Ken Arok dan Ken Dedes

Ken Arok dan Ken Dedes

Ketoprak. Kesenian tradisional yang populer di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dekade 80-an menjadi masa keemasannya. Banyak grup kaesenian ini di berbagai daerah dan menampilkan sosok sri panggung yang menjadi idola di masyarakat.

Saking populernya ketoprak, pemerintah menjadikan sarana untuk mensosialisasikan program yang berhubungan dengan masyarakat.

RRI dan TVRI Yogyakarta ketika itu secara rutin menyiarkan untuk memenuhi keinginan pendengar dan pemirsanya.

Gedung pertemuan secara khusus juga menyajikan panggung rutin, ketoprak. Lakon berseri tampil setiap malam, penggemar menjadi penasaran. Di akhir pekan ditampilkan lakon yang membuat gairah, ditambah bintang tamu. Sri panggung.

Tidak ketinggalan ketoprak tobong ikut meramaikan panggung. Tanggapan murah meriah di masyarakat bawah ini tidak kalah menariknya. Tobong yang dibangun semi permanen di lapangan terbuka, memungkinkan masyarakat datang dari berbagai penjuru.

Interaksi masyarakat menjadi akrab, perbincangan selalu berkembang. Mulai lakon yang bakal ditampilkan, penainnya lengkap dengan apresiasi masyakat yang menyertai.

Semua sudah berlalu, kebudayaan baru muncul. Kesenian berganti bentuk, pusat kesenian berpindah. Seniman juga berganti haluan.

Panggung kesenian hampir tidak terdengar, apalagi ketoprak tobong. Sri pangung juga sudah berganti profesi, membuka restoran atau usaha yang lebih keren, bisnis online.

Sekarang kesenian ketoprak kehilangan penggemar. Panggung kesenian tidak lagi menampilkan lakon legendaris.

Demikian dengan ketoprak tobong tidak dapat disaksikan lagi di lapangan terbuka. Pemerintah melalui dinas pariwisata, dinas kebudayan atau siapapun pemangku kepentingan seperti kehilangan kreativitas, tidak dapat mengambil peran untuk melesatarikan.

Seniman panggung, primandonanya yang menjadi rol juga sudah tidak dikenal di masyarakat.

Mereka kembali menggarap sawah. Bertani, buruh tani atau berkebun, berdagang dan ada yang mencari rongsok untuk menyambung hidup di hari tuanya. Diusianya yang tidak muda lagi, mereka terlunta-lunta karena bekal hidup sepenuhnya hanya berkesenian.

Lakon-lakon klasik dari sejarah Singosari, Doho, Kediri hingga Majapahit, Demak dan Mataram. Tampil berseri penonton hafal alur ceritanya.

Lakon carangan juga sering dipentaskan seiring dengan keinginan di masyarakat. Suminten Edan mengadopsi cerita Laila Majenun, cerita Kumpeni atau Umar Moyo dan Umar Madi.

Ken Arok dan Ken Dedes menjadi salah satu lakon popular. Masyarakat ketika itu mengenal betul, bahkan sampai karakter masing-masing lakon dan pemainnya. Ketika para artis hidup berdekatan dengan masyarakatnya, peran-peran di panggung dengan dirinya.

Biyung Emban bukan hanya ada di atas pentas, di masyarakat juga dikenal mbok emban. Artisnya ketika hidup di masyarakat melekat dengan peran-perannya di pangung.

Demikian halnya dengan tokoh utama dalam lakon yang tengah dimainkan. Ken Arok dan Ken Dedes atau tokoh lain semisal Laila Majenun atau Suminten Edan.

Ken Arok dan Ken Dedes sebuah kisah syarat dengan intrik politik. Masyarakat menyederhanakan Ken Arok sebuah pemuda yang haus kekuasaan dengan menggunakan kekuatan wanita. Tujuannya untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan sekaligus wanita. Tahta, harta dan wanita.

Simplifikasi inilah yang mernjadi model untuk memperoleh kekuasan dengan jalan mudah, jalan pintas dan hasil yang diharapkan. Model yang terus berulang dari zaman ke zaman hingga sekarang bahkan hingga akhir zaman. Meski di dalamnya terdapat intrik dan dinamika yang menyertainya.

Arok pemuda desa memasuki lingkaran istana. Silau memandang kemeagahan berpadu dengan kemolekan serta gemerlap kekuasaan.

Gamang menghadapi kenyataan, timbul kreativitas berkesenian. Arok sebagai pemain panggung, menyusun strategi bagimana mendapatkan semuanya.
Arok ingin memperoleh semuanya. Ya semuanya, harta melimpah wanita cantik dan kekuasaan sekaligus.

Ketiganya sudah ada di depan mata, kesempatan ada. Dukungan, sarana dan prasarananya sudah lengkap. Tinggal aksi lapangan, melakukan dengan sangat hati-hati agar konspirasi berjalan dan mendapat alibi.

Keris Empu Gandring yang dipesan diambil paksa, sumpah sang empu. Mendapatkan tumbal Kebo Ijo dan dimulai aksi nyata dengan bantuan Ken Dedes, menyelinap mendatangi Tunggul Ametung. Sejak saat itu bergulirlah serakaian pembunuhan dan balas dendam yang tidak ada hentinya. Sampai sekarang.

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca