Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Dr Ir H Gusti Hardiansyah

Gusti Hardiansyah: RUU Pertanahan Bertentangan dengan Pancasila

Jakarta, Koranpelita.com

Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Dr Ir H Gusti Hardiansyah mengungkapkan, RUU Pertanahan yang tengah dibahas di DPR bertentangan dengan sila ke 5 Pancasila. RUU ini kuat mengakomodasi kepentingan bisnis dan investasi perkebunan skala besar.

Monopoli swasta, perampasan tanah, penggusuran, termasuk impunitas bagi para pengusaha perkebunan skala besar yang banyak diatur dalam RUU Pertanahan ini tercermin kuat melalui hak pengelolaan instansi pemerintah dan rencana bank tanah.

“Keberadaan Kawasan hutan yang tertuang pada pasal 15, menjadi titik masuk dari proses pembenaran/pemutihan atas usaha perkebunan dan lainnya yang masuk ke dalam kawasan hutan, yang pada akhirnya berpotensi menjadi penyebab berkurangnya kawasan hutan,” ujar Gusti, Senin (5/8) menjawab pertanyaan pers terkait polemik RUU Pernahan.

Menurut Gusti, RUU pertanahan mengandung banyak inkonsistensi dan kontradiksi antara konsideran dengan isi RUU antara niatan menjalankan reforma agraria untuk menata ulang struktur agraria menjadi berkeadilan dengan rumusan-rumusan baru terkait HGU, HGB, Hak pengelolaan dan Bank Tanah sehingga menabrak UU Pemda, UU Perseroan, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU yang mengatur kompetensi peradilan di Indonesia, UU Pesisir dan juga aturan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat serta UU terkait Pidana.

Karena itu lanjut Gusti, RUU ini menjadi penghambat iklim usaha dan investasi. Ada empat pasal terkait kawasan hutan pada rancangan beleid tersebut, yakni pasal 23 terkait rencana tata ruang, pasal 63, pasal 64 dan pasal 66 terkait obyek pendaftaran tanah. Pada pasal 23, disebutkan, kawasan hutan termasuk bagian dari kawasan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.

“Areal tata ruang pada pasal tersebut seharusnya hanya membahas lahan yang berada di luar kawasan hutan, karena pengelolaan kawasan hutan sudah diatur UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Jika berpatok pada UU Kehutanan, maka sebagai kesatuan ekosistem, hutan tidak hanya terkait dengan tanah tempat ruang tumbuhnya, tetapi memiliki berbagai fungsi sumber daya alam lainnya,” papar Gusti

Dijelaskan lagi, Pasal 63 dan pasal 66 yang intinya menyatakan bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi semua bidang tanah dan kawasan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, apabila berpatokan pada UU kehutanan, kawasan hutan bukan merupakan objek pendaftaran tanah.

Pasal 64 RUU tersebut juga mewajibkan seluruh pihak terkait untuk melakukan pemetaan kembali pada lahan konsesi, yang sebenarnya penataan batas dan penetapan wilayah konsesi kehutanan sudah dilakukan serta diintegrasikan melalui kebijakan satu peta (one map policy).

“Pasal 64 ini berpotensi menimbulkan ‘high cost economy’ dan dikhawatirkan mengurangi luasan lahan konsesi yang sudah berizin, mengingat adanya perbedaan pandangan antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dan pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpastian usaha bagi pelaku industri kehutanan,” ujarnya.

Karena itulah Gusti Hardiansyah meminta pada DPR saat ini dan Pemerintah untuk tidak mengesahkan RUU ini. Demi kemaslahatan Masyarakat dan Indonesia Adil Makmur, sebaiknya RUU ini disosialisasikan kepada segenap multi “stake holder” secara transparan, partisipatif dan akuntable. RUU pertanahan menyangkut kepentingan banyak sektor, termasuk sektor kehutanan dan bukan hanya semata-mata persoalan tanah dan penguasaan lahan.

Pemerintah dan DPR kata Gusti agar melanjutkan pembahasan RUU Pertanahan ini ke periode DPR RI berikutnya 2019-2024, agar memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan masukan secara komprehensif.

“DPR agar tidak mengesahkan RUU Pertanahan pada masa transisi seperti sekarang. Sebab, RUU Pertanahan merupakan aturan yang sangat strategis dan memiliki dampak besar sehingga pengesahannya membutuhkan pembahasan intensif,” ujarnya.

Hutan Tropis Terancam

Gusti Hardiansyah mengingatkan, jika RUU ini disahkan, maka peran hutan tropis Indonesia di dunia global terancam, karena RUU ini lebih sarat dengan aspek ekonomi dan meninggalkan aspek keadilan dan aspek ekologi, sudah pasti akan mengancam keberlanjutan ekosistem hutan.

Implikasinya adalah peran Indonesia sebagai paru-paru dunia setelah negara Brazil dan Zaire otomatis memudar dan mengancam komitmen mitigasi perubahan iklim global yang telah dibuat indonesia dengan negara maju lainnya untuk menurunkan emisi sebesar 41 persen tidak akan tercapai maksimal.

“Selain itu beresiko kalau aturan ini disahkan dalam kondisi transisi DPR, yang mestinya tidak ada keputusan strategis dalam masa transisi yang membawa dampak jangka panjang bagi bangsa Indonesia,” katanya.

Pemaksaan pengesahan RUU saat ini, kata Gusti, akan berakibat pada prinsip “good governance” tidak efektif berjalan. Terutama prinsip akuntabilitas pada DPR dan Pemerintah, sehingga publik tidak akan percaya (distrust) kepada penyelenggara Negara dan Legeslatif. Menimbulkan persoalan hukum melalui yudisial review di tingkat Mahkamah Konstitusi.

Akibatnya, tambah Gusti, rakyat diakar rumput mengalami konflik yang berkepanjangan karena tidak adanya keadilan, tidak nyaman, tidak produktif, dan akan mengakibatkan terjadinya bencana alam dan kerusuhan para pihak akibat aroma RUU yang hanya menguntungkan golongan pemodal dan pengusaha besar saja.

Mengenai keseluruhan RUU ini papar Gusti, RUU Pertanahan ruh nya harus mengacu pada UU No.5 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria (UUPA 1960) yang bertujuan menghapus UU Agraria Kolonia Belanda. Sehingga RUU Pertanahan bersifat Khusus (Lex Specialis) dan bersifat melengkapi/menyempurnakan hal-hal penting yang belum diatur UUPA 1960.

Prinsip utama harus memastikan agar bumi, tanah, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya diatur oleh negara sebagai kekuasaan tertinggi rakyat sehingga penguasaannya, pemilikannya, penggunaannya dan pemeliharaannya ditujukan bagi sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Karenanya lanjut Gusti, penggunaan tanah yang melampaui batas dan monopoli swasta tidak diperkenankan. Tujuan sila ke 5 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) dan ke 2 (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dari pancasila dan keberlanjutan sumber-sumber agraria menjadi prinsip utama.

Dikatakannya, yang menjadi polemik adalah dalam RUU pertanahan ini diantaranya, secara substantif bertentangan dengan Ruh UUPA yang ada saat ini. Ddraftnya saling bertentangan dengan substansi agraria dan pertanahannya sendiri, bertentangan dengan peraturan presiden yang mengatur peran sektoral Kehutanan, Perkebunan, dan seterusnya.

Selain itu, ada ketidaksesuaian dalam substansi yang ingin diatur, yaitu pertanahan, namun juga muncul tanah, ruang dan kawasan yang berbeda dalam pemahaman substansi masing-masing.

Pemberian izin Hak Peruntukan Lain (HPL), pengelolaannya harus sesuai dengan tupoksi dari kementerian teknis yang ada. Naskah akademik sebagai dasar penyusunan RUU pertanahan ini tidak update atau out of date. Sangat miskin keterlibatan dari matra kehutanan dan akademisi kehutanan yang seharusnya secara substansial dimintai masukan, kritisasi dan pendapat profesional atas UU tersebut.

Draft UU pertanahan belum secara jelas memuat isu-isu penting yang menyangkut peran ekologis dari hutan sebagai “darah dan nyawa” bagi kehidupan dan mitigasi terhadap bencana banjir, puting beliung, tanah longsor (batingsor) dan Perubahan Iklim. (kh)

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca