Jakarta, Koranpelita.com
Masyarakat sedang dihebohkan viralnya video ceramah Ustadz Abdul Somad biasa disingkat UAS yang antara lain menyatakan Salib identik dengan Jin Kafir sehingga ada dugaan UAS melakukan penistaan agama.
Pengamat hukum Suhardi Somomoeljono mengatakan untuk memastikan ada tidaknya penistaan agama masih diperlukan adanya pengkajian, dan pengujian yang mendalam.
“Sehingga ada gambaran yang logis, apakah peristiwa seperti itu dapat disebut sebagai bentuk perbuatan pidana menista agama umat Nasrani,” kata Suhardi, Senin (19/8/2019) menanggapi ceramah UAS tiga tahun lalu tersebut.
Dikatakan Suhardi dari jawaban UAS dalam klarifikasinya yang dia baca di salah satu media online diketahui pernyataan UAS menjawab pertanyaan anggota jamaah soal hukumnya Salib. UAS menjawab Salib itu identik “Jin Kafir”.
Kejadiannya saat ceramah, di dalam Masjid Agung An-Nur Pekanbaru, bukan berupa tabligh akbar, dan tidak disiarkan oleh stasiun TV.
Pengajian di Masjid juga secara khusus hanya untuk umat Islam dan video itu sudah berlangsung tiga tahun yang lalu.
Dikatakan Suhardi jika benar maksud dan tujuan dari UAS menjawab pertanyaan anggota jamaah hanya ditujukan kepada umat Islam bukan umat Nasrani, maka secara hukum apakah relevan umat Nasrani merasa dinistakan agamanya oleh UAS.
Selain itu, ucapnya, pengajian di masjid yang dilakukan secara tertutup hanya dihadiri umat Islam tidak ada umat Nasrani menunjukan UAS dari semula tidak ada niat untuk melakukan perbuatan menista agama.
“Terkecuali dilakukan secara terbuka untuk umum, wajarlah kalau kemudian UAS dianggap telah menistakan agama lain,” kata dosen Pasca Sarjana Universitas Math’laul Anwar, Banten ini.
Selain itu, tutur Suhardi, video ceramah UAS kejadiannya tiga tahun lalu. “Artinya selama tiga tahun tidak ada pihak-pihak yang mempersoalkan ceramah UAS,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Suhardi, jika setelah tiga tahun kemudian umat Nasrani merasa dinistakan apakah logis dari sisi logika hukum pidana dalam peristiwa tersebut UAS dipandang telah melakukan penistaan agama.
Persoalannya juga selama ini, ujar Suhardi, UAS sosok yang mengakui keberadaan seluruh agama samawi yang diakui hukum positif di Indonesia. Bahkan, kata dia, UAS seorang pegawai negeri sipil atau PNS pemerintah yang setia dengan Idiologi Negara Pancasila.
Untuk itu dia meminta aparat
dalam menjalankan penegakan hukum untuk berhati-hati dan jangan sampai terpancing dengan opini publik.
“Teliti secara seksama oleh para ahli hukum pidana Indonesia. Jangan memberi porsi kepada para ahli yang bukan ahlinya,” kata mantan Ketua Umum DPP Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI) ini.
Dia pun menegaskan siapapun tidak pandang bulu dalam hukum positif Indonesia dilarang melakukan perbuatan menista agama.
Namun, tutur Suhardi, dalam proses penegakan hukum, aparat penegak hukum jangan sampai terjebak dalam ranah politik praktis atau politisasi.
“Ini untuk menghindari terjadinya peradilan yang dipaksakan, sehubungan dengan derasnya opini publik. Putusan pengadilan yang mendasarkan pada opini publik semata dapat menghasilkan peradilan sesat,” tegas Suhardi.
Dia pun berharap umat Nasrani berjiwa besar dan tidak mudah merasa terhinakan oleh pernyataan UAS. “Semoga atas peristiwa tersebut menjadikan kerukunan antar umat beragama di Indonesia dalam memasuki Hari Kemerdekaan Indonesia ke 74 semakin dewasa,” ucap mantan pakar Otsus Desk Papua pada Kemenko Polhukam ini. (did)