Mencari Pari Menari hingga Nusa Penida

Pekan lalu saya sengaja mengambil cuti. Cuti satu hari untuk mengejar Pari Manta ke Nusa Penida Bali. Yaa… pada bulan Agustus ini cuaca di Bali sedang dingin. Sebab,  bertiup angin winter dari Australia.

Dan di saat itulah, banyak ikan Pari Manta. Kawanan pari ini, membersihkan diri ke tempat yang lebih dangkal sehingga tidak perlu menyelam terlalu dalam. Selain itu, info dari Bli Putu, seorang dive master sekaligus pemilik Stingray Dive Center, apabila beruntung akan menemukan ikan Mola Mola. Atau Sunfish. Ikan raksasa yang mengundang para penyelam ke Nusa Penida, nyaris setiap bulan Agustus.

Kesempatan menyenangkan itu tidak saya lewatkan, apalagi ketika ada teman saya yang tiba-tiba mengajak menyelam ke Nusa Penida.  Maka, Kamis malam, tepat jam 21.30 WIB, saya tiba di bandara Ngurah Rai. Gamelan Bali yang riuh tapi syahdu, menghanyutkan kalbu. Damai.

Setelah mengurus bagasi yang penuh dengan peralatan menyelam, sambil menunggu teman yang masih dalam perjalanan, saya mampir ke bubur Laota di Kuta. Malam di pintu dinihari, rasanya memang hangat menyantap bubur, sebelum ke hotel di daerah Sanur.

Keinginan menikmati Kuta di waktu malam, rupanya gagal. Pengunjung Laota terlalu ramai. Jadilah saya putuskan membeli saja buburnya dan membawanya ke hotel. Apalagi tubuh sudah lelah. Kemewahan kecil bisa santai bersama Kuta  berpayung malam, harus saya urungkan demi penyelaman esok hari.

Lalu, pagi datang dengan kesegaran yang saya harapkan. Setelah sarapan secukupnya, saya masih sempat melihat-melihat sekitar hotel sambil menunggu dijemput oleh pihak Stingray. Sementara dua teman saya yang masih muda Eka dan Jessica sibuk menyiapkan perlengkapan yang akan dibawa ke kapal.

Kami bertiga lebih dahulu sampai di pantai Sanur dan diperkenalkan dengan para penyelam asing yang ternyata berasal dari Thailand dan China. Waah… mereka saja rela jauh-jauh datang ke Bali untuk melihat keindahan alam bawah laut Indonesia. Ini menjadi penyemangat saya untuk lebih mencintai tanah air.

Sambil menunggu anak buah Bli Putu menyiapkan perlengkapan diving ke atas kapal, kami berlima (saya, pak Gonthor, pak Steffen, Eka dan Jessica) foto-foto dahulu di sekitar pantai Sanur. Hari ini Sanur agak penuh. Para penyelam dari luar negeri berdatangan untuk (juga) mencari Pari Manta dan Mola Mola. Selain, pasti, menikmati Bali yang sejuk pada bulan Agustus.

Setelah semuanya siap, saya dan teman-teman serta lima penyelam asing naik ke kapal untuk menyeberang ke Nusa Penida. Seketika, melihat air laut yang biru (menandakan dalamnya lautan) serta ombak yang meriak, saya agak was-was menceburkan diri. Apalagi air laut menjadi lebih dingin sekitar 18 derajat. Perlu daya tahan tinggi untuk menyelam khususnya bagi saya yang sudah hampir kepala enam.

Tempat penyelaman pertama adalah Crystal Bay. Menurut info dari para kapten kapal, ini tempat Mola Mola akan mendekati permukaan  laut untuk mencari sinar matahari. Mola mola. Nama yang elok. Dunia menyebutnya Ocean Sunfish. Inilah ikan yang sangat besar dengan diameter mencapai tiga  sampai empat meter. Beratnya sekitar 1.000 kg serta berada di laut yang dalam.

Saya dengan pengalaman yang serba minim dengan lisensi Open Water Diving, tidak berharap banyak bisa bertemu Sang Mola. Begitu melakukan back roll dari tepi kapal untuk menceburkan diri ke laut, saya langsung terombang-ambing ombak.

Antara ngeri dan menggigil, saya harus melawan arus. Berpegangan erat pada tali di sekitar kapal. Kepanikan mulai merayapi hati, oleh sebab tubuh serasa terayun-ayun di samping air laut yang dingin.

Begitu turun ke dalam laut, muncul masalah. Telinga terasa sakit akibat tekanan di dalam laut. Meskipun telah melakukan ekualisasi (mengurangi tekanan pada gendang telinga) rasa sakit, tidak juga berkurang.

Saya diminta oleh Bli Putu untuk naik ke kapal saja. Beberapa saat kemudian dua divers dari China ikut naik ke kapal. Tapi ternyata mereka naik ke permukaan bukan karena masalah telinga, tapi karena sudah bertemu Mola Mola.

Mereka cerita, melihat Mola di kedalaman 27 meter. Setelah bertemu yang dicari, keduanya tak ingin berlama-lama di dalam laut. Cerita itu, tentu  membuat saya sedih, karena tidak bisa ikut melihat si Mola.

Kesedihan saya agak terobati, karena tidak sedih sendirian. Dari kami yang bersebelas, hanya dua divers China itu tadi yang melihat Mola Mola. Mungkin karena terlalu banyak divers yang turun maka Molanya merasa terganggu, lalu menjauh.

Memang, untung-untungan untuk bisa bertemu Mola Mola. Meskipun ada Mola Mola di sekitar Nusa Penida, tidak semua penyelam bisa bertemu. Dan, kami termasuk yang apes dalam soal untung-untungan itu.

Setelah semuanya naik ke kapal, kami lanjut ke Manta Point. Dalam perjalanan saya menyaksikan Nusa Penida yang indah dari sisi laut. Ada kelingking beach dan broken beach yang menambah indah jelajah samudera hari itu.

Manta Point adalah lokasi pembersihan sang Pari Manta. Jadi, kami yakin akan menemukan ikan Pari Manta dalam jumlah yang banyak. Saya bertekad, dalam penyelaman kali ini harus berhasil, karena sangat ingin melihat Pari Manta dari dekat.

Akhirnya, dengan dikawal langsung oleh Bli Putu, saya bisa turun sampai kedalaman sekitar tujuh meter. Memang, kendala tetap ada, karena harus beberapa kali ekualisasi. Tapi  saya sudah senang bisa merlihat beberapa Pari menari.  Tampak gemulai, menyatu dengan para penyelam yang terpesona oleh koreografi alami Pari Manta.

Puas melihat Pari menari, saya menarik diri. Segera naik ke permukaan karena tak tahan dengan air laut yang dingin. Apalagi, masker yang saya pakai, juga mulai kemasukan air laut. Beberapa kali melakukan mask clearing, membuat tidak nyaman.  Selain itu, saya juga harus tahu diri, kemampuan yang tidak bisa diandalkan, mengingat umur yang tak lagi muda.

Sudah cukup. Rasanya, memang sudah cukup bisa melihat Pari menari, meski tidak terlalu lama. Itu berarti, tujuan saya menyelam kali ini untuk menyaksikan tarian sang Pari Manta sudah kesampaian.  Rasanya juga sudah kebahagian bisa melihat keindahahan bawah laut Indonesia yang penuh pesona.

Jelajah bawah laut berakhir. Setelah merampungkan penyelaman yang ketiga, kapal merapat ke pantai Sanur.  Tapi kapal tidak benar-benar bisa menyentuh bibir pantai.  Jadilah, saya harus berjalan kaki cukup jauh karena air laut sedang surut. Untung pak Gonthor membantu membawakan tas saya sehingga saya bisa berjalan melenggang dengan mudah di dasar laut yang surut.

Begitu sampai di restoran kecil di pinggir Sanur, saya langsung menghabiskan secangkir teh panas yang terasa begitu nikmat. Apalagi setelah mengalami mual-mual karena hempasan ombak. Dasar sudah berumur, di saat saya harus mendapat doping teh hangat, teman millenial saya, Jessica dan Eka  masih asyik melihat lihat biodata di pantai. Saya tertawa sendirian merasakan kontras itu.

Usia boleh menua, untuk urusan menyelam, semangat saya tak ikut menua. Semangat saya untuk menyelam dan menikmati Bali, tidak akan berkurang.

Tapi bukan urusan tua dan muda, begitu matahari tenggelam, rasa lapar mulai menyerang. Kami bertiga sepakat memilih makan malam di sekitar Sanur, sebelum melanjutkan perjalanan ke Seminyak. Pilihan tertuju pada Rumah Makan Warung Bambu Lulu. Di daerah Sanur, warung ini  terkenal dengan sop ikan pedasnya. Juga ikan goreng keringnya.

Karena masih belum jam makan malam, pengunjung sepi, jadi kami bisa leluasa memilih tempat untuk menikmati sop ikan pedas, sop ikan bening dan ikan goreng. Apabila tiba jam makan maka rumah makan ini akan penuh sekali.

Menunggu 30 menit, seluruh pesanan tersajikan. Tanpa komando. Saya, Jessica dan Eka langsung melahap habis semua menu yang kami pesan. Yaa… mungkin karena diving seharian telah menguras energi sehingga kami jadi kelaparan. Tak berhenti disitu, setelah makan malam, saya mengikuti ajakan teman milenial itu, untuk mencicipi ice cream gelato Massimo yang terkenal di Bali. Kebetulan ada outlet yang terdekat di Sanur. Begitu banyak pilihan aneka rasa gelato yang disajikan. Kita bisa mencicipi terlebih dahulu setiap rasa yang ingin dipesan. Ini yang menghabiskan waktu lama karena banyaknya rasa yang ingin dicoba.

Setelah mencicipi dua rasa gelato, saya memesan satu. Meski sebetulnya masih penasaran ingin mencicipi rasa yang lain, namun tidak enak kepada mbak-mbaknya yang melayani.

Karena saya yang pertama dilayani maka saya segera mencari tempat duduk di dalam supaya bisa menikmati gelato dengan santai. Ternyata hampir semua meja telah  penuh. Untung masih ada satu meja yang kosong sehingga kami bertiga bisa merasakan gelato Massimo lebih nikmat.

Setelah menghabiskan gelato, kami sepakat melanjutkan perjalanan melepas penat ke tempat pijat Cozy yang menjadi langganan kami di Sunset Road. Seharian menyelam, rasanya  sangat menyenangkan bila memanjakan tubuh dengan menikmati pijat selama 1,5 jam.

Tak terasa malam sudah menjadi larut. Tidak ada pilihan lain untuk tubuh yang menua selain merebahkan diri karena esok pagi saya harus segera ke bandara untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. (*)

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca