Tiba-tiba saya ingin menulis tentang pusaka orang Jawa. Tumbuh di desa, cerita tentang kesaktian dan pusaka, biasa terdengar. Dari cerita rakyat lewat kesenian ketoprak ataupun wayang (saat nonton langsung di mbale deso atau sekadar ngebyar mendengar radio) keris menjadi bagian dari fantasi tentang pusaka ampuh.
Melompat jauh ke masa lalu, saat saya masih di sekolah dasar. Bapak saya yang seorang petani, memiliki hewan peliharaan. Ada sapi, kambing, dan ayam. Hewan rojokoyo ini diperjualbelikan di saat-saat darurat. Khusus untuk ayam, disembelih jika ada kakak atau adik yang sakit.
Nah, sapi yang bapak beli, tidak selalu jinak. Ada kalanya susah dikendalikan. Tapi herannya bapak saya selalu bisa menundukkan kebringasan sapi tersebut. Saya lalu diceritai bahwa Bapak memiliki sebuah jimat. Jimat berupa kuku macan. Binatang seberingas apapun di tangan Bapak saya bisa dipastikan bertekuk lutut.
Sayangnya saya tak pernah melihat wujud jimat itu. Katanya, Bapak menguburnya di dalam sumur keramat yang letaknya di sebuah pekarangan di lembah. Sumur yang kini tak ada bekasnya sama sekali. Tapi walau sudah tanpa kuku macan, Bapak tetap bisa menaklukkan keberingasan sapi terutama saat memasang ‘keluh’, sebuah tali di hidung sang sapi.
Apakah cerita tentang kuku macan hanya karangan belaka? Atau sebenarnya Bapak memang memilikinya untuk menaikkan rasa percaya diri? Hari-hari ini, pertanyaan itu muncul, tak bisa lagi saya konfirmasi karena bapak yang mewariskan kegigihan hidup itu, menghadap Tuhan tahun 2002.
Lalu cerita tentang keris. Seperti umumnya orang dulu, keluarga besar kami juga memiliki pusaka. Bapak yang berasal dari orang kebanyakan, memang tidak memiliki keris. Tapi dari keluarga simbok, diwariskan sejumlah pusaka.
Dulu, leluhur Simbok termasuk memiliki jabatan. Karena Bapak dan Simbok menempati rumah leluhur, beberapa pusaka secara otomatis turun ke beliau berdua. Keris adalah salah satunya. Keris-keris milik Mbah Wir, kakek yang wafat saat usia saya baru enam bulan.
Saya tidak ingat betul bentuk, jenis, atau nama-nama keris tinggalan Mbah Wir. Sebab, yang terekam dalam ingatan hanya ritual mengeluarkan pusaka-pusaka itu pada tanggal 1 Suro.
Cerita berikutnya adalah tuah pusaka-pusaka warisan Mbah Wir. Setelah beliau wafat, keris-keris itu seperti membuat ulah. Tiap malam ‘glodagan’, menimbulkan bunyi di tempat penyimpanan. Itu tentu mengganggu. Mungkin Bapak Simbok tidak bisa merawatnya.
Dasar orang nggunung. Akhirnya keris-keris itu oleh Bapak saya diberikan kepada Bapak Mujiyo. Pak Muji ini, tetangga di Dusun Penggung, tidak jauh dari Dusun Nganjir. Begitu cerita Mas Supardi, kakak tertua saya yang paham betul soal keluarga.
Nah, ada juga cerita dari sumber lain. Konon, salah satu keris, dibuang Bapak di daerah Tenggaron. Soal ini, lagi-lagi, saya tak lagi bisa konfirmasi, hanya doa semoga Bapak bahagia di alam keabadian. Jadi, keris-keris Mbah Wir itu, tak tersisa satu keris pun sebagai warisan anak cucu. Mudah-mudahan ada maksud tertentu tentang hal tersebut.
***
Barangkali benar. Orang Jawa, sejatinya memang tidak bisa dipisahkan dengan keris. Setelah berpuluh tahun mendengar cerita tentang nasib keris-keris keluarga yang tercerai-berai, kok tiba-tiba muncul penyesalan. Entah oleh sebab apa. Perasaan ini datang tba-tiba. Benar. Saya seperti getun karena tidak bisa mewarisi keris keluarga.
Lalu ajaib. Dengan tiba-tiba pula, saya merasa membutuhkan keris. Saya membayangkan mewarisi keris Mbah Wir. Itu terjadi saat Nganjir, dusun saya yang ndeso itu, mau wayangan. Saya harus datang dan berbusana Jawa. Jadinya butuh keris. Dan, itulah yang terjadi: saya memiliki keris.
Tidak usah saya berkisah bagaimana keris itu saya miliki. Sebab, agak-agak absurd. Takut tidak percaya, atau malah ada yang curiga sekadar ngarang.
Tapi keris yang kemudian saya sekarang saya rawat, sanat menarik. Setidaknya, identivikasi orang yang mengerti keris menyebutkan seperti itu. Saya yang baru paham, hanya manggut-manggut, mendengar diskripsi yang menakjubkan. Begini diskripsi yang magis itu.
Pamor keris saya, Ngulit Semangka. Luk sembilan. Dengan kembang kacang, greneng, dengan dua sogokan. Secara umum, tuah pamor Ngulit Semangka, konon bagus untuk pergaulan, karena sifatnya yang bisa masuk semua kalangan. Luwes. Selain itu, pamor ini juga memudahkan dalam soal-soal kerezekian. Atau, pengasihan umum dalam kehidupan sehari-hari
Dhapur kerisnya, Panimbal. Panimbal tu artinya pemanggil. Pada masa lampau, keris dengan Dhapur Panimbal hanya dimiliki para pembantu raja, abdi negari, dan kaum aristokrat. Jadi tidak sembarang orang bisa memiliki keris dengan dhapur ini.
Dalam konteks spiritual Jawi, keris luk sembilan bermakna kematangan spiritual. Oleh karenanya tidak heran keris-keris berdhapur Panimbal banyak diagem atau dimiliki oleh para tokoh kasepuhan serta penekun dunia spiritual. Keris Panimbal (orang lebih sering menyebutkan begitu karena lebih singkat) sering dijadikan sebagai keris pusaka.
Sesuai namanya, panimbal. Maknanya memanggil atau pemanggil. Dengan memiliki keris ini, dipercaya bisa memanggil (dalam bahasa Jawa memanggil itu nimbali) keris-keris atau pusaka lainnya untuk datang.
Secara karakter, keris Panimbal biasanya lembut namun kuat. Ini yang membuat pemiliknya mampu menjadi sosok yang sukses, karena kuat dalam soal-soal prinsip hidup, namun lembut dan lentur untuk urusan pergaulan.
Maka begitulah. Naluri Jawa saya, membawa saya harus bersentuhan dengan keris. Ini barangkali yang dimaksudkan dengan obsesi kesempurnaan hidup orang Jawa yang harus memiliki lima hal: curigo, wanito, wismo, turanggo, kukilo.
Depok, 25 Agustus 2019. Salam NKS: Niki Keris Saya