Jakarta, Koranpelita.com
Praktik kotor untuk menggaruk uang negara yang sering membuat BUMN merugi dibongkar KPK. Mereka sering membeli sesuatu di atas harga asli agar kelebihan pembayaran disetor kembali ke si pejabat BUMN.
Pratik busuk para pejabat BUMN yang diduga sudah berlangsung lama diceritakan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. “Ini real kasus di BUMN,” kata Syarif di Gedung KPK Jakarta, Kamis (9/5).
Dicontohkan Wakil Ketua KPK itu, sebuah BUMN ingin beli 5 biji mangga dengan harga satuannya Rp 100. Harusnya pihak BUMN bilang kepada penjual mangga bahwa mereka bukan beli satu mangga, melainkan 5 mangga tolong harganyacditurunkan sedikit karena beli banyak.
“Harusnya kan begitu, tapi apa yang dilakukan perusahaan BUMN. Walah, kalau harga mangga Rp 100 jangan dong. Tolong mangga ini saya bayar Rp 120 per mangga, tapi Rp 20 nya kamu balikin ke aku lewat accountsaya di negara A dan B,” ujar Syarif menceritakan cara cara pejabat BUMN menggerogoti uang negara.
Hal itu disampaikan Syarif saat menjadi pembicara di Seminar Peran SPI (Sistem Pengawasan Internal) di BUMN. Dia mengatakan praktik tersebut benar-benar terjadi di BUMN.”Jadi kalau dia rugi, pasti rugi karena begitu caranya. Apakah itu hanya dilakukan satu BUMN, tidak. Tapi banyak,” ucapnya.
Syarif juga cerita permainan proyek pengerjaan jalan. Sering terjadi peningkatan harga agar kelebihan pembayaran disetor ke pejabat BUMN
Dia mencontohkan, ada proyek pembangunan jalan. Proyek ini sekarang jadi kasus, tapi Syarif nggak mau menyebut kadus yang mana. “Anggaplah jalan 100 meter, harusnya anggarannya cuma Rp 20 ribu. Tapi dia bikin anggarannya Rp 40 ribu. Dia serahkan kepada anak perusahaannya untuk dikerjakan Rp 40 ribu itu, tapi sebenarnya hanya Rp 20 ribu. Yang Rp 20 ribunya diberikan kepada yang bos-bosnya. Itu yang sedang kita kerjakan,” ujar Syarif.
Dia berharap praktik tersebut tidak terjadi di BUMN, yang disebutnya sebagai soko guru pembangunan bangsa. Dia pun mengingatkan jumlah uang yang dikelola oleh BUMN jauh lebih besar daripada APBN. (Humas KPK/esa)