Tulisan ini sebagai pengobat rindu, setelah seminggu tidak bertemu Sedulur NKS. Tulisan tentang Belitung. Negeri jauh (tentu saja jauh dari Negeri Asyik bernama Kulon Progo) yang sering disebut sebagai Negeri Laskar Pelangi, karena dari sinilah novel dan film Laskar Pelangi yang fenomenal itu, dilahirkan.
Saya menulisnya dengan sangat berat. Sebab, di sela-sela rangkaian acara yang amat serius. Bahkan saking seriusnya, tempat penyelenggaraannya pun dipilih di Belitung yang dikepung laut. Sehingga, sulit untuk melarikan diri.
Tapi yakin mau melarikan diri? Meski kegiatan resminya menguras energi, jika sudah di sini, yakinlah tak akan bisa kabur dengan mudah, oleh karena indah dan menyenangkannya berada di pulau berhias batu-batu besar dan karang itu.
Atau, jangan-jangan, kalau tetap memaksa kabur, bisa jadi terhalang buaya di tengah jalan seperti Lintang dalam novel Laskar Pelangi. Si pintar permata Belitung itu, tak bisa berangkat sekolah setiap dihadang buaya di tengah perjalanan.
Nah, di pulau eksotik itu, kami bersama para pimpinan level satu institusi membahas topik yang serius berjudul Quo Vadis BPJSTK? Walau sering mendengar kalimat quo vadis, tapi buat saya tetap harus melongok wikipedia untuk meyakinkan diri.
Maklum wong ndeso yang jarang ke Eropah. Malah, melancongnya lebih sering ke Kulon Progo, pulang kampung, menengok masa lalu dan melihat perkembangan ekonomi daerah. Selain alasan ongkos tentunya.
Akrab digunakan oleh rekan-rekan BPJSTK, quo vadis berasal dari bahasa Latin. Artinya, Kemana engkau pergi? Lalu, ada apa dengan rekan-rekan saya ini, sehingga mempertanyakan kemana engkau pergi wahai BPJSTK? Mau dibawa kemana BPJSTK?
Tapi sejatinya, masuk akal juga kegundahan rekan-rekan saya ini. Jika dibandingkan dengan negara lain, Korea Selatan misalnya, yang dapat membangun dan mengembangkan jaminan sosial terutama jaminan pensiun dalam 11 tahun.
Padahal, kita sudah mengenal jaminan sosial, khususnya ketenagakerjaan hampir 42 tahun. Tapi, hingga kini, seperti belum nampak ujung suksesnya untuk melindungi seluruh pekerja.
Maka dalam memecah pertanyaan quo vadis BPJSTK, hadir Advisor BPJSTK dari Korsel, Mr. Bae. Kami mendengar cerita sukses National Pension Service Korea Selatan, lengkap dengan liku-liku perjuangan menuju kepesertaan seluruh pekerja. Termasuk pekerja asingnya.
Setelah lelah membelah badan, diskusi disudahi. Nyaris tidak ada yang melihat waktu, saking spanengnya membahas quo vadis itu tadi. Tidak terlihat ujung-pangkalnya, tiba-tiba malam menghampiri.
Kemudian, karena sudah berada di Belitung yang kondang, rasanya perlu sesekali memanjakan diri, mencicipi makanan khas pulau ini. Segera, kendaraan diarahkan menuju sebuah rumah makan yang tidak terlalu besar di Jalan Irian, Tanjung Pandan.
Tidak besar, tapi jangan salah. Walau rumah makan ini kecil, pengunjung datang dan pergi karena rasa sajiannya yang boleh diadu. Nama rumah makan mungil itu adalah Gangan Sari. Tentu yang spesialnya adalah gangan.
Gangan adalah sop ikan khas Belitung. Berkuah kuning dan penuh dengan bumbu rempah. Warna kuningnya berasal dari kunyit. Segar dan gurih. Bagi pecinta pedas, inilah tempat paling nikmat: makan gangan dengan leleran keringat pertanda enak.
Persoalan datang. Sebab, saya bukan termasuk penyuka ikan. Biasanya, agak sulit bisa menikmati lezatnya menu serba ikan. Tapi melihat suguhan gangan yang menggoda, selera saya berubah. Entah berubah berapa derajat, karena tidak sempat mengukurnya dengan busur derajat. Apalagi, pilihannya hanya ikan. Jika tidak makan ikan tentu ada sebuah ketakutan. Takut ketahuan Bu Susi, bisa-bisa ditenggelamkan.
Di rumah makan Gangan Sari ini, gangan dan menu lainnya dimasak dadakan (seperti tahu bulet aja digoreng dadakan). Jadi, semuanya masih segar. Tapi, bagi yang tidak sabar, mulailah belajar menunggu.
Konsep ruang kerja chef yang open space, membuat kita bisa langsung melihat bagaimana seorang chef menyiapkan dan memasak gangan. Kebersihan bisa terlihat dan terjamin, karena sudah berani mempertontonkan dapurnya di depan mata pelanggan.
Sebelum dimasak, kita akan ditanya mau kepala ikan atau badan ikan. Juga tingkat kepedasannya. Mendengar pertanyaan itu, jadi teringat ketika kita memesan ayam goreng di resto cepat saji, “Mau dada atau paha Pak?” Biasanya, saya selalu langsung memilih paha. Bukan apa-apa, kalau saya pilih dada, saat ayam itu bilang sakitnya tuh di sini, pasti tidak bisa karena dadanya nggak ada. Jangan pula bertanya paha kiri atau paha kanan yang saya pesan, karena memang rasanya berbeda jika kita peka akan rasa.
Di Gangan Sari, banyak rekan saya yang memilih kepala ikan. Tapi saya tidak. Saya mencoba gangan ikan bagian badannya. Saya takut jika memilih kepala ikan, saya tidak jadi makan. Tapi justru lirik-lirikan dengan mata ikan. Bisa jadi saya malah jatuh hati pada ikan karena pandangan pertama. Dan, benar. Benar-benar enak gangan di sini.
Kami datang ke Gangan Sari dalam rombongan besar. Termasuk rekan kami yang dari Bangka dan Mr. Bae. Advisor BPJSTK yang asli Korsel itu, rupanya terpesona betul oleh rasa gangan Belitung. Saya memperhatikannya agak serius, terlihat Mr Bae nambah ikan kerisi goreng. Nambahnya sampai empat kali.
Saya tidak tahu, karena suka atau oleh sebab perut lapar. Tapi saya menduga, karena memang masakannya yang enak ditambah perut lapar. Saat menyantap ikan kerisi goreng, Mr. Bae teringat masakan istrinya.
Secara demontratif, Mr Bae menyebut, jika istrinya masak ikan, rasanya sama dengan ikan kerisi goreng. Jadilah, ia nambah empat kali. Tapi sayang, sang istri sangat jarang memasak ikan tersebut karena di Korsel harganya sundul langit. Satu ekor bisa US$200 atau US$300.
Mendengar harga itu, iseng-iseng kami bertanya harga ikan kerisi di Belitung. Jawabannya mencengangkan. Membuat kaget Mr Bae. Sebab, di Belitung bisa beli ikan kerisi dengan hanya Rp 50.000. Bukan untuk satu ekor, tapi satu kilogram.
Perut sudah dimanjakan dengan lezatnya gangan dan ikan kerisi goreng. Tapi itu belum cukup. Kami melanjutkan petualangan berikutnya. Mengarah ke sebuah kedai kopi legendaris yang menjadi destinasi wajib jika ke Belitung. Kedai kopi Kong Djie.
Tidak sembarangan. Kedai kopi ini ada sejak 1943. Jadi, usianya sudah 76 tahun. Lebih tua dari Indonesia yang baru 74 tahun pada 17 Agustus nanti. Yang juga tidak sembarangan adalah fakta bahwa Belitung tidak memiliki kebun kopi. Tapi mengapa ada Kong Djie yang melegenda?
Rahasianya ada pada cara pengolahan. Kopi didatangkan dari bumi Sumatera atau Jawa dengan pengolahan pas, membuat Kong Djie punya ciri.
Kopi yang teruji di Kedai Kopi Kong Djie adalah kopi hitam plus susu. Sementara pisang goreng dan singkong goreng terasa pas sebagai pendamping kopi susu. Ada menu lain, tapi kopi susu, pisang dan singkong goreng adalah pasangan yang membuat suasana lebih gayeng.
Makin malam makin penuh. Favoritnya, masih tetap kopi susu. Tapi saya tidak tahu kehebatan kopi susu Kong Djie, karena saya memilih cokelat susu. Benar. Saya tak merasakan kopi sama sekali, hanya bisa merasakan nikmatnya dari wangi kopi yang menguar dari cangkir tetangga.
Memang sayang, saya tidak mencoba kopi susu. Bukan tanpa alasan saya tak meminum kopi terkenal itu. Bukan pula karena takut menjadi lebih hitam. Tapi saya punya kebiasaan, saat minum kopi, saya susah tidur. Panas. Mata bisa terjaga sampai esok hari.
Biasanya, saya minum kopi jika sedang pulang kampung ke Nganjir. Kopi dari pegunungan Menoreh di Kulon Progo, memang tak kalah nikmat. Tapi saya hanya berani minum jika mendapat giliran ikut ronda keliling rumah mengambil jumputan beras.
Malam makin larut. Saya benar-benar tidak berani minum kopi, agar bisa tidur, karena besoknya masih ada kegiatan yang akan menguras tenaga. Sudah.
Dalam tidur saya bermimpi mengarungi lautan sambil menangkap ikan kerisi dan menjualnya ke Mr. Bae. Harganya US$300 per ekor yang tentunya dikurskan dalam mata uang rupiah yang tidak sedikit. Sayangnya mimpi itu ditenggelamkan oleh hadirnya pagi yang begitu dini. (*)
Depok, 10 Agustus 2019, masih bersambung.