Harusnya hari itu saya ikut lomba SUP marathon. Tidak tanggung-tanggung, jarak tempuhnya, 8 km. Latihan dan cek rute sudah dilakukan. Saya sadar sebagai atlit karbitan. Masih perlu jam terbang, bahkan untuk sekadar berdiri stabil di atas papan SUP. Jadi, saya putuskan tak coba-coba ikut lomba.
Walau begitu, saya hadir di acara lomba SUP. Tapi sejam setelah acara dimulai. Ada alasan saya hadir tanpa ikut lomba. Pertama, menyemangati tim BPJSTK dan berharap atlet muda berbakat BPJSTK yang bisa mewakili saya menjuarai SUP marathon.
Alasan kedua, sebagai penggemar Novel Laskar Pelangi, saya berkomitmen untuk sekolah di SD Muhammadiyah Gantong. Keinginan kuat untuk bisa merasakan secara langsung para Laskar Pelangi menuntut ilmu yang tergambar dalam novel Laskar Pelangi.
Rasa penasaran pada Desa Gantong terlalu besar. Termasuk rasa ingin membandingkannya dengan dusun bernama Nganjir di kabupaten Kulon Progo. Dusun kelahiran saya lebih dari 50 tahun yang lalu.
Maka begitulah. Saya datang ke lomba SUP sekejap, sekadar setor muka dan berfoto dengan sang juara. Setelah itu tanpa mengendap, saya meninggalkan pantai Tanjung Kelayang. Tak ada kekhawatiran ketemu tim SUP BPJSTK karena yakin masih di laut lepas menunggang ombak.
Lalu, begitu saja saya terhanyut dalam perjalanan menuju Belitung Timur. Sudah dua jam. Namun belum juga sampai lokasi SD Muhammadiyah Gantong. Padahal menggunakan mobil. Tak terbayang jika dengan sepeda. Kecepatannya pun relatif tinggi karena tak banyak mobil yang lewat. Jalan pun mulus.
Lelah membayangkan Laskar Pelangi, kelopak mata merapat. Terlelap, sekejap. Membuka mata oleh sebab mobil melambat, tibalah saya di SD Muhammadiyah Gantong. Panas matahari menyengat. Tapi saya semangat.
Rasanya persis benar dengan yang digambarkan sewaktu sepuluh bocah pada novel Laskar Pelangi itu belajar: Lintang, Sahara, Ikal, Syahdan, Mahar, Borek atau Samson, Trapani, Harun, A Kiong, dan Kucai.
Mak deg. Ada haru menyusup, melihat Replika SD Muhammadiyah Gantong. Ingatan segera terlempar jauh ke ufuk masa lampau. Empat puluh lima tahun lalu. Ketika bersekolah di SD Karang Sari II, satu-satunya sekolah yang terjangkau dari Desa Nganjir, Kecamatan Kokap, Kulon Progo.
Jono kecil bersama teman-teman sebaya berjalan kaki tanpa alas kaki. Menyusuri jalan setapak yang licin saat hujan, yang membatu di musim terik. Tapi semangat tak pernah menghambat. Enggan surut, demi mengubah hidup.
Saya masih ingat beberapa nama guru hebat yang menghasilkan anak-anak hebat. Ada Pak Idris (almarhum) guru kelas 1 yang mengajar hingga saya bisa membaca Ini budi. Ini Ibu Budi. Lalu, ada Bu Ratmi yang mengajar saat kelas 3 dan kelas 5.
Setiap teringat Bu Ratmi, saya langsung teringat matematika. Pelajaran yang pada akhirnya, mengantar saya mendapat banyak keberuntungan. Saat itu, saat pelajaran matematika, Bu Ratmi meminta semua murid untuk membawa lidi yang dipotong dalam ukuran yang sama. Jumlahnya 100 potong lidi, dengan ukuran 10 centimeter.
Konsep menambah atau mengurangi jelas lebih mudah dengan alat peraga sederhana itu. Tapi yang menajubkan, bagaimana Bu Ratmi bisa mengajarkan mengenai konsep satuan dan puluhan. Nyantol di ingatan sepanjang hayat.
Saya tergeragap. Ingatan tentang SD Karang Sari II yang bersahaja, saya hapus, begitu kaki membawa langkah hingga di bawah bendera merah putih. Saya mendongak, memandangi tepat pada kibarannya, lalu tanpa diperintah, tangan kanan terangkat, memberi hormat.
Agak lama. Sebab, dari depan SD Muhammadiyah Gantong, ingatan kembali meloncat ke SD Karang Sari II. Saya ingat. Ingatan tentang keinginan menjadi pengibar bendera pada upacara setiap Senin yang tak pernah tercapai.
Saya tahu, menjadi orang pendek memang harus tahu diri, karena setiap Senin hanya bisa berdiri di barisan belakang. Fisik yang kalah tinggi dari siswa lain selalu menggagalkan cita-cita mulia itu. Tapi pernah, suatu kali, saya mendapat hiburan kecil, karena mendapat kehormatan menjadi petugas upacara. Meski bukan sebagai pengibar bendera, tapi menjadi pembaca naskah pembukaan UUD 45 sudah cukup sebagai pengobat kecewa.
Selesai memberi penghormatan pada merah putih, saya harus menunggu waktu untuk bisa masuk kelas di sekolah fenoemal itu. Terdengan ada murid yang sedang belajar. Tapi suaranya agak mencurigakan, karena bukan suara anak-anak SD. Dan benar. Ternyata yang ada di dalam kelas adalah para pelancong domestik yang sedang bereuni.
Mereka lulusan sebuah perguruan tinggi di Bandung angkatan 70an. Lucu juga mereka menjadi anak-anak SD yang belajar membaca dan berhitung. Walau rambutnya sudah memutih, tampak giat belajar membaca. Ini Budi. Ini Ibu Budi.
Sebelum pindah ke tempat wisata lain, sebuah kewajiban harus saya tunaikan. Kewajiban membelanjakan rejeki dengan membeli souvenir berupa batik cantik dengan motif daun simpor, motif buah Keremunting, atau motif ikan Cempedik. Tanpa lelah saya menanyakan kepesertaan BPJSTK pada sang penjual batik, yang memang belum paham bahwa BPJS itu ada dua.
Bergerak sedikit dari SD Muhammadiyah Gantong. Ada rumah keong yang terbuat dari rotan. Spot selfie yang asri. Tak perlu lama, cukup untuk melengkapi tulisan ini. Wisata berikutnya yang juga terkenal adalah Kampong Ahok. Jangan kecewa jika kampong itu sudah berubah nama.
Sejak mantan Gubernur DKI tak lagi mau dipanggil Ahok, Kampong Ahok pun harus berganti. Dipilih nama adik dari Pak Ahok, eh Pak BCP. Kampong Fifi namanya.
Selanjutnya, ke Museum Kata Andrea Hirata. Alamat museum ini pun unik. Berada di Jalan Laskar Pelangi nomor 7, Gantong, Belitung Timur. Memuat kata-kata bijak yang ampuh untuk bangkitkan semangat. Ruangan dihiasi foto atau asesoris yang menggambarkan kisah dalam novel ataupun film Laskar Pelangi.
Ada ruang Ikal, tokoh sentral Laskar Pelangi. Ada ruang yang menggambarkan tentang Lintang beserta sepedanya, atau ruang Mahar senimal kecil nyentrik yang sangat terinspirasi dan mengidolakan raja dangdut Rhoma Irama. Di bagian belakang adalah ruang dapur. Ruang ini sebenarnya Warung Kopi Kuli. Kita bisa memesan kopi beserta pisang gorengnya yang rasanya susah diungkapkan dalam kata-kata.
Hari hampir berjalan separonya. Tapi ada tawaran menarik dari guide sekaligus sopir yang membawa kami. Mampir ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang tak jauh dari kantor Bupati Belitung di Manggar. Unik memang, hari minggu kok tetap buka ya kantor ini. Dan menjadi bagian yang ditawarkan untuk dikunjungi sebagai bagian dari tempat wisata.
Disambut oleh Bujang Belitung Timur 2018 pemenang lomba Bujang Dayang Belitung Timur (seperti Abang None Jakarta) yang ramah dan tampan tentunya. Muhammad Syarul Cholid atau Syarul, sang Bujang, menjelaskan produk dan budaya Belitung Timur termasuk tentunya budaya ngopi. Ada julukan untuk Belitung Timur. Julukan 1001 warung kopi. Setiap sudut, kita akan ketemu warung kopi. Budaya ngopi yang terbangun sejak para buruh tambang timah istirahat kerja untuk menikmati kopi sambil mengusir lelah.
Timah, tentu produk yang tak luput dijelaskan. Andalan Belitung Timur pada masanya yang membuat Great Britain dan Belanda tertarik menguasainya. Juga lada, walau pedas tapi banyak orang menyukainya. Berbeda dengan lada dari daerah lain, lada Beltim lebih besar dan berwarna putih. Kualitasnya pun terjaga walau disimpan 5 tahun.
Saya dibawa masuk ke ruang tengah untuk melihat satwa. Melihat buaya. Dijelaskan oleh Syarul, Bujang ganteng Beltim bahwa yang ada sekarang buayanya masih anakan. Ini penghuni baru karena buaya yang super besar bahkan saking gemuknya divonis dokter, buaya tersebut mengalami obesitas sehingga harus pensiun dini. Panggilan sayang untuk buaya anakan ini adalah Bon Bon.
Binatang yang lain adalah monyet super mini yang disebut tarsius. Dipanggil dengan nama Mon Mon. Mungkin singkatan dari monyet. Beda dengan layaknya monyet lain yang memakan buah, tarsius makan serangga. Lalu Abang Syarul, Bujang Beltim memberinya jangkrik, tapi kala itu Mon Mon malas untuk makan. Tidak tahu apakah sedang rindu atau patah hati.
Jenis monyet ini monogami, setia pada pasangannya. Selamanya. Sekali jatuh cinta, setia hingga ajal memisahkan dan tidak mencari gadis/perjaka lain sekalipun ditinggal mati pasangannya. Bahkan banyak yang tidak lama dari kematian pasangannya, ia pun menyusul. “Beda ya sama kita?” Entah untuk siapa kalimat Abang Syarul itu ditujukan.
Ada juga tupai yang bisa terbang. Dua tupai lucu ini sedang berpelukan. Tak peduli panasnya udara Belitung Timur, kemesraan lebih penting. Juga kura-kura air tawar yang jumbo bernama Pon Pon. Karena cangkangnya yang mirip dengan topi baja seorang Komandan Klepon mungkin akhirnya ia dipanggil Pon Pon.
Lebih ke dalam lagi, ada sebuah ruangan yang cukup jembar alias lebar. Sayangnya yang menemani tetap Abang Syarul, Bujang Beltim 2018. Padahal berharap Dayang Beltim 2018 yang berganti menjelaskan.
Rupanya Dian Nur Anisa, Dayang 2018 tidak sedang bertugas. Syarul menjelaskan adanya permainan mistis yang bernama Antu Bubu. Dalam permainan ini, dibutuhkan bubu alat untuk menangkap ikan, batok kelapa yang utuh tapi isi kelapa sudah kosong, dan kain kafan. Kain kafan untuk menutupi kepala yang dari kelapa hingga badan yang terbuat dari bubu. Sehingga bentuknya mirip dengan orang yang dikafani.
Pawang akan memanggil roh untuk dimasukkan ke dalam bubu. Pemain harus bisa mengalahkan atau menaklukkan Antu Bubu. Sebuah permainan seperti bambu gila dari Maluku. Jika pemain Antu Bubu yang kalah, maka pawang akan menarik roh yang ada di bubu tersebut.
Menarik. Tapi ngeri. Yang tidak ngeri adalah ini: tata pernikahan Melayu Belitung di Belitung Timur.
Saya ingin menulisnya, hanya saja, tidak paham benar makna setiap rangkaian upacara pernikahan yang minimal ada 15 uturan dimulai dari Neresik. Lalu, Mutus Paham, Pembentukan Panitia Gawai/Malam Kumpulan, Selamat Gawai/ngiro gawai/Selamat Pajang, Betangas, Upacara Mandi Kusul, Ngasah Gigi dan Ngandam Rambut, Akad Nikah, Masang Pacar Inai, Khatam Alquran Gawai Pengantin, Mandi Bersimbor, Silaturahmi Kepada Keluarga Perempuan, Gawai Penganten Beranjuk, dan Ngulangek Runut.
Itulah Endorse untuk Belitung. Semogalah BPJSTK juga diendorse oleh Pimpinan Belitung untuk rakyatnya. Tentu agar terlindungi jaminan sosial ketenagakerjaan yang pada akhirnya akan membuat rakyat lebih sejahtera. (*)
Depok, 16 Agustus 2019 malam menjelang peringatan kemerdekaan.