Buku Nami Kulo Sumarjono, pada akhirnya, juga dimaksudkan untuk mengenang Kulon Progo, selain mengenalkannya. Selama ini, Kulon Progo sering disebut sebagai negeri asing (apalagi Dusun Anjir, kampung halaman saya), karena masyarakat Indonesia tidak banyak mendengar nama kabupaten itu. Padahal, andai tahu, inilah negeri asyik bernama Kulon Progo.
Keasyikan negeri bernama Kulon Progo, tentu saja, ada di dalam buku NKS. Termasuk, bagaimana asyiknya (atau tak tau dirinya) bayi Sumarjono dilahirkan di rumah sakit, tanpa peduli kesusahan bapaknya yang dari Dusun Anjir kerepotan membawa simbok dengan tandu kursi panjang (naik-turun gunung) ke rumah sakit di kota.
Bisa dibayangkan, sudah kondisi ekonomi orangtua yang membuat pedih, masih harus direpotkan oleh persalinan anak keenam. Jadilah, proses kelahiran saya, menjadi drama paling perih bagi rumah tangga bapak dan simbok.
Benar. Kelahiran saya memang membuat susah seisi rumah. Ini yang seolah memberi kesadaran untuk dekat dan menyayangi (terutama) simbok lebih dari yang lain, sebagai semacam penebusan dosa karena telah menyusahkannya.
Sekali lagi, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak berbakti, menyayangi, serta menghormati simbok dengan segala kehormatan. Apalagi, setelah proses kelahiran yang membawanya dalam situasi hidup dan mati, simbok juga menjadi sosok yang petuah-petuahnya abadi dalam setiap langkah hidup saya.
Secara khusus, walau kini simbok sudah lebih dari seribu hari tiada, petuah itu tersimpan rapi di laci hati serta tertulis dalam huruf tebal dalam buku NKS. Saya akan selalu mengingat dengan sangat jelas, bahkan sampai cara pengucapannya yang menggunakan bahasa Jawa yang sangat khas simbok saya.
Tapi meski kaya petuah, simbok (juga bapak) hidup dalam segala keprihatinan. Begitu rupa rasa prihatinnya, sampai tidak sempat berfikir memberi nama untuk anak-anaknya. Jadilah, seperti nama kakak-kakak saya yang lima orang itu, urusan memberi nama diserahkan kepada adiknya simbok.
Di acara bedah buku, saya sampaikan saking tidak mampunya (kalau tidak tega menyebut saking miskinnya) orangtua juga tidak mampu untuk memberi nama. Untungnya paman saya (adik bungsu yang paling dekat dengan simbok) tidak terlalu kreatif, sehingga nama yang diberikan semua ada nuansa desanya: karena semua nama pakai awalan SU.
Betul. Saya lalu menyebut kami bertujuh anak-anak dari Bapak & Simbok sebagai 7 BerSUdara. Saya anak keenam dari 7 BerSUdara dengan nama lengkap Sumarjono. Walau dulu sering protes kenapa nama saya sudah pakai “Su” eh “O” nya dua lagi.
Saya kadang merenung, paman saya itu tidak kreatif atau diskriminatif. Bayangkanlah. Untuk nama keponakannya, terasa betul kendesoannya. Semua pakai awalan SU. Sedangkan untuk nama anaknya sendiri, paman saya itu sangat kreatif, imajinatif, serta kaya kata. Sebab, nama-nama sepupu saya itu hebat-hebat, puitis, dan seperti bukan nama anak dari orang desa.
Namun kini saya paham maksud paman memberi nama yang sederhana. Nama yang sangat pas bagi kami yang tumbuh di sebuah dusun bernama Anjir. Dengan nama itu pula, buku NKS bisa terbit. Saya yakin, jika diberi nama yang lain, buku yang dibedah akan berjudul yang lain.
Selain mengulas tentang nama, dalam bedah buku yang berdurasi panjang (hanya untuk memberi kesempatan saya banyak bicara) juga membedah perjalanan mulai dari masa sekolah, masa kuliah, masa mengenal cinta, dan masa bekerja persis seperti diceritakan dalam buku.
Dan (ini yang barangkali sangat ditunggu) sampailah saya pada kisah cinta yang tak kalah membuat meleleh. Bukan karena cinta yang penuh haru-biru yang membuat meleleh. Tapi oleh sebab tragedinya yang (agak-agak) memalukan.
Kisah diawali dengan ketertarikan kepada lawan jenis (bukan kawan jenis) saat kuliah. Saya harus selalu jujur, tidak pernah memiliki keberanian untuk mengatakan cinta, selain mengatakan dengan bahasa tubuh serta modus belajar bersama. Itulah usaha maksimal yang bisa dilakukan. Tapi sial. Modus terendus. Lebih sial lagi, calon pacar menjauh, sejauh-jauhnya.
Cinta yang tidak bunyi. Barangkali itulah istilah paling tepat karena cinta saya yang hanya bertepuk sebelah tangan. Lalu sakit hatikah? Jangan ditanya. Hati bukan hanya sakit. Tapi remuk-redam, hancur berkeping-keping.
Tapi cukup satu semester saja nilai IPK turun. Beruntunglah. Jauh sebelum kuliah dan jatuh cinta, isi kantong hati saya sudah penuh oleh petuah dari bapak dan simbok. Salah satunya, petuah tentang perjuangan, karena semua hal itu perlu perjuangan, disamping peran penting doa-doa. Apalagi ini menyangkut cinta, love…
Cinta memang perlu diperjuangkan. Betul bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, namun jika kita tidak memperjuangkannya bisa jadi jodoh tidak akan sampai ke tangan kita. Lalu alasi perjuangan dengan doa. Maka doa saya saat itu, “Ya Tuhan, turunkanlah seleranya, agar saya masuk kriterianya. Aamiin.”
Dan, perjuangan saya mulai memberi tanda-tanda ada hasil. Firasat doa-doa akan terkabul, muncul. Rasanya tidak salah bila ada yang menyebut bahwa doa orang yang teraniaya itu makbul. Selanjutnya, silakan baca mulai halaman 127 buku NKS.
Dalam hal apapun, perjuangan sejatinya adalah keniscayaan. Apalagi untuk urusan pekerjaan. Ada saatnya, kita yang merasa sudah bekerja keras, harus menerima kenyataan yang diberi amanah menduduki posisi tertentu (posisi yang kadang kita inginkan) justru orang lain. Jangan hal seperti ini menyurutkan semangat. Pasti ada pertimbangan lain sehingga kita tidak terpilih.
Bekerjalah lebih giat dari yang lain sehingga melampaui ekspektasi dari keinginan atasan. Bekerjalah dengan gembira, bukan karena mengejar uang atau karir. Yakinlah, dengan begitu, hasil akan bagus dan kita akan terjaga kesehatan jiwa dan raga.
Bedah NKS mendekati bagian akhir. Mbak moderator menanyakan apa yang selanjutnya ingin diraih ke depan. Pertanyaan yang sama diajukan oleh putri sulung saya dua hari sebelumnya. Terus-terang saja, saya pun tidak tahu jawabnya, saat ini. Tapi yang pasti ingin kembali ke institusi lama serta ingin lebih berguna bagi banyak orang termasuk memajukan dusun yang di sana saya dibesarkan. Dusun Anjir.
Secara umum, bedah buku berjalan dengan baik. Lebih banyak ger-gerannya, ketawa-ketawa, seperti saya ini pelawak yang sedang melawak. Tapi okelah, demi sahabat-sahabat saya di OJK, demi Sedulur NKS, saya rela dianggap melawak.
Di sela-sela pembedahan buku, ada kuis yang berhadiah buku NKS, cokleat ataupun kain lurik yang membuat peserta bertahan hingga akhir sesi. Mereka yang ikut bertanya, juga ada hadiah.
Tidak lupa, di antara tawa-ria bedah buku, saya selipkan pesan untuk mengenal hak jaminan sosial ketenagakerjaan. Ini penting agar tidak ada kata sesal di kemudian hari. Termasuk agar semua peserta menggunduh aplikasi BPJSTKU yang di dalamnya banyak informasi dan banyak hal bisa dilakukan seperti cek saldo, klaim, lapor ketidaksesuaian upah atau bahkan jika tidak diikutkan empat program wajib jaminan sosial.
Tidak lupa saya mengucap rasa terimakasih untuk acara yang luar biasa itu. Semoga bisa menjadi obat rasa rindu karena lama tak bertemu. Tertawa bersama, mendengar cerita sedih yang dibawakan dengan banyak canda, juga dipercaya menjadi obat mujarab penyembuh berbagai sakit.
Di sesi akhir, para Sedulur NKS yang telah mendapat buku berjejer mengantre untuk meminta tanda tangan. Padahal saya sampaikan bahwa masih sama kok tanda tangan saya dengan yang dulu. Bedah buku ditutup dengan selfi.
Tapi saya berharap, jangan berhenti di selfi, ajak yang lain (melalui sosmed yang dimiliki) menjadi pembaca buku NKS untuk kemudian menjadi Sedulur NKS. Yakinilah, di masa depan, jejaring Sedulur NKS akan memiliki banyak program bermanfaat. Sebab spirit Sedulur NKS adalah Negeri Kita Sejahtera.
Jadi begitulah. Kurang lengkap jika belum memiliki buku NKS. Penulis buku ini piawai membuat alur cerita sehingga tidak membosankan, dengan pemilihan kata yang tak akan kita perkirakan sebelumnya. Bagaimana mendapatkan buku NKS atau menjadi Sedulur NKS? Hubungi penulis buku ini. Pak Irwan menyiapkan nomor telepon khusus, 0812-1328-5131, untuk pemesanan buku agar pajaknya pun mengalir demi (ikut) membangun negeri. Negeri Kita Sejahtera.(*)
Depok, 13 Juli 2019. Salam, Nami Kulo Sumarjono