Catatan Selandia Baru yang bertahun- tahun menyandang gelar membanggakan sebagai negeri paling nyaman dan aman di dunia, mendadak tercoreng, Jumat (15/3) siang ( atau pagi waktu di Indonesia) .
Dicoreng oleh aksi brutal teroris yang memberondong jamaah salat Jumat di dua mesjid di Christchurch. 50 jamaah tewas, puluhan luka- luka. Tiga WNI turut jadi korban dalam aksi teroris itu. Seorang diantaranya, Lilik Abdul Hamid, bahkan tewas. Dua lainnya luka: Zulfirmansyah dan puteranya yang kini dirawat di RS. Satu dari empat yang diduga pelaku teror itu, Brenton Tarrat (28) berhasil diamankan oleh pihak berwajib. Senin (18/3), ini pria warga Australia itu mulai diadili sebagai terdakwa.
Padahal, baru sehari sebelum kejadian teror keji itu, saya menulis sikap terpuji pemerintah dan warga Selandia Baru serta Australia yang menyediakan atau membuka tempat untuk melaksanakan ibadah bagi umat Muslim, yang merupakan minoritas di dua negara bertetangga itu.
Selandia Baru lebih istimewa. Bukan cuma dikenal sebagai negara paling aman di dunia, melainkan juga disebut sebagai tempat lebih Islami dibandingkan negara yang lebih Islami dibandingksn negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
Pujian itu saya tulis di laman FB, saat berada di bandara Tullamarine, Melbourne untuk kembali Jakarta, Kamis (14/3) subuh. Hari itu saya dan isteri menuju bandara pukul 04.30. Masih gelap dan dingin, 12 derajat celcius. Di tengah jalan, Isteri bertanya salat subuh di mana? Gampang. Saya memastikan seluruh bandara di Australia menyediakan tempat ibadah.
Itu betul. Lepas dari pemeriksaan Imigrasi, sekitar jam 05. 45 — berbarengan saat suara azan berkumandang dari ponsel isteri—langsung terlihat petunjuk tempat beribadah. Di situlah kami salat subuh. Ruangannya cukup luas, berkarpet, dan bersih.
Di kota Australia yang lain, Sydney, dan Perth yang sering saya kunjungi, juga begitu. Tersedia tempat untuk salat lima waktu, termasuk di bandaranya. Setengah bulan ( 26 Februari-14 Maret) trip saya di Australia kemarin, dua kali saya ibadah Salat Jumat. Masing-masing di Abraham Mott Hall Sidney, Jumat (1/8) dan di Islamic Council of Victoria Melbourne (8/3). Di dua tempat itu, seperti juga di tempat lain di Selandia Baru, banyak tempat salat lima waktu. Khusus Jumat dilaksanakan dua kloter. Ini untuk menampung jemaah yang melimpah dari berbagai negara. Setiap kloter menampung sekitar 300 jamaah.
Saya juga beberapa kali salat Jumat di Selandia Baru.
Terakhir, 9 November 2018 lalu bersama Dubes RI untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya, dan beberapa kawan pemimpin redaksi media Tanah Air di City Mosque Brandon Street. Pengurus mesjid menyambut hangat dan ramah. Bahkan kami diberi souvenir jepitan dasi.
Untuk diketahui tempat salat di Selandia Baru maupun di Australia memang kebanyakan dilaksanakan bukan di bangunan mesjid, seperti yang kita kenal. Kebanyakan bangunan ruko dua tingkat yang disulap fungsinya menjadi mesjid, tempat ibadah.
Sebelum itu saya malah pernah salat Idul Adha di Wellington pada 2 September 2017, bersama Dubes RI di NZ, Tantowi Yahya. Ceritanya, sehari sebelumnya saya terbang dari Melbourne ke Wellington, persis hari Idul Adha. Pesawat kami terbang jam 9 pagi. Salat Jumat pukul 07.00. Saya bermaksud salat dulu baru ke bandara. Namun, Ruby M Thaha kemenakan yang menetap di Melbourne mengingatkan untuk menghitung rigit waktunya. Di Melbourne, salat tidak selalu pas waktunya dilaksanakan seperti yang diumumkan. Maklum Melbourne tidak libur di hari Idul Adha seperti di Indonesia atau di negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Belum lagi kemacetan lalu lintas pagi yang harus jadi perhitungan supaya tidak ditinggal pesawat.
Dengan perasaan sedih kami turut saran kemenakan. Memutuskan berangkat ke bandara. Secara obyektif kondisi Melbourne pagi itu memang persis seperti yang digambarkan Ruby. Belum lagi antrean yang terjadi waktu check in di counter maskapai penerbangan dan imigrasi.Saya sempat menyalahkan diri sendiri kenapa lalai waktu booking pesawat tidak memilih penerbangan siang supaya bisa salat Ied dulu baru berangkat.
Yang menjemput kami di bandara Wellington, Duta Besar RI Tantowi Yahya. Pertama ketemu langsung saya menyampaikan ucapan selamat Idul Adha. Saat itulah Pak Dubes memberitahu Idul Adha di Wellington dirayakan esok tanggal 2 September. Penentuan Salad Ied Sabtu (2/9) diputuskan oleh Fianz, federasi muslim New Zealand, semacam MUI. Ini betul-betul rezeki anak saleh.
Pelaksanaan Salat Idul Adha komunitas muslim di Wellington, berlangsung Sabtu (2/9) pagi pukul 08.30 di Asmabury Hall.
Salat diikuti sekitar 300 jamaah Muslim berbagai bangsa termasuk Dubes RI dan Ibu Dewi Handayari Yahya. Salat diorganisir oleh Al Amin, wadah komunitas Muslim di Wellington yang dipimpin oleh Agam Jaya. Agam Jaya keturunan Padang-Sunda sudah 16 tahun mukim di New Zealand. Di Indonesia dulu Agam seorang jurnalis. Pernah bekerja di Majalah Hai, dan di program news RCTI hingga tahun 2001.
Ramah tamah
Selesai salat, jamaah salat Ied beramah tamah sambil menikmati hidangan yang diupayakan secara kolektif oleh seluruh jamaah. Seperti itulah umumnya gambaran kerukunan ummat Muslim di New Zealand. Guyub. Suasananya seperti di Tanah Air. Agam menginformasikan waktu itu masyarakat Indonesia di Wellington sedang urunan mengumpulkan dana untuk membangun sebuah mesjid. Selama ini mereka melaksanakan ibadah lima waktu, salat Jumat dan salat Ied dilaksanakan dengan menyewa tempat. Warga Indonesia antusias merespons gagasan tersebut.
Penghujung acara disajikan atraksi anak-anak remaja dengan segala kreasi budaya, termasuk memperagakan acara Tawaf di Ka’bah.
Dubes Tantowi merasa bangga dengan kekompakan masyarakat Indonesia di Wellington, dan pada umumnya New Zealand. Menurut Tantowi, jumlah warga Indonesia di Selandia Baru sebanyak 5500 jiwa. Seribu duaratus antaranya mahasiswa. Dari jumlah itu 300 asal Papua.
Daerah gempa
Christchurch (bahasa Māori: Ōtautahi) adalah sebuah kota di pesisir timur Pulau Selatan (South Island) di Selandia Baru. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Selatan sekaligus merupakan kawasan urban terbesar di Selandia Baru setelah Auckland. Secara administratif, Christchurch merupakan ibu kota dari Region Canterbury, satu dari beberapa region di negara ini.
Nama Christchurch sendiri berasal dari kolese katedral Christ Church di Universitas Oxford. Dalam bahasa Māori, Christchurch disebut juga sebagai Ōtautahi atau tempat Tautahi.
Sensus tahun 2004, penduduk Christchurch berjumlah 363.700 orang, namun dalam perkiraan pada tahun 2010, penduduk Christchurch bertambah hingga menjadi 376.700 orang.
Kota ini beberapa kali diguncang gempa bumi, yaitu pada tahun 2010, bulan Februari 2011, dan Juni 2011. Jumlah korban tewas dari 3 kali gempa bumi tersebut sebanyak 181 jiwa.
Pada 23 Desember 2011, kota ini kembali diguncang dua gempa bumi lagi yang berkekuatan 5,8 Skala Richter (SR). Pusat gempa berada di kedalaman 8 kilometer. Di dua mesjid di Ibukota Canterbury itulah Jumat lalu ummat Muslim dibantai terroris, Jumat (15/3) lalu. Seluruh dunia mengutuk peristiwa Jumat kelabu itu. PM New Zealand, Yacinda Ardern menjamin negara akan hadir melindungi masyarakat Muslim. Tak ketinggalan PM Australia, Scott Morison,menujukkan sikap sama. Ia mengecam pelaku teror yang merupakan warga negaranya.
Insya Allah, 50 korban tewas mati syahid. Allah SWT akan menempatkannya di surga. Sedangkan kepada pelaku teror kita berharap, mendapatkan hukuman berat setimpal dengan kekejiannya. (Penulis Wartawan Senior dan Pemimpin Cek&Ricek Grup)