Saya ke Jerman, pertengahan Juli lalu. Ini benar-benar Jerman, negeri tempat lahirnya banyak sejarah besar.
Memang. Saya perlu menegaskan, ini benaran Jerman. Sebab, setiap saya menyebut Jerman, selalu ada yang membayangkan saya sekadar mampir ke dekat Kauman di Jogja. Karena memang, bagi orang Jogja, Jerman adalah jejere Kauman.
Saya berangkat ke Jerman bersama rombongan. Sekali lagi, Jerman yang bukan jejere Kauman. Tapi Jerman beneran, tepatnya ke kota Frankfrut. Segera saja keribetan terjadi. Apalagi, dari Jakarta tidak ada penerbangan langsung tapi mampir sebentar di negeri kincir angin untuk transit. Dan keribetan pertama terjadi karena harus berangkat sangat larut malam.
Menunggangi burung besi plat merah sebagai bagian dari cintai negeri, meninggalkan Depok dengan bekal mata yang berat. Sebelum berangkat, pramugari cantik menanyakan mau minum apa setelah stabil di sebuah ketinggian. Ini agak menyegarkan mata ngantuk, karena yang menanyakan benar-benar pramugari, bukan ibunya pramugari seperti yang kadang dijumpai.
Saya minta dibuatkan teh hijau hangat. Namun sayang, setelah pramugari (beneran pramugari loh ya, bukan ibunya pramugari) tadi pergi, kantuk benar-benar datang menyerang. Tak bisa dilawan. Jadi, masuklah saya dalam lelap ditemani mimpi yang tidak jelas maknanya.
Saya terbangun setelah lebih dari lima jam terlelap. Sepertinya, Mbak Pramugari tak ingin mengganggu dengan menyuguhkan sesuatu, sehingga saya bisa pulas. Ternyata perjalanan masih sangat panjang. Lima jam rupanya belum mencapai separo perjalanan. Burung besi milik BUMN itu perlu 13 jam penerbangan dari Jakarta. Itupun hanya sampai di Amsterdam, Belanda.
Masih delapan jam di angkasa dunia, rasanya sangat menyiksa. Saya membayangkan, seperti perjalanan Jakarta-Jogja naik kereta yang lamanya minta ampun. Tapi tentu delapan jam bersama teh hijau yang dihidangkan dengan tambahan biskuit kecil oleh pramugari cantik, pasti sama sekali berbeda.
Setelah dihajar bosan, mendarat di Amsterdam, lelah membelah tubuh. Untuk menghibur diri, seperti setiap kali ke Amsterdam, yang teringat adalah kaos yang saya buat. Namanya NKS juga, Niki Kaos Sumarjono. Tapi biar lebih terasa milenial, dinamai Nikaku, niki kaos kulo.
Jadi, jika ke Amsterdam, tulisan yang masyhur adalah I Amsterdam (I am sterdam membacanya), nah di kaos Nikaku tidak tertulis begitu. Barangkali lebih pas tertulis manis: I Am(not)sterdam, but A Ku(lon) Progo.
He…he…harap jangan ada yang tertawa, karena lagi-lagi ini adalah cara mencintai tanah air yang khas ndeso. Ada Sedulur NKS yang mau pesan kaos Nikaku?
Mendarat di Amsterdam tak bisa bersantai-santai. Karena sudah harus ikut antrean panjang imigrasi masuk Uni Eropa yang melewati Belanda. Ini keribetan kedua, oleh sebab waktu habis hanya untuk antre. Dua jam transit terbuang untuk urusan imigrasi dan jalan panjang menuju gate. Gate menuju burung besi milik negeri kincir angin.
Dari Amsterdam menuju Frankfrut tak ada burung besi milik negeri sendiri. Beruntung, hanya perlu waktu kurang 60 menit untuk sampai di bandar udara Frankfrut. Dan, inilah Jerman yang bukan jejere Kauman. (bersambung)