Jakarta, Koranpelita.com
Koordinator LSM Jikalahari, Made Ali mengungkapkan, dari hasil penelaahan atas sejumlah pasal dalam RUU Pertanahan, ditemukan pasal-pasal yang tidak propelestarian hutan dan berdampak pada pembakaran hutan dan lahan (karhutla). Karena itu, pengesahan RUU Pertanahan harus ditunda.
“Banyak akademisi dan pakar serta praktisi yang berhubugan langsung dengan RUU ini sudah menolak pengesahannya. Jikalahari juga demikian, mengingat konsekuensi dari pengesahan RUU Pertanahan menjadi UU sangat besar dan merugikan bangsa dan negara,” ujar Made Ali, Selasa (13/8) menanggapi pembahasan RUU Pertanahan yang dikritisi banyak pihak.
Made Ali mengungkapkan pasal yang dimaksudkan, pertama, Pasal 146 berbunyi; dalam hal pemegang Hak Guna Usaha (HGU) telah menguasai fisik tanah melebihi luasan pemberian HGU. Kelebihan itu belum memperoleh hak atas tanah.
Pasal ini menguntungkan 378 korporasi sawit illegal dalam kawasan hutan. Dia kuasai lahan melebihi HGU yang berada dalam kawasan hutan atau tanah dalam kawasan hutan yang belum punya hak atas tanah, statua HGUnya ditetapkan Menteri ATR/BPN. Status bagaimama. Illegal atau legal?
Dikatakannya, pasal ini juga bertentangan dengan pasal 33 ayat 9 RUU pertanahan. Bunyi pasal 33 ayat 9 adalah dalam hal pemegang HGU menguasai fisik melebihi luasan pemberian haknya, maka status tanahnya dihapus dan menjadi tanah yang dikuasai oleh negara dengan status hak pengelolaan.
Pasal 33 ayat 9 untuk frasa HGU kuasai fisik lebihi luasan HGU status tanahnya dihapus. Namun dalam pasal 146 frasa kuasai tanah melebihi pemberian HGU status HGU ditetapkan oleh Menteri. Mana yang harus diikuti? Pasal ini saja sudah saling bertentangan, kata Made Ali.
Kedua, memindahkan konflik tenurial pada KLHK. Terlihat dalam pasal 33 ayat 5 dan ayat 6. Ayat (5) berbunyi; dalam hal HGU diberikan atas Tanah Negara, maka pemegang hak wajib menyediakan tanah untuk pekebun, petani atau petambak plasma di sekitarnya, paling sedikit 20 persen dari luas tanah yang diberikan dengan prinsip ekonomi berkeadilan.
Mustahil perusahaan membagikan 20 persen dalam HGUnya, karena pasal ini memberi peluang 20 persen di luar HGUnya. Sementara dari temuan Jikalahari 20 persen itu dominan berada di dalam kawasan hutan. Untuk menghindari 20 persen itu, perusahaan ajukan ke menteri ATR/BPN 20 persen di kawasan hutan. KLHK tidak setuju karena berada di kawasan hutan fungsi HPK. Korporasi dan Menteri ATR BPN dengan mudah menyalahkan KLHK dan petani akan mengutuk KLHK.
“Agenda reforma agrarian Jokowi tidak menemukan solusi persoalan itu, karena menterinya saling berantem dalam RUU Pertanahan yang tidak menyelesaikan konflik tenurial,” tambah made Ali.
Lalu pasal 33 ayat 6 berbunyi; Dalam hal tanah 20 persen dari luas tanah yang diberikan tidak tersedia dari bagian tanah HGU yang dimohon atau tidak tersedia di lokasi lain yang memungkinkan masyarakat sekitar dapat mengusahakan maka dapat diberikan dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri
Bentuk lainnya seperti apa? Ini luar biasa kewenangan Menteri ATR/Kepala BPN. Jika tak tersedia dia bisa berikan dalam bentuk lain. Korporasi diberi kemudahan oleh menteri ATR BPN, ini berbahaya dan membuka peluang korupsi, karena dalam bentuk lain bisa saja berasal dari permintaan korporasi. Dan ini bisa transaksional.
Ketiga, pemaksaan melegalkan kejahatan kehutanan atau menghilangkan tindak pidana kehutanan bisa dilakukan dengan status HGU dari menteri ATR BPN (lihat pasal 146 dan 33); Menteri ATR/Kepala BPN dapat mengampuni kejahatan kehutanan korporasi sawit.
Deforestasi Besar-besarn
Dalam penelaahan lain kata Made Ali, Jikalahari menemukan bila RUU Pertanahan menjadi UU, dampaknya akan terjadi deforestasi besar-besaran dengan cara melakukan pembakaran hutan dan lahan, serta melegalkan kejahatan kehutanan 378 korporasi sawit yang lahannya kembali terbakar sepanjang 2019, hingga 6 juta warga Riau kembali terpapar polusi asap.
“Anda bayangkan 1,8 juta kawasan hutan, anggaplah hutan alam tersisa 1 juta hektare, lahan seluas itu akan segera digunduli oleh korporasi. Lalu dibakar karena biayanya murah. Habitat flora dan fauna yang selama ini hidupnya di hutan alam, akan punah,” ujar Made Ali.
Made Ali mengingatkan, jika ini terjadi, Presiden Jokowi telah melanggar sendiri komitmen berupa moratorium sawit, moratorium hutan. Dua kebijakan itu sebagai wujud komitmen presiden Jokowi di Paris Agreement yang telah menjadi UU No 16 tahun 2016, yaitu komitmen nasional hendak menurunkan emisi berupa; pelestarian hutan, energi terbarukan, dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan Indonesia. Termasuk menghentikan karhutla dengan cara merestorasi gambut akan sia-sia, karena sebagian besar 378 korporasi itu berada di atas lahan gambut. Itu artinya Jokowi akan melegalkan tindakan korporasi itu merusak gambut.
Diungkapkan Made Ali , Jikalahari telah menelaah RUU Pertanahan versi draft awal, draft versi Juni 2019 dan Versi Juli 2019. Versi Juni dan Juli 2019 adalah versi penuh kegelapan karena dibahas tersembunyi dan tertutup rapat hingga publik tidak tahu perkembangannya. (kh)