SEMARANG, Koranpelita.com
Pengetahuantentang sejarah Dugderan ternyata membawa berkah bagi Nur Ianah (38) warga Tlogosari, Semarang.
Berbekal pemahaman yang dia peroleh secara getok tular atau dari mulut satu ke mulut lain, dia lancar saat diminta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk membeberkan makna filosofis tradisi penyambutan Bulan Ramadhan.
“Dug adalah suara bedug dipukul, sementara Der adalah suara meriam atau mercon sebagai penanda telah memasuki bulan puasa,” kata Ianah.
Penjelasan Ianah tersebut merupakan jawaban dari tantangan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo atau Kanjeng Mas Raden Tumenggung Probo Hadikusumo saat memberi sambutan perayaan Dugderan di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Sabtu (4/5).
“Bedug dan meriam itu dibunyikan oleh Walikota Semarang ketika itu setelah menerima hasil rapat para kiai atau ulama. Karena Semarang ini luas dan ketik itu belum ada speaker, maka dipilih suara yang bisa didengar seluruh warga,” katanya.
Ganjar sumringah mendengar penjelasan wanita asal Tlogosari itu karena ternyata warisan tersebut telah mendarah daging di masyarakat Semarang. Lebih hebatnya lagi, tetap istiqamah dilakukan sampai sekarang. Ganjar pun langsung memberi hadiah Ianah berupa uang cash Rp 1 juta.
“Masyarakat sekarang berkumpul semuanya menunggu cerita yang sudah ratusan tahun. Ternyata masyarakat sangat antusias menunggu Ramadhan dan mereka juga tahu sejarah Dugderan, dug itu suara bedug, der itu suara mercon atau. Maka ini menjadi tradisi yang dinantikan masyarakat Semarang,” katanya.
Masyarakat Semarang memang tumplek blek memadati kawasan MAJT setelah sebelumnya mengikuti arak-arakan dari Masjid Agung Kauman Johar. Beragam kesenian asli Semarang nampak mengiringi, dari tari-tarian hingga Warak Ngendok.
Nampak pada Perayaan Dugderan menjelang bulan Ramadhan tahun 1440 H itu, Walikota Semarang atau Tumenggung Aryo Purboningrat, Hendrar Prihadi dan Wakil Walikota Semarang Hevearita G Rahayu. Dalam prosesinya, Tumenggung Aryo Purboningrat melakukan halaqah atau diskusi dengan ulama di Masjid Agung Kauman untuk menetapkan awal pelaksanaan ibadah puasa.
Hasil halaqah tersebut kemudian diarak oleh Tumenggung Aryo Purboningrat bersama warga Semarang dari Masjid Agung Kauman menuju MAJT untuk diserahkan kepada Kanjeng Mas Raden Tumenggung Probo Hadikusumo.
Oleh Kanjeng Mas Raden Probo Hadikusumo, hasil halaqah tersebut diwartakan kepada masyarakat bahwa bulan Suci Ramadhan telah tiba. Imbauan untuk melaksanakan ibadah puasa dan menanggalkan perbuatan murka dia serukan. Menutup wartanya, Tumenggung Probo Hadikusumo berulang-ulang memukul bedug yang diikuti bunyi Der dari petasan. Sorak Sorai dan tepuk tangan masyarakat pun langsung menggema di pelataran masjid berpayung raksasa itu.
Setiap tahun, lanjut Ganjar, ramainya seperti ini terus. Dia berharap berkumpulnya orang merayakan tradisi ini dipenuhi dengan pesan-pesan baik agar nanti ketika memasuki Ramadhan hatinya, pikiran perkataan dan tindakannya bersih. Sehingga setidaknya ini menjadi awal yang membikin Semarang, Jawa Tengah dan Indonesia ayem tentrem.
“Setiap tahun hasil halaqah ulama ini juga terus dibacakan. Mari kita memanfaatkan momentum Ramadan ini untuk berbuat baik, berkata baik mari kita mari kita sambung lagi silaturahmi,” katanya.
Ganjar juga menyampaikan perbedaan saat Pemilu kemarin tidak usah diungkit-ungkit lagi. Ramadan ini jadi momentum tepat untuk berjabat tangan, berangkulan dan saling berkasih. Saat ini, lanjut Ganjar, semua urusan tentang hasil Pemilu, biar diurus KPU.
“Gak usah mikir Pilpres, Pileg. Tugas kita sekarang gandeng yuk tetangga kita yang kemarin pilihannya berbeda, kita anterin kolak karena sekarang waktu yang pas, kita ajak buka bersama sepertinya kok lebih cocok, atau barangkali karena besok sudah mulai tarawih, saya membayangkan para caleg yang tim sukses, yang pilihannya berbeda kemarin sekarang duduk berdampingan lalu pulang suasananya bahagia,” katanya. (sup)