Pada jam sembilan kurang tiga menit, di hari Sabtu, 24 Agustus 2019, saya berada di angkasa Kulon Progo. Agak surprised campur deg-degan saat pramugrari mengumumkan bahwa pesawat beberapa saat lagi akan mendarat di Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo.
Segera saya menegakan kursi sesuai arahan mbak pramugari. Ada sedikit goncangan ketika pesawat mulai menurunkan ketinggian. Langit cerah di atas Kulon Progo mengurangi was-was, apalagi rasa cemas itu, kalah oleh sensasi pulang lewat Bandara di kampung halaman sendiri.
Berikutnya, pesawat mendarat dengan nyaman dari arah laut selatan. Karena duduk di lorong, saya tidak dapat melihat Bandara Kulon Progo dari ketinggian, yang terlihat hanya di sebelah kiri persawahan yang sedikit kering karena kemarau. Serta di sebelah kanan, laut biru pantai selatan yang bersinar keperakan terkena pantulan sinar matahari.
Ini pengalaman pertama saya memilih pesawat yang mendarat di Bandara Kulon Progo. Belum terbayang seperti apa kemegahan Bandara baru yang beberapa bulan yang lalu beroperasi.
Begitu keluar pintu pesawat langsung penumpang disambut garbarata berkaca sehingga terlihat batik motif Kawung menghiasi exterior bandara. Langsung, decak kekaguman muncul. Namun ternyata diujungnya kami diminta turun melalui tangga menuju ruang Bandara.
Sepertinya belum semua fasilitas Bandara Kulon Progo selesai semuanya. Yang terlihat sudah tersedia area ban berjalan bagasi. Juga counter pemesanan taxi untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.
Terdengar sayup-sayup gending selamat datang dari sound system sehingga terasa sekali suasana Jawanya. Saya sempatkan berfoto di Bandara dengan background Welcome to Yogyakarta. Tentulah meminta bantuan penumpang yang lewat sambil tersenyum semanis-manisnya.
Karena hanya membawa koper kabin, saya bisa segera melenggang keluar Bandara. Dan, segera saja terlihat proses pembangunan Bandara yang masih berlangsung sehingga terlihat hamparan kegersangan. Belum banyak dihiasi tanaman.
Setelah terbang selama 1 jam 10 menit, dengan sensasi mendebarkan mendarat di Bandara Temon, perjalanan berlanjut. Masih butuh 45 menit untuk sampai di dukuh saya di Balong, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Samigaluh.
Menyusuri jalan propinsi yang beraspal mulus dan rapi dengan cuaca sedikit mendung membuat perjalanan pulang makin menyenangkan. Apalagi, begitu sampai di rumah ndeso di Dukuh Balong, disambut bu Sutar dan beberapa ibu yang sedang mengurusi tanaman di kebun.
Segera saya meminta bu Sutar untuk merebus daun pepaya dan daun singkong yang dipetik langsung dari kebun. Lalu dimasak. Menemani oseng oseng ikan asin, plus sambal terasi. Hem…makan siang terasa nikmat sekali meskipun dengan lauk yang sederhana.
Terbayang, rasanya hidup akan lebih menyenangkan bisa tinggal di desa ini, saat pensiun nanti. Hidup akan lebih sehat karena mengkonsumsi sayuran organik yang bebas dari pestisida. Semua serba hemat karena tinggal memetik di kebun sendiri.
Setelah istirahat sejenak, saya melanjutkan perjalanan ke arah Borobudur karena kali ini ingin merasakan suasana yang lain. Dan, ternyata dunia saya memang ditakdirkan tidak jauh dari budaya.
Pada saat makan malam di restoran Pondok Tingal Hotel di Borobudur, keluarga pemilik hotel mengundang saya untuk menonton pergelaran Wayang Kulit.
Bagi pecinta budaya, Pondok Tingal memang sudah tidak asing, karena pemiliknya, Pak Boediardjo (yang pernah menjadi Mentri Penerangan era Pak Harto) adalah tokoh kondang di kalangan pecinta seni.
Saya beruntung datang pada Sabtu malam itu. Sebab, bertepatan dengan minggu keempat, yang rutin diadakan pertunjukan wayang hingga dinihari. Waah ajakan yang menarik apalagi yang digelar adalah wayang kulit gaya Kedu. Selain itu jalanan di depan hotel juga tidak bisa dilewati karena sedang berlangsung Borobudur night Carnival.
Tepat jam sembilan malam, Ki Suroso dalang dari Wonosobo memulai suluknya dengan mempesona. Lakon Murti Serat segera dimulai.
Deretan wayang kulit yang disimping atau ditata di sisi kanan kiri Ki Dalang y menandakan kelengkapan koleksi wayang dari pemiliknya.
Dari Mas Eko, dalang muda lulusan STSI Solo yang diserahi mengurus teknis pewayangan, saya mendapat banyak cerita. Saya juga diajak melihat koleksi aneka wayang kulit milik almarhum Pak Boed. Semua koleksi itu, disimpan dengan sangat baik di samping tempat pagelaran wayang kulit.
Saya juga mendapatkan penjelasan serba lengkap dari Mas Eko tentang Wayang Kedu yang merupakan babon atau induk dari wayang kulit.
Mas Eko, memang sangat paham sejarah wayang, apalagi selain kuliah di STSI, ia juga pernah nyantrik selama sembilan tahun pada seorang dalang kondang. Perbincangan yang tak sia-sia, karena saya juga bisa berkenalan dengan Mas Faisal, keluarga Pak Boediardjo.
Angin malam mulai berembus. Kantuk tak bisa ditahan. Saya pamit lebih dulu karena esok hari harus melanjutkan langkah ke Solo. Meskipun capek, namun adrenalin saya meningkat karena sudah tergambar rencana memajukan sanggar pedalangan Mahening Budhi.
Langkah sangat kongkret terjalin karena bisa menjalin kerjasama dengan Mas Eko untuk mengadakan workshop pedalangan bagi dalang dalang di desa yang belum memiliki sertifikasi. Semoga semua niat baik ini bisa terwujud. Ah, melanjutkan langkah ke Solo menjadi terasa nyaman.(*)