Sampit,Koranpelita.com
Pagi itu jurnalis media ini berdiri di tepian Sungai Mentaya Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Provinsi Kalteng, menatap dan menerawang kehidupan dan suasana seperti apa di kedalaman sungainya.
Sungai Mentaya yang menjadi urat nadi transportasi dari hulu hingga kemuaranya, bahkan di bibir sungai ini terdapat Pelabuhan Laut Sampit. Salah satu lokasi aktivitas keluar masuknya arus manusia , barang dan kendaraan di daerah ini.
Terlebih menjelang hari lebaran tahun 2019 tentu banyak pendatang di Sampit dan Kotim yang bekerja di sektor Informal dan perkebunan sawit, pulang kampung mudik lebaran di berbagai daerah di Pulau Jawa dengan menggunakan kapal laut.
Sungai Mentaya di Sampit dan Kotim menjadi saksi bisu geliat perantau merajut kehidupannya disini, berjuang melawan keadaan yang tak berpihak, yakni kemiskinan dan kepapaan di kampung halaman.
Tidak hanya itu, Sungai Mentaya juga merupakan saksi sejarah bagaimana masa keemasan kayu dulu di daerah ini , yang kini hanya menyisakan kerusakan lingkungan dan ketertinggalan.
Di sungai ini juga mengalir ke luar menuju lautan kapal tongkang membawa hasil tambang seperti biji besi , bauksit dan batubara. Entah berapa banyak kekayaan Bumi Habaring Hurung dikeruk ,dan bagaimana pula korelasinya dengan kesejahteraan rakyat dan kemajuan daerah , atas aktivitas investasi yang masuk ke Kotim?
Sebuahpertanyaan yang wajar, bukankah semua kekayaan yang terkandung di dalamnya, dikuasai negara yang dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyatnya?
Pagi itu di tepian Sungai Mentaya di Sampit , kutatap Sungai Mentaya yang sangat memberikan kehidupan bagi anak manusia yang menggunakan keberadaannya.
Tapi diamnya Sungai ini bukanlah diam membisu tanpa kata.Ia adalah saksi sejarah bagaimana anak manusia di muka bumi memberlakukan dengan kearifan dan kerakusan?
Tentang kekayaan akan sumber daya alamnya yang terlihat tak selaras dengan kesejahteraan warganya.
Sungai Mentaya menjerit atas kesewenangan ini, ia menangis atas keserakahan ini. Ia berharap akan muncul kesadaran semua pemangku kepentingan dan yang diberi amanah rakyat .
Supaya adil dan bijak dalam mengeksploitasi kekayaan daerah ini, dan bertujuan mensejahterakan masyarakat.
Bukan untuk memiskinkan kehidupan rakyatnya.
Sungai Mentaya juga bersedih melihat program pembangunan yang diduga berorientasi pada pendekatan proyek , dan abai pada skala prioritas,azas manfaat dan kaitannya dengan upaya mensejahterakan rakyat dipertanyakan?
Lihatlah semisal, pembangunan Pasar depan Taman Kota Sampit yang lama rampung dengan menguras anggaran sekitar Rp.25 miliar,pembangunan Patung Ikon Jelawat yang menelan dana puluhan miliar,pembangunan rujab megah Bupati Kotim yang menghabiskan anggaran Rp.36 miliar dan Perizinan Terpadu di Sampit yang menguras duit rakyat sekitar Rp.40 miliar.
Mungkinyang mendesak itu, aplikasi perizinan terpadunya dan bukan gedung mewahnya.
Sebab Sampit Kota kecil serta tidak sebesar Kota Surabaya dengan jumlah penduduknya juga banyak.
Semoga aparat penegak hukum menelisik sinyalemen proyek pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat dan daerah.
Jika ada indikasi dugaan merugikan keuangan negara supaya diusut tuntas, tanpa pandang bulu di negara yang berdasarkan hukum ini. ( Ruslan AG ).