Pekan ini, saya dihadapkan pada dua pilihan yang tidak mudah untuk dibelah. Pilihan pertama, berangkat ke luar negeri untuk menghadiri sidang tahunan Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) di Geneva Swiss. Lalu pilihan kedua, berangkat ke negeri asyik bernama Kulon Progo untuk menonton wayang kulit semalam suntuk.
Apa boleh buat, yang saya pilih adalah pulang kampung ke Kulon Progo. Pilihan ini didasari dua alasan, jadi bukan karena ingin menghindari pekerjaan. Alasan pertama, pasti ada pengganti yang dengan senang hati untuk hadir di sidang ILO, apalagi peran saya pun tidak sentral di situ. Tapi tidak dengan pilihan pulang kampung, yang memang tidak tergantikan oleh siapapun, apalagi agenda ini sudah dirancang sejak enam bulan lalu.
Perjalanan pulang kampung kali ini menarik, karena sejumlah agenda ndeso yang padat. Ada wayangan yang membuat pulang kampung kali ini spesial. Ada syawalan dusun yang selama ini, nyaris tidak pernah bisa saya ikuti.
Agenda lain (ini sebenarnya agak norak untuk diceritakan) mencoba bandara baru Yogyakarta International Airport. Selama ini, gaung YIA memang membuat semua orang Kulon Progo penasaran karena menyembunyikan kebanggaan.
Tentu, rasanya akan sangat senang, saat pesawat landing, pramugari cantik menyambut melalui suara indahnya, “Kita telah mendarat di Yogyakarta International Airport. Selamat datang di Kulon Progo.”
Dan, begitu menginjak landasan di atas tanah Glagah (ini nama kawasan berdirinya Bandara YIA), terjawab sudah kepenasaran saya. Memang belum ideal YIA sebagai sebuah Bandara, namun tampak jelas bahwa kelak, Bandara ini akan menjadi pusat kemegahan Kabupaten Kulon Progo yang selama ini dikenal adem-ayem.
Saat mengambil bagasi yang tidak banyak, waktu yang dibutuhkan juga pendek-pendek saja, mungkin belum banyak maskapai yang dilayani.
Dari Glagah, saya langsung bergegas ke Pemakaman Pengging untuk ziarah. Di sini, bapak, simbok, dan para leluhur dikubur dalam istirahat panjang. Tidak lama saya bersimpuh di pusara bapak-simbok dan simbah-simbah. Tapi saya usahakan khusuk, sehingga semoga doa-doa saya terkabulkan.
Dari Makam Pengging, pandangan saya lemparkan ke sisi kiri. Meski sorot mata tertumbuk dedaunan, masih bisa memastikan, ada kesibukan di Lapangan Nganjir. Dari jarak yang hanya 150 meter, lapangan kebanggaan warga Nganjir itu sedang bersolek. Ada orang-orang yang sedang memasang tenda, ada pula yang sibuk merapikan panggung.
Esok hari, pada 12 Juni 2019, Lapangan Nganjir memang akan menjadi titik keramaian warga. Sebab di tempat ini, dipusatkan acara langka: Syawalan pada siang hari dan pergelaran wayang kulit pada malam harinya.
Menggambarkan dusun Nganjir, mungkin bisa membandingkannya dengan Desa Nagrig. Jika Desa Nagrig terletak 130 kilometer utara Kairo, Mesir, Desa Nganjir 30 kilometer dari titik nol kota Yogyakarta.
Orang tidak pernah mengenal Desa Nagrig sebelumnya, tapi kini, semua orang seolah paham letaknya, karena dari desa ini, lahir Mohamad Salah. Dialah pemain sepak bola yang sedang menjadi pembicaraan dunia.
Desa Nganjir tentunya salah jika tidak memiliki Lapangan Nganjir. Lapangan bola ini akan disulap menjadi tempat syawalan dan tempat pergelaran wayang kulit semalam suntuk. Sayangnya Mohamad Salah belum pernah main bola di lapangan Nganjir.
Halal Bihalal
Syawalan Dusun Nganjir dihadiri masyarakat dalam suasana yang antusias. Pak Dukuh adalah tokoh sentral yang sukses besar mengemas adicara ini. Hampir seluruh warga dusun hadir. Camat Kokap, Drs Warsidi juga rawuh. Termasuk pejabat yang mewakili unsur Kepala Desa, kepolisian, Babinsa, serta pejabat yang mewakili Pemerintahan Kabupaten Kulon Progo.
Syawalan dibuka oleh MC muda belia menggunakan bahasa Jawa halus dengan pilihan kata-kata yang sangat mengesankan. Diawali dengan pembacaan ayat suci, sambutan-sambutan, dilanjutkan ceramah dari KH Muhammad Nur Kharir.
Ceramahnya pun dalam bahasa yang mudah dipahami seluruh warga. Termasuk penjelasan asal muasal halal bihalal yang khas Indonesia. Penggambaran ketupat sebagai simbol lebaran dikupas sangat cerdas dan penuh filosofi. Juga soal wayangan yang ternyata setelah dibedah (meski serba sedikit) terasa sangat Islami.
Wayang Sosialisasi
Dari pagi hingga siang, acara pada tanggal 12 itu masih terus berlanjut. Bahkan hingga pagi di hari berikutnya. Hanya dijeda sebentar antara Dzuhur hingga waktu Isya tiba. Itu pun tidak berarti bisa benar-benar beristirahat karena persiapan pagelaran wayang mesti dilakukan.
Semakin sore, semangat datang berlipat menyambut Pak Dalang. Bukan sembarang dalang, karena Ki Seno Nugroho adalah sosok yang sedang menjadi magnet bagi semua pencinta wayang. Inilah dalang kondang yang digemari siapa saja: tua-muda, laki-laki atau perempuan, serta yang ngerti wayang atau yang sekadar ingin melihat pesindennya.
Selepas Isya’, saat saya mendapat jatah berbicara, saya sampaikan bahwa budaya adiluhung sekelas wayang perlu kita lestarikan karena mengandung tontonan, tuntunan, dan tatanan. Melalui wayang, atau kesenian lain, penyampaian informasi akan lebih mudah dicerna oleh masyarakat. Sehingga, pada kesempatan wayangan tersebut, saya titip sosialisasi jaminan sosial ketenagakerjaan pada Ki Seno.
Pada kesempatan bertemu dengan ki dalang, tokoh-tokoh lokal, serta masyarakat Nganjir, saya membagi 100 buku Nami Kulo Sumarjono. Bukan untuk pamer, tapi memberi semangat agar terus berjuang dan tidak menyerah pada keadaan.
Jam setengah sepuluh malam, Ki Seno Nugroho mulai suluk. Pembuka adegan dengan pasewakan negeri Dwarawati. Dan benar, suluknya bagus dengan suara sempurna. Ontowecono dan Udowedono khas dalang gagrak Jogja terasa betul.
Setelah pasewakan atau pertemuan agung di balairung Dwarawati, saat terjadi perang, Ki Seno menunjukan kemampuan sabetan yang juga tidak biasa. Suasana perselisihan antara Petruk misalnya, dengan Prabu Baladewa, terasa betul sebagai sebuah realita.
Semua yang terlihat bagus (setidaknya bagi saya yang kurang mengenal dalang-dalang muda usia) dari Ki Seno terasa semakin lengkap saat Limbukan. Ini adalah adegan lucu-lucuan ketika dua mbok emban, Limbuk dan Cangik, duduk-duduk santai menghibur diri. Pada fase inilah, ketrampilan dalang diuji: mampukah membuat penonton tetap di tempat atau justru beranjak pulang.
Beruntung, Ki Seno Nugroho adalah dalang lulus uji, yang mampu menghadirkan adegan Limbuk-Cangik dengan sangat baik. Itu, tentu karena kemampuan mengocok perut yang pilawai, sehingga membuat penonton enggan bergerak dari tempat duduknya.
Delapan sinden melengkapi sempurnanya penampilan Ki Seno. Masing-masing sinden punya kekhasan suara. Semua terlihat tampil sangat profesional, menunjukan kelasnya sebagai pesinden yang terlatih.
Tapi ada satu sinden yang mencolok penampilannya dibanding yang lain. Elisa. Bukan orang Jawa tapi pandai nyinden. Bicaranya lucu justru karena keterbatasan dalam berbahasa Jawa. Tapi justru karena itu, ia menjadi sangat dinantikan penampilannya. Apalagi, Elisa tidak sekadar lucu tapi memiliki suara merdu.
Jadilah, penonton langsung histeris begitu Ki Seno menyebut nama Elisa untuk tampil. Para pecinta wayang sudah sejak awal mengenal Elisa sebagai sumber kelucuan di atas panggung wayang.
Dan di sinilah, di saat Limbukan, wayangan di Nganjir terasa berbeda. Sebab, diselipkan pesan-pesan edukasi tentang program jaminan sosial ketenagakerjaan. Sang dalang, walau baru diberitahu sesaat sebelum naik panggung, bisa menjelaskan dengan baik program negara bernama SJSN. Bahkan contoh-contoh diberikan dengan sangat pas. Bahasa yang disampaikan juga langsung ditangkap oleh para penonton yang rata-rata merupakan pekerja bukan penerima upah.
Jumlah penonton yang membludak dari kalangan pekerja informal seperti ini selayaknya memang diberi pengetahuan pentingnya perlindungan sosial. Cara yang ditempuh untuk mengedukasi mereka adalah dengan bahasa yang mereka pahami dan cara yang mereka sukai.
Wayang kulit, pada akhirnya menjadi salah satu media yang pas untuk sosialisasi. Apalagi wayang dengan dalang semasyur Ki Seno Nugroho. Dengan fans yang jumlahnya lebih dari 30 ribu orang yang tergabung dalam Paguyupan Penggemar Wayang Ki Seno (PWKS), ia bisa menjadi corong dalam menyuarakan pentingnya jaminan sosial ketenagakerjaan.
Kekuatan Ki Seno Nugroho dan PWKS semakin luas, karena dalam setiap pagelarannya, selalu disiarkan secara streaming atau menggandeng radio agar bisa terpancar ke daerah yang lebih luas. Media youtube pun dipergunakan untuk bisa diakses dimanapun dan kapanpun selagi ada koneksi internet.
Bukti bahwa edukasi melalui wayang pas untuk masyarakat dusun Nganjir dan mungkin dusun lainnya adalah banyak yang menanyakan apakah benar bisa ikut perlindungan walaupun bekerja tanpa menerima upah dari perusahaan? Apakah benar iurannya tidak besar dan terjangkau?
Yang menarik, Ki Seno juga tertarik ikut jaminan sosial. Ia merasa perlu, karena memiliki ratusan kru, mulai dari penabuh gamelan, sinden, wirasuara, tukang soundsystem, tukang menyiapkan panggung, hingga pekerja lain.
Kini, tinggal tindaklanjutnya yang harus kita realisasikan. Jika semua pekerja terjamin, tentu pekerja nyaman bekerja dan ahli warisnya pun tidak sengsara jika risiko terjadi pada sang pencari nafkah. Sambil menanti realisasi keikutsertaannya dalam jaminan sosial ketenagakerjaan, Ki Seno dengan para sinden terus bergembira sambil nembang lengsung jumengglung. Thok thek thok thek… thok gung thok… thok thek thok thek thok gung.(*)