Jakarta, Koranpelita.com
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan, seluruh masyarakat adat tidak boleh ada keraguan kepada pemerintah dan khususnya kepada Presiden Jokowi, yang betul-betul menyayangi masyarakat hukum adat di Indonesia ini.
“Tampak sangat jelas diaktualisasikan oleh Presiden dan pemerintah, seperti secara simbolik pada upacara resmi kenegaraan di Istana Negara dipakai pakaian adat. Begitu pula pada upacara resmi peringatan hari lahirnya Pancasila pada setiap 1 Juni.”
Demikian disampaikan Siti Nurbaya saat mewakili Presiden dalam Perayaan 20 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional 9 Agustus bertempat di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Sabtu (10/8).
Siti Nurbaya juga bercerita, setiap kesempatan melaporkan hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat hukum adat, Presiden selalu bilang, masyarakat hukum adat itu kawan-kawan dia. “Saya menangkap kesan bahwa Bapak Presiden menyayangi masyarakat hukum adat,” ujar Siti
Selanjutnya Siti menjelaskan tentang pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat adat/tradisional. Ini bukan hanya fenomena khusus Indonesia, tapi bersifat global dengan disahkannya The U.N. Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples pada 13 September 2007 dalam Sidang Umum PBB.
Dikatakan Siti, masyarakat hukum adat telah ada sejak ratusan tahun. Mereka adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lain.
Kata-kata kunci untuk memahami masyarakat hukum adat adalah kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan negara bangsa adalah entitas-entitas politik baru yang bersifat artifisial, yang dirancang untuk menguasai penduduk suatu daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya.
Sedang kata-kata kunci untuk memahami negara bangsa adalah kedaulatan dan kekuasaan. Oleh karena kedua entitas ini meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka bumi yang sama, maka cepat atau lambat, secara tertutup atau terbuka, akan timbul suatu competing claims yang tidak seimbang dalam segala hal.
Seyogyanya, posisi masyarakat hukum adat akan jauh lebih baik dalam suatu negara bangsa, karena didasarkan pada faham kebangsaan dan asas kedaulatan rakyat. Warga masyarakat hukum adat yang hidup secara turun temurun pada tanah ulayat di kampung halamannya masing-masing adalah bagian menyeluruh dari rakyat negara yang bersangkutan.
Original Intent
Lebih jauh dikatakan Menteri Situ, bisa dilihat original intent seperti dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (asli) diberikan contoh-contoh tentang satuan-satuan masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, dan nagari di Minangkabau, yang dinyatakan mempunyai hak asal usul yang harus dihormati negara.
Sikap para pendiri negara tersebut merupakan original intent yang harus dirujuk dalam melakukan tafsiran historis (historische interpretatie) terhadap norma hukum positif yang terkait dengan eksistensi dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat.
Dikatakannya, diakui bahwa masih ada kendala konseptual yang cukup menghambat upaya untuk secara sistematik menindaklanjuti original intent para Pendiri Negara kedalam kebijakan negara dan peraturan perundang-undangan nasional.
“Itu disebabkan antara lain karena kurang berkembangnya pengetahuan terhadap perkembangan masyarakat hukum adat. Paling tidak hingga tahun 2008 sebagaimana disebutkan oleh Prof Saafrudin Bahar. Dan kita beruntung karena sejak lebih kurang dua tahun lalu sudah ada Pusat Studi Hukum Adat yang sudah di bangun di UGM Yogyakarta”, papar Siti Nurbaya.
Sementara di sisi lain, masyarakat hukum adat itu sendiri tumbuh dan berkembang dan mungkin mengalami evolusi dalam perkembangan ciri-cirinya. Perjalanan dan dinamika pengakuan konstitusional terhadap masyarakat hukum adat hingga sekitar tahun 1960, tidak banyak dipersoalkan, apalagi digugat.
Namun setelah itu, perlindungan terhadap eksistensi dan hak masyarakat hukum adat ini dinilai menurun dengan meningkatnya kepentingan pihak-pihak terhadap sumber daya alam, yang bagaimanapun juga berada dalam wilayah ulayat masyarakat hukum adat, terutama di luar pulau Jawa.
Lahirnya beberapa UU dan peraturan perundangan kemudian dirasakan mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak-hak tradisional serta hak sejarah masyarakat hukum adat yang ada. Dan kemudian menjadi gambaran yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia menurut UU 39 Tahun 1999.
Dikatakan Siti, satu kemajuan dengan dibentuknya Komnas HAM tahun 1993 dengan Kepres Nomor 50 Tahun 1993, dan semakin berfungsi baik sejak Reformasi dalam mendorong pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat.
Demikian pula diikuti hadirnya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), melalui Kongres tahun 1999 di Jakarta. Komnas HAM sejak 2001 gigih memperjuangkan hak-hak masyarakat adat bersama AMAN, HUMA, BRWA dan WALHI sudah berhasil memperkuat hak-hak masyarakat hukum adat.
Menurut Siti Nurbaya masih dibutuhan artikulasi mengingat bahwa subyek Masyarakat Hukum Adat ini merupakan subyek yang cukup berat dan membutuhkan pengetahuan arkeologis, dan hukum adat serta ekologi manusia, dan ilmu-ilmu yang terkait dengan itu.
Juga diperlukan pengetahuan tentang perkembangan masyarakat hukum adat kita di seluruh wilayah Indonesia yang begitu luas. Demikian pula perlu koherensi UU sektoral yang dalam operasionalnya berkaitan dengan masyarakat hukum adat. “Ini bukan hal yang mudah” katanya.
Perkembangan aktualisasi masyarakat hukum adat pada konteks Kehutanan relatif mengalami kemajuan walau belum memenuhi harapan. Kami mengedepankan artikulasi dalam rangka mengakomodasikan Masyakarat Hutan Adat melalui wilayah adat, dalam hal ini Hutan Adat.
KLHK dan AMAN, HUMA, BRWA, JKPP, WALHI terus berinteraksi dengan baik sejak 2015. Artikulasi terus diupayakan oleh KLHK untuk bisa mewujudkan pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat terkait dengan penetapan hutan adatnya sesuai harapan masyarakat “ lanjutnya lagi.
Pada 2016 dan 2017 Hutan Adat telah ditetapkan dan dicadangkan seluas 34.569 hektar di Jambi, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Jawa Barat Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bali dan Sumatera Utara.
Secara keseluruhan pada April 2019 telah ditetapkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I seluas ± 472.981 Ha. Dan pada Agustus ditetapkan kembali tambahan hutan adat seluas 101.138, sehingga total Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase II mencakup areal seluas lebih kurang 574.119 hektar. (kh)