Sampai di Bandara Frankfrut, yang pertama saya lakukan adalah menghirup udara sebanyak yang bisa saya lakukan. Udara Jerman yang ingin saya rasakan masihkah sama rasanya dengan udara Jerman yang di Jogja sana. Dan, dalam seketika, Jogja mengirimkan sinyal kerinduannya. Kerinduan yang membuat saya berjanji untuk langsung ke Jerman, jejere Kauman, sepulang dari Frankfrut ini.
Meninggalkan Bandara, hotel untuk rombongan dari Indonesia, tidak terlalu jauh. Cukup 20 menit saja berkendara. Tapi ini yang justru menjadi masalah. Mengapa? Check in hotel baru bisa dilakukan pada pukul 15. Sedangkan saat itu baru pukul 11.30 siang.
Apa boleh buat. Mau tak mau harus menunggu. Tapi tidak lucu jika hanya terpaku di depan hotel selama lebih empat jam. Nah, menjelajah Frankfrut bisa memberi bungah. Tapi mau ke mana? Untungnya ada Stasiun Sentral Frankfurt (Frankfurt Main Hauptbahnhof) yang tidak jauh dari hotel.
Begitu saja, saya masuk stasiun yang langsung terjebak pada kekaguman. Seperti dulu, setiap saya ke Stasiun Wates, yang selalu memberi rasa kagum (maklum, orang Nganjir tidak akrab dengan kereta, selain memang mudah kagum pada apapun).
Tidak perlu membeli karcis untuk masuk Stasiun Sentral Frankfrut. Jadi lumayan bisa leluasa selfie-selfie dengan latar stasiun kereta yang megah. Kemegahan tua yang terus dialirkan sejak lebih dari 130 tahun lalu.
Kekaguman (antara seram dan penasaran) berikutnya terjadi setelah menyelesaikan acara foto-foto. Sebab dari informasi dari tukang taksi, ternyata hanya dua blok dari hotel, bisa jumpai kawasan zona merona. Agak menakutkan (tapi juga mendebarkan) karena banyak orang mabok, banyak tempat yang menawarkan pertunjukan syur khusus untuk orang dewasa.
Tapi dasar orang Nganjir yang mudah kesasar. Kok ya ndilalah, tanpa sengaja, saya melewati daerah yang untuk saya masuk dalam kategori menakutkan itu. Kejadiannya karena iseng, dari Stasiun Sentral Frankfrut jalan kaki ke hotel.
Jadilah, dengan langkah gegas, kaki saya gas. Antara takut dan khusuk menjaga iman, pas melewati tempat-tempat hiburan itu, saya melirikkan mata meski langsung menarik lirikan itu, karena makin takut. Takut khilaf.
Meneruskan langkah, saya berharap segera tiba di hotel. Entahlah siapa yang aneh-aneh memilih hotel ini. Pasti tidak ada yang mau dipersalahkan, meski barangkali, malah ada yang akan berterimakasih karena tidak perlu jauh-jauh untuk cari hiburan.
Selain kesialan (atau jangan-jangan malah keberuntungan) menginap di dekat pusat hiburan, ada kesialan berikutnya di hari lain. Ini, gara-gara hobi saya berolahraga pagi. Jalan kaki di setiap pagi hari selepas sholat subuh dan minum teh, memang sudah menjadi rutinitas, bahkan sejak masih sekolah di Pengasih, puluhan tahun silam.
Dan, hobi jalan kaki membawa saya ke Frankfrut. Menyusuri jalanan, taman, atau pinggir sungai Main, rasanya menyenangkan. Apalagi suasananya sangat memanjakan pecinta jalan kaki.
Saking senangnya bisa jalan kaki dalam suasana yang berbeda, tak terasa langkah makin jauh. Celakanya, saya tidak membawa apa-apa, termasuk HP ataupun peta. Ya sudah, tak ubahnya Tarzan masuk kota, saya tersesat di belantara gedung bertingkat. Cukup lama saya tidak tahu harus kemana menentukan jalan pulang. Walau sudah tak lagi malu untuk bertanya sana-sini, tetap saja nyasar.
Baru setelah tersuruk-suruk ketidakpastian, hati lega ketika menemukan tanda-tanda langkah sudah terarah di jalan yang benar. Tanda-tanda itu adalah kawasan hiburan yang sempat membuat takut. Ah, ternyata benar. Ada untungnya juga, dapat hotel di dekat kawasan red zone.
Benar. Saya lega begitu mengenali banyak casino dan tempat khusus dewasa terlihat jelas di depan sana. Artinya hotel tak jauh darinya. Akhirnya, saya sampai hotel dengan ngos-ngosan, karena dua jam jalan tanpa tahu arah ke rumah. (bersambung)