RASANYA, telah terdengar suara langit. Telah terbit kesadaran besar.
Apa lagi yang kita ingkari?
Seandainya mudah membaca hati, tentu dari dulu kita gak akan salah pilih. Sekarang, setelah dusta yang melelahkan.. telah terbit kebenaran. Cukuplah rangkai kepalsuan sampai di sini!
Kita cukuplah menipu diri sendiri… apalagi menipu bangsa… Kita tau kita telah berbuat salah, membungkus kepalsuan pada diri pemimpin. Sepandai-pandai membungkus kepalsuan toh sekarang sudah terbuka. Sudahlah, mari kita berhenti. Mulai dari berhenti berbohong pada diri.
Menjadi elite yang suka berbohong, asal bapak senang, menjilat ke atas dan menginjak ke bawah, melanggengkan feodalisme kekuasaan dll adalah budaya buruk yang masih hidup subur di antara para pemimpin. Dan ia semakin subur dengan pemimpin bermental kekanak-kanakan dan boneka.
Kita tahu, seorang pemimpin sebenarnya gak paham, tapi kita terus memujinya seolah cerdas, bahkan pemimpin dibekali contekan dan hafalan seolah itu datang dari dirinya sendiri. Padahal Para penjilat dan oligarki sedang mengelilingi dan memangsa pemimpin secara sadis.
Tindakan seperti ini tidak nampak pada rakyat dalam waktu dekat. Tapi kita sebagai elite mengerti hawa dan aura di seputar kekuasaan. Dan lama-lama, rakyat mulai merasa ada yang palsu di seputar kekuasaan, ada dusta yang terpelihara rapi, sesuatu yang nampak indah tapi mengerikan.
Negara adalah institusi besar, tempat dusta disembunyikan. Kegagalan dapat dicitrakan sukses. Kebodohan dapat dicitrakan keluguan bahkan kesederhanaan. Kekanak-kanakan dapat dicitrakan seolah tulus padahal semua adalah kabut di depan cermin kepalsuan. Kini kabut telah hilang.
Telah tersingkap kabut yang menutupi wajah asli kekuasaan ini. Rezim penuh dusta; demokrasi dipakai untuk melegalkan persekusi, hukum dipakai untuk kepentingan kekuasaan, suara kritis dibungkam dan dipenjara, kritik dianggap ancaman bagi negara… sungguh memuakkan.
Mungkin, rezim ini berpandangan bahwa itu semua diperlukan untuk memperlancar pembangunan yang sedang digalakkan. Ya pembangunan pakai utang, yang mengorbankan kepentingan dasar rakyat; kebebasan, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Pembangunan yang meninggalkan beban di masa depan.
Inilah yang telah terasa di bawah, ada sesuatu yang sulit diucapkan tapi rezim ini seperti mempersulit hidup orang; beragama yang tenang selama ini dianggap persoalan, kerukunan yang telah selesai diungkit kembali, luka lama perang ideologi kembali dikobarkan… entah untuk apa.
Kegelisahan identitas ditambah dengan massif-nya wanprestasi ekonomi menyempurnakan migrasi secara kolosal rakyat yang 5 tahun lalu sebelumnya menaruh harapan yang besar pada sosok Jokowi. Maka, mari kita ikuti kata hati, dan kehendak rakyat yang nyata di depan mata.
Para elite, marilah kita mendengar suara sejati; rakyat telah berkehendak, mereka membangun kesukarelaan yang besar, emak-emak yang makin militan, para milenial, dan mereka yang membiaya calon mereka yang tak punya uang. Ini arus bawah yang telah bersikap untuk mengakhiri rezim ini.
Gerakan rakyat yang sadar dan militan tak bisa diganti dengan massa bayaran, peserta yang didatangkan dengan biaya besar dan mobilisasi dengan menggunakan fasilitas negara, BUMN atau pihak yang berduit besar. Telah mati api wibawa dan daya tarik dari petahana. Tamat!
Bandingkanlah kedua kampanye; yang satu datang sendiri, yang satu dijemput bus sewaan. Ada yang diberi sumbangan oleh rakyat, ada yang bagi amplop untuk money politics. Bandingkanlah; 01 tidak berani kampanye di basis 02 tapi sebaliknya massa mendukung 02 di basis petahana.
Hari ini, momen pembuktian. Mari mata bangsa ini tertuju kepada GBK, sebuah monumen yang dibangun oleh Bung Karno untuk melawan kecongkakan negara-negara besar. Dan kita tidak akan bisa melawan dengan dusta dan kepalsuan. Kita hanya bisa melawan dengan keberanian dan karakter.
Tontonlah sebuah TV yang berwarna biru, betapa mereka harus berdusta luar biasa, seolah seluruh bangsa ini dungu semuanya. GBK itu sepi