal dunia usai terkena gigitan seekor ular.
Kami meminta kepada Pak Benjamin untuk dapat menyerahkan secara simbolik santunan jaminan kecelakaan kerja. Tentu kehilangan suami dan ayah tidak bisa diukur selalu dengan uang. Namun, ungkapan duka cita dari Pak Wakil Walikota dan direksi serta keluarga besar BPJSTK adalah hal yang mungkin sangat dibutuhkan untuk kuat meneruskan kehidupan yang lebih baik.
Semoga santunan kematian karena kecelakaan kerja sebesar Rp 192.842.586 ditambah beasiswa sebesar Rp 12 juta bisa bermanfaat bagi keluarga Ibu Siti Raudoh selaku ahli waris dan tiga putera puterinya. Jumlah yang tidak sedikit. Bukti bagaimana besar faedah mengikuti program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Pak Wakil Walikota juga melepas peserta Gowes Guyub 2019. Om dan tante panitia sudah mengumumkan bahwa jarak yang akan ditempuh adalah 11 km. Jarak yang tidak pendek bagi pemula seperti saya.
Dua marshal berada di depan untuk membuka jalan, selain mobil dan Om Polisi. Ada satu om marshal lagi yang ada di samping saya. Semula, agak heran juga kenapa selalu dekat dengan saya. Ternyata memang om dan tante panitia menugaskan satu om marshal untuk menjaga saya. Menanyakan masih kuat atau cukup dan ada jalan tercepat menuju finish.
Tapi saya teringat filosofi yang diajarkan para penggiat gowes dan B2W untuk tidak mudah menyerah. Akhirnya sampai finish dengan tuntas. 11 km. Di situlah nikmatnya bisa menuntaskan etape kehidupan dengan baik, tanpa melanggar aturan berjejer maksimum dua. Nah yang melanggar adalah om marshal karena dia yang membuat berjejer tiga.
Selamat untuk Om Eko Nugriyanto yang telah sukses menggelar Gowes Guyub 2019. Selamat juga untuk Om Ferry yang diangkat menjadi Ketua BCC Chapter Banten. BPJSTK tentu akan melindungi penggowes dan komunitas B2W dengan program JKK, JKM, JHT, dan JP.
Untuk itu cek dan pastikan perusahaan mendaftarkan sebagai peserta BPJSTK dan membayar iuran tepat waktu. Tak perlu lagi khawatir gowes saat pergi dan pulang kerja. Dan mari ciptakan langit yang biru untuk langit Indonesia. (*)
NKS: Nitih Kendaraan Sepeda. Depok, 1 September 2019 bertepatan dengan 1 Muharram 1441 H. Selamat tahun baru hijriah.