Yogyakarta, Koranpelita.com
Miftah Maulana Habiburrahman dan Pondok Pesantren Ora Aji. Sosok kontroversial, Gus Miftah, beliau sering disapa, gondrong pakai blangkon dan dakwahnya di klub malam.
Akan halnya dengan Pesantren Ora Aji, tidak kurang menyimpan kontroversi tersendiri. Ora Aji nama yang tidak lazim sebuah pesantren, menafikan diri. Apalagi isinya memberi kesempatan para pelacur untuk belajar, demikian halnya dengan para gali dan gentho.
Semua orang disilahkan datang ke Pondok Pesantren Ora Aji di bilangan Kalasaan, Slema, DI Yogyakarta. Termasuk Deddy Corbuzier yang Jumat 21 Juni lalu mengikrarkan syahadatain untuk menjadi mualaf.
Gus Miftah disebut menjadi guru spiritual yang membimbing Deddy Corbuzier mengucapkan dua kalimat syahadat, kini namanya membuat orang penasaran.
Sosok yang makin ngetren di pelbagai kalangan, baik di pedesaan, perkotaan bahkan di luar negeri. Gus Miftah kyai muda Nahdlatul Ulama (NU) itu dikenal sebagai pendakwah di dunia malam mulai kelas bawah hingga atas, akrab dengan kaum marginal dan sering tampil serta membaur bersama orang orang di kafe.
Gus Miftah asli Ponorogo, lahir di Lampung kemudian kuliah di Yogyakarta. Kini mengasuh Pondok Pesantren Ora Aji, Kalasan, pinggiran kota Yogyakarta.
Gus Miftah kelahiran 5 Agustus 1981 sering mengenakan blangkon, rambut gondrong, dan kadang berkacamata hitam.
Sering menggunakan Bahasa Jawa campur Indonesia, melawak untuk selingan ceramahnya. Kadang shalawatan dan puji-pujian berbahasa Jawa penuh makna.
Biasa berdakwah di kelap malam, tempat lokalisasi dan salon plus-plus. Seering mendapat pertentangan kini justru berebut dan antre untuk bisa mendatangkan Gus Miftah.
Dia pun terbuka dan menerima pekerja hiburan untuk ngaji bahkan mondok di pesantrennya. Mengapa berdakwah di dunia malam. Karena tidak ada yang mau masuk. Padahal mereka sebenarnya butuh ngaji.
“Saya memberikan kesempatan dan peluang supaya mereka bisa merasakan sama dengan yang kita rasakan. Terutama berkaitan dengan persoalan rohani,” ujarnya.
Kesempatan mereka untuk ngaji terbatas. Maka saya jemput bola ke sana. Tentu saya butuh pendekatan dan lobi. Saya menggunakan bahasa yang mudah dipahami mereka.
Kalau masuk ke kalangan elit ya pakai bahasa elit, masuk kalangan marjinal ya pakai bahasa kaum marjinal.
Setiap manusia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Saya selalu menggunakan konsep dakwah yang bisa masuk ke akal mereka. (djo)