Saat roda pesawat menyentuh landasan bandara Adi Soemarmo Solo, membawa ingatan melompat, lalu hinggap di masa ketika ada hari haru yang menderu. Mundur 20 tahun silam, sepotong kenangan berhenti di bulan Juli Tahun 1998.
Saat itu, dengan sisi hati yang amat berat, saya harus meninggalkan kota Solo. Tapi ini tugas. Dan, tugasnya ke Jakarta, kota yang saya bayangkan njomplang dengan hari-hari selama di Surakarta. Tapi tidak, setelah dijalani. Sebab, nyatanya, saya bisa bertahan, bahkan hingga hampir sepanjang tri windu.
Lalu kini, kaki kembali membawa ke Solo, kota tua yang selalu memburu masa lalu. Maka begitulah. Setiap datang ke Solo, yang segera menggoda adalah jajanan dan segala yang menggiurkan lidah.
Ini yang menarik. Kalau bertanya tentang tempat kuliner, jangan bertanya adanya di jalan apa. Benar. Orang Solo memiliki ciri sendiri dalam memberi nama toko, warung, atau tempat tongkrongan. Biasanya, nama yang dipakai adalah daerah atau wilayah atau kelurahannya.
Nasi liwet di Keprabon, umpamanya. Kalau baru sekali ke Solo, yakinlah akan kesulitan mencari Jl Keprabon. Ya karena, memang tidak ada. Keprabon adanya di Jl Teuku Umar. Atau Timlo Sastro belakang pasar Gede atau Sar Gede.
Dan, pagi ini, setelah Board Seminar ditutup Jumat sore, saya sengaja menyisir Jl Slamet Riyadi yang rapi. Beruntunglah, jalanan tidak terlalu ramai karena memang masih jam delapan pagi.
Persinggahan pertama adalah Soto Triwindu di Keprabon. Hem…saya agak pangling, karena ternyata, jauh berbeda di banding 20 tahun yang lalu. Tapi, menikmati soto plus tempe goreng, karak serta secangkir teh panas sebagai teman, memberi seri pagi ini.
Setelah sarapan, selanjutnya menuju Sar Gede (orang Solo suka sekali menyingkat nama hanya diambil penggalan belakangnya. Sar berasal dari kata pasar). Berupa-rupa sajian, menyapa begitu melewati gerbang Sar Gede. Ada paru goreng, usus goreng, ceker, krasikan, dan intip.
Sayang, saya harus menahan godaan. Karena, bukan segala yang menggugah selera itu yang menjadi tujuan saya. Langkah terus terayun. Sedikit masuk ke dalam, pandangan segera tertumbuk cabuk rambak.
Yakinlah. Pasti agak tidak lazim mendengar nama makanan ini. Jadi, jangan membayangkan ada rambak (kerupuk kulit) ya. Cabuk rambak merupakan makanan khas Solo, yang bahkan sudah langka. Bentuknya ialah irisan tipis ketupat diberi kerupuk karak dan dituangi sambal.
Nah, sambal itu yang disebut cabuk. Dibuat dari wijen yang disangrai, dicampur kelapa muda dan sedikit kemiri. Serta irisan daun jeruk. Bayangkanlah, rasa nikmat makan cabuk rambak dalam pincuk daun pisang sambil berdiri di depan simbok penjualnya.
Setelah menikmati sepincuk cabuk rambak, saya melanjutkan langkah. Merambah tengah pasar. Lagi-lagi, terlihat semua yang menggoda: usus goreng gurih dan renyah yang membuat tak tahan untuk tidak membelinya.
Kemudian saya menuju tempat sambel pecel Sedep. Ini tempat langganan. Jadi, tak mungkin untuk dilewatkan. Dua bungkus sambal pecel dengan pedasnya sedang-sedang saja, masuk ke dalam tas belanja. Lengkaplah isi tas saya yang sudah dipenuhi wedang uwuh dan kerupuk karak.
Apa boleh buat. Tas yang semakin berat, menghentikan lapar mata saya untuk mengakhiri kunjungan ke Sar Gede. Tapi ya ampun, saat melewati bagian tengah pasar, saya melihat ada Gempol Pleret.
Saya harus memaafkan diri sendiri, karena terpaksa menambah isi perut dengan semangkuk es gempol pleret yang segar. Gempolnya terbuat dari tepung beras kasar yang dibikin bulatan gepeng. Sedang pleret terbuat dari tepung beras halus yang dibikin lembaran tipis kemudian dikukus hingga matang. Gempol Pleret disajikan bersama santan, diberi gula dan garam. Lalu ditaburi sedikit es batu yang digepuk. Serpihan es batu gepuk itulah yang membuat nikmat di kerongkongan.
Pleret. Adakah nama ini berhubungan dengan daerah Pleret? Benar. Gempol berasal dari Pleret, sebuah wilayah di Jepara. Gempol lalu menyeberang ke Semarang, dibawa ke Yogyakarta, serta membuat melonggo orang Solo.
Setelah menghabiskan semangkuk es gempol pleret, saya masih melirik cenil, tiwul, gethuk, sawut, gathot. Semua saya bungkus, karena mustahil disantap seketika. Rasanya, perjalanan saya ke Semarang, akan semakin menyenangkan dengan bekal jajan pasar itu.(*)
Bidakara, Juli 2019: sambil menunggu matahari siang agak redup untuk berenang.