Pak Dede Yusuf, Pak Agus Susanto, Pak Hanif Dakhiri, dan Valentino Rossi (katanya).

25 Tahun Menanti, Rossi van Depok Mengaspal di Jalanan Ibukota

Lupakan mantan, utamakan keselamatan. Pesan itu terasa menohok untuk yang susah move on. Pesan dari Pak Hanif Dakhiri, Menteri Tenaga Kerja yang selalu berjiwa muda, saat launching program promotif dan preventif yang digelar oleh BPJS Ketenagakerjaan. Benar. BPJS Ketenagakerjaan, bukan yang lain.

Perlu penekanan khusus untuk menyebut BPJS Ketenagakerjaan. Supaya masyarakat makin paham siapa BPJS Ketenagakerjaan dan program-program jaminan sosial ketenagakerjaan. Bahkan Pak Dede Yusuf minta BPJS Ketenagakerjaan diganti saja namannya menjadi BP Jamsostek. Tujuannya, agar jelas dengan BPJS yang lainnya.

Seperti biasa, acara diawali dengan parade sambutan. Giliran pertama, Direktur Pelayanan BPJSTK, kemudian Wakil Walikota, Dirktur Utama BPJSTK, Ketua Komisi IX DPRRI, dan terakhir sambutan oleh Pak Menteri Tenaga Kerja.

Selesai? Belum. Acara lanjutannya, tak kalah membuat lelah. Sesi edukasi dan peragaan bagaimana berkendara menggunakan motor yang aman. Untungnya tidak terlalu lama. Setelah itu, baru yang ditunggu-tunggu: konvoi motor diikuti ratusan peserta.

Tapi sebelum cerita motor-motoran, saya perlu menulis agak panjang tentang Pesan Pak Menteri. Pesan lupakan mantan, utamakan keselamatan. Bayangkan, statistik di BPJSTK menggambarkan bahwa kasus kecelakaan kerja akibat kecelakaan di luar tempat kerja menduduki tempat tertinggi kedua. Ini tentu perlu langkah antisipatif melalui kegiatan promotif preventif.

Banyak yang tidak paham bahwa pada saat berangkat kerja, dari rumah ke tempat kerja, perlindungan Jaminan Kecelakaan Kerja sudah melekat. Jika terjadi kecelakaan di jalan,  BPJSTK akan memberikan perlindungan. Perawatan dan pengobatan di Rumah Sakit, berapapun biayanya, ditanggung.

Begitu juga saat pulang kerja, dari kantor ke rumah. Apabila  kecelakaan tersebut mengantar seorang pekerja menghadap Sang Kholik, keluarganya tetap terbantu dalam meneruskan kehidupan tanpa keresahan. Sebab, klaim sebesar 48 x upah akan diberikan kepada ahli waris. Itu, masih ditambah beasiswa untuk anak-anaknya sesuai ketentuan.

BPJSTK memang sangat serius, melindungi para pekerja Indonesia. Jadi, sebagai simbol perlindungan, saat peluncuran program promotif dan preventif, ada 5.000 helm Standard Nasional Indonesia dibagikan.

Pada Helm itu, ada tulisan program-program jaminan sosial ketenagakerjaan JKK, JKM, JHT, dan JP. Di helm juga tertulis call center 175 untuk memudahkan pekerja mengingat dan jika ada pertanyaan bisa menghubungi BPJSTK.

Katanya, ini Valentino Rossi, Marc Marquez, dan Andrea Dovizioso.

Okelah kalau begitu. Sekarang saatnya cerita naik motor. Saya sudah lebih dari 25 tahun bekerja di Jakarta. Tapi tidak pernah berani naik motor di jalanan ibukota. Paling-paling, naik ojek, atau dibonceng teman. Ini adalah pengalaman pertama saya bawa motor sendiri di jalanan Jakarta.

Sebenarnya, saya bukan tidak akrab dengan motor. Tinggal di daerah Depok, 30 km selatan Jakarta, saya  termasuk pengguna motor. Sabtu atau Minggu pagi, jika ke lapangan batminton, saya sering naik motor.

Jauh di masa lampau, saya juga sudah mengenal pemotor. Saat SMA di Wates, sesekali bisa pinjam motor kakak. Malah, waktu kuliah di Bandung, saya bisa merasakan enaknya naik motor. Motor warisan kakak paling senior yang diwariskan ke kakak berikutnya.

Saya baru kebagian warisan setelah kuliah. Bayangkan betapa lamanya saya menunggu warisan berharga itu. Saking bahagianya punya motor, waktu itu, saya semangat membawanya dari Kulon Progo ke Bandung dengan dikendarai seorang diri.

Motor sepertinya, memang selalu memberi sensasi kebahagiaan. Setelah meninggalkan Bandung, tahun 1998 atau 1999 saya bisa membeli motor sendiri. Inilah motor pertama yang dibeli dari hasil keringat sendiri. Rasanya bahagia sekali.

Saya sering malu, setiap ingat kebahagiaan kecil 20 tahun silam itu. Bayangkan betapa ndesonya saya waktu itu: naik motor, mengajak anak istri ke Depok Mall, rasanya seperti orang paling hebat, selain ada kebahagiaan tak berperi.

Dulu, motor juga berjasa mengantarkan sampai stasiun Depok Baru atau sebaliknya sampai ke rumah. Teringat betul motor juga berjasa mengantar istri yang sudah kesakitan akan melahirkan anak kedua di akhir tahun 2000.

Jujur, saya sering mengelus dada sendiri setiap ingat peristiwa itu. Serba salah, karena hanya bisa membawa istri ke rumah sakit naik motor. Jika ngebut takut kena lubang dan anak mbrojol, namun jika terlalu pelan bisa-bisa anak terlahir di jalan.

Sambil meredakan rasa was-was, saya berdoa agar anak tidak benar-benar lahir di motor yang sedang berjalan. Meskipun untuk berjaga-jaga, saya sudah menyiapkan nama untuk memotret momentum itu. Nama untuk anak perempuan saya yang lahir di atas motor: Motoria Ramadhani.

Itu cerita motoran saya jaman dulu. Meski di Depok saya berani naik motor, tidak jika di Jakarta. Takut jatuh, karena saya bukan pemotor yang lihai-lihai amat, jika tidak bisa disebut pemotor yang terlalu lamban.  Risiko kecelakaan yang tinggi,  membuat saya tak pernah kehabisan stok ngeri untuk njajal naik motor di jalanan ibukota.

Tapi rupanya, BPJSTK memberi kesempatan kepada saya untuk mengaspal di jalanan Jakarta. Saya ikut dan merasakan macet di panasnya Ibukota Negara Indonesia ini. Saya belum bisa membayangkan, akan semacet apa saat ibukota nanti pindah ke Kalimantan Timur. Hanya saja, walaupun pindah ibukota, sebenarnya tetap masuk wilayah DKI alias Di Kalimantan Ibukotanya.

Saya memilih motor matic. Maklum sudah terlalu lama tidak naik motor dengan kopling. Pak Menaker, saya lihat, lihai juga naik motor. Beliau mengakau, kadang-kadang menggunakan motor ke kantor.

Saya mengikuti semua petunjuk yang disampaikan saat edukasi safety riding. Dari trainer safety riding, kita diharuskan menggunakan jaket untuk melindungi tangan. Kita juga menggunakan helm dengan benar hingga bunyi klik. Setelah itu, perlu sepatu yang menutup mata kaki.

Hanya, saya agak bingung ketika jaket biru mesti diganti dengan rompi hijau. Saya menganalisis maksud mengganti jaket dengan rompi, supaya berbeda dari peserta lainnya. Mudah dikenali dan jika hilang atau terpisah dari rombongan bisa segera ditemukan.

Selain saya, yang harus menganti jaket dengan rompi adalah Bapak Menteri, Ketua Komisis IX, Direksi, Dewas dan pejabat lainnya. Memang,  di antara  peserta lain yang jumlahnya ratusan menggunakan jaket biru, rompi kami menjadi mencolok. Ini memudahkan panitia mengenalinya.

Rombongan rompi hijau dipimpin oleh Pak Hanif Dakhiri yang paling depan. Kemudian, Pak Dede Yusuf, dan Pak Agus Susanto. Mungkin pole position Bapak-Bapak tersebut didapat dari hasil di babak kualifikasi.

Saya, Pak Adit dan Pak Naufal berada di lapis ketiga. Sudah layaknya seperti Valentino Rossi, Marc Marquez, dan Andrea Dovizioso, siap menunggu aba-aba. Meski begitu, sebagai Valentino Rossi, saya mesti tahu diri. Nggak boleh nyalip di tikungan, apalagi di depan ada para tokoh jaminan sosial ketenagakerjaan.

Jangan sampai gara-gara nyalip di tikungan, justru ada kecelakaan ataupun pelanggaran. Walaupun BPJSTK sudah siap melindungi dan membiayai perawatan tanpa batasan biaya asal sesuai kebutuhan medis, siapa sih yang mau celaka? Tak ada.

Dan benar. Saya akhirnya kalah. Voorijder hanya membuka jalan untuk yang ada di barisan depan, sementara yang di belakang harus mencari sendiri jalan terbaik. Tapi ini bukan balap, tapi kampanye keselamatan berlalu lintas. Alhamdulillah semua selamat kembali ke Gelora Bung Karno.

Sambil berseloroh Andrea Dovizioso, eh maaf Pak Naufal yang Direktur Umum dan SDM, mengingatkan para peserta konvoi bahwa jangan terlalu keseringan menunggang motor. Sebab, bisa susah punya anak. Pesan yang serius dan wajib dengarkan. Apalagi dari Direktur SDM.

Sebelum sempat menanyakan apa hubungannya naik motor yang sering dengan susah punya anak, Pak Naufal memberi penjelasan. “Kalau keseringan menunggang motor, nanti bisa lupa sama yang di rumah. Kalau sudah begitu, pasti jadi susah punya anak”, kata Pak Naufal kali ini dengan mimik yang tidak lagi serius.

Saya pun menuruti nasihat Pak Naufal. Walau begitu, tetap saja anak tak lagi nambah. Saya harus bertanya pada Pak Naufal mengapa sudah jarang menunggang motor, namun anak tidak juga nambah.

Berharap sekali saya. Berharap segera ada jawaban jitu agar tak terlalu lama penasaran. Jika tidak, saya akan lebih sering menunggang motor dan ikut touring. Touring mengenakan helm standard yang diberikan BPJSTK. Saya akan pastikan, tali helm terpasang dengan baik. Klik. Dan, saatnya siap touring sampai ke Kalimantan, ibukota baru Indonesia. Semoga, tidak malah finish di hati mantan. (*)

Depok, 30 Agustus 2019. NKS: Numpak Kendaraan Skuter

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca