Setelah duka dan rasa kehilangan bisa diajak berdamai, istri saya mulai memompa semangatnya lagi. Tapi rupanya, keinginan mengabdi di Prodi Matematika FMIPA UI pupus, karena formasi dosen sudah habis.
Asa terbuka pada 2011, saat ada lowongan dosen di D3 Program Studi Administrasi Asuransi dan Aktuaria. Dulu, prodi ini di bawah FISIP UI. Sekarang, dinaungi Program Vokasi Universitas Indonesia. Dan, istri diterima sebagai dosen tetap di sana. Alhamdulillah.
Saya harus terus-terusan mengucap Alhamdulillah. Karena syukur yang besar: istri bisa mengabdi, selain memiliki eksistensi.
Selanjutnya, karena banyak bergaul dengan orang-orang pinter bergelar panjang-panjang, istri menjadi mendapatkan tantangan baru. Tak cukup hanya S2, ia ingin mengambil S3. Dalam hati saya mbatin, wah kalah saya.
Niat itu, rupanya niat beneran, bukan sekadar memprovokasi saya. Sebab, tidak lama, istri saya ndaftar ujian masuk S3 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Diterima. Alhamdulillah (lagi). Saya membatin (lagi), wah bakal benar-benar kesalip saya.
Namun rupanya kendala datang. Meski diterima masuk S3, tidak dilanjutkan karena izin atasan tidak keluar. Alasannya, ilmu yang diambil tidak linier dengan program studi saat kuliah S1 dan S2.
Tidak mau kehilangan asa, niat mengambil S3 dilanjutkan, dengan mengambil prodi yang sama saat S2 yaitu Statistika. Perguruan tinggi juga sama, Institut Pertanian Bogor. Ia diterima bersama lima orang mahasiswa lainnya di tahun 2014.
Saat itu, yang saya batin sudah lain. Bukan merasa bakal kesalip, tapi terbayang luar biasa beratnya kuliah di prodi yang pernah dipimpin nama kondang sekelas guru besar statistika Prof. DR. Andi Hakim Nasution.
Sudah, kuliah dimulai. Istri saya kembali menjadi mahasiswi, wah senangnya. Katanya, punya istri masih mahaiswi itu menyenangkan. Tapi tidak, saya masih kebayang perjuangannya yang tidak lunak: merampungkan kuliah dalam tiga tahun.
Kenapa tiga tahun? Karena jika lebih dari tiga tahun, biaya kuliah harus ditanggung suami, bukan lagi ditanggung negara. He…he…he…
Saya tidak tahu, apakah karena ingin mengejar target tiga tahun selesai (kasihan saya jika harus menanggung biaya tambahan) atau oleh sebab statusnya sebagai mahasiswi. Jadi, saya masih ingat, di awal perkuliahan, istri saya seperti dibakar api semangat mengikuti kuliah.
Semangat itu, yang membuatnya mulai berani nyetir mobil sendiri. Tidak seperti saat kuliah S3, kali ini, istri saya tidak naik KRL, tapi bawa mobil. Gaya juga dia…
Dua tahun istri saya nglajo Depok-Bogor. Saya membayangkan, tangguh juga, karena setidanya harus nyetir sendiri pulang-pergi 50 KM. Wong saya saja masih sering grogi kalau nyetir jauh.
Setelah dua tahun bolak-balik Depok-Bogor, selanjutnya tidak harus datang di kelas. Berarti lancar, target tiga tahun bisa dikejar. Tapi proses berikutnya masih sangat panjang. Setelah selesai perkuliahan dilakukan evaluasi didasarkan pada nilai yang diperoleh.
Saya masih sering deg-degan, karena menduga istri kadang bingung harus mulai dari mana untuk menulis disertasinya. Kalau perkuliahan jelas ada jadwal kuliah, ujian, kemudian nilai keluar, lulus atau harus mengulang. Sementara untuk menulis disertasi, istri mesti mencari inspirasi sendiri, menentukan pembimbing, menemukan novelty atau kebaruan, dan sebagainya.
Semangat sempat naik turun. Setelah arah disertasi disepakati bersama dosen pembimbing, istri mesti mengolah data yang membutuhkan sedikit keahlian dalam pemrograman. Saya anjurkan untuk merekrut rekan atau mahasiswa untuk membantunya. Tapi ternyata tak semudah yang saya kira, sehingga beberapa yang pernah membantu, menyerah.
Istri saya yang pernah bekerja di Pusat Komputasi IPTN Bandung mencoba mengingat pekerjaan lamanya, yaitu programming. Saya dan anak-anak kadang merasa kasihan dengan perjuangannya. Tapi tak banyak yang bisa dilakukan selain doa.
Sebagai mahasiswa program doktor, istri saya juga wajib mempublikasikan hasil penelitiannya. Tak tanggung-tanggung, minimal satu artikel yang harus dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional. Selain itu, ia diwajibkan mengikuti ujian kualifikasi untuk menjamin penguasaan ilmu dan kesiapan melakukan penelitian.
Tahapan yang mesti juga dilalui adalah mempresentasikan proposal penelitian dalam mata ajaran kolokium sebelum penelitian dilaksanakan.
Penelitian yang merupakan upaya menemukan kebenaran (dan/atau) menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi ini, adalah sebuah proses yang paling panjang. Sebelum melakukan penelitian, harus disusun usulan rencana penelitian sesuai format yang berlaku, disetujui oleh komisi pembimbing, ketua Program studi dan Dekan.
Alhamdulllah, semua proses sudah dilewati. Lulus dengan baik. Istri yang telah dinyatakan lulus ujian kualifikasi dan disetujui penelitiannya, sudah boleh saya sebut calon doktor. Sebelum itu, walau sebagai mahasiswa S3, belum bisa disebut calon doktor.
Untuk menjamin kualitas proses pembimbingan dan kualitas disertasi, dilakukan sidang komisi. Ini dimaksudkan agar arah penelitian dan materi disertasi disepakati anggota komisi pembimbing.
Langkah selanjutnya, yang saya turut merasakan gangguan tidur di malam hari, adalah penyiapan diri si calon doktor ini. Sekali mengolah data diperlukan sekitar 10 jam.
Persiapan melaksanakan seminar hasil penelitian juga menyibukkan terutama anak-anak. Mereka harus mendengarkan sesuatu yang tak dimengerti. Kemudian, diminta memberi masukan atas presentasinya. Dan, memberi aba-aba waktu agar selesai dalam waktu yang ditetapkan. Setelah itu, istri mengikuti ujian tertutup.
Dan, babak akhir dari rangkaian panjang menjadi doktor, dimulai. Yaitu, sidang promosi terbuka dengan tambahan dua orang penguji di luar komisi pembimbing. Karena sidangnya terbuka, saya ikut menyemangati. Tapi justru karena itu, saya agak khawatir, jangan-jangan saya tungguin malah bikin galau, grogi, dan tak lancar menjawab pertanyaan penguji.
Syukurlah, semua terlalui dan dinyatakan lulus.
Tapi sejatinya yang memiliki peranan sangat besar bukan dirinya sendiri, saya, atau anak-anak. Karena pandemi juga punya andil tidak kecil dalam membantu penyelesaian tugas belajari.
Coba saja bayangkan, sebelum pandemi, waktunya banyak tersita kegiatan lain. Termasuk kegiatan di ikatan istri karyawan. Apalagi, istri saya seperti menikmati perannya sebagai wakil ketua bidang pendidikan ikatan istri karyawan. Kegiatannya memng kebanyakan di Jakarta, namun tak jarang mesti mengikuti acara ikatan istri karyawan di kantor wilayah di luar kota.
Kegitan itu, masih belum ditambah aktivitas lain, mulai dari mendampingi saya tugas ke luar kota atau luar negeri, hingga Hasrat menikmati liburan bersama keluarga.
Jadi, sabar. Tak perlu selalu menyalahkan Corona. Jangan juga pesimis dihantui pandemi. Sebab pandemi justru mengantarkan istri saya mendapat gelar doktor.
Maka begitulah. Selain pandemi, yang mempercepat semua proses belajar, karena bisa di rumah saja dan fokus merampungkan studi, jauh sebelum itu, sesungguhnya ada penyemangat terbesar yang lebih dahsyat untuk menyelesaikan kuliahnya.
Benar. Penyemangat itu adalah senyum bahagia ibunya yang bangga melihat sang anak bekerja sebagai dosen dan segera menjadi doktor.
Saya tak pernah lupa mengenang, setiap kali ibu mertua saya itu, rawuh ke Depok, selalu membawa senyum sangat bahagia. Bahagia bukan hanya bisa menengok cucunya, tapi senyum sumringah melihat putrinya sendiri yang membanggakan.
Dan kebanggaan itulah, yang membuat ibu merasa tuntas tugasnya mengantar buah hatinya meniti pendidikan sangat tinggi, sehingga bisa tenteram saat dipanggil Tuhan tahun 2018 meski tanpa melihat anaknya benar-benar boleh dipanggil Doktor. Untuk ibu yang berbahagia, terimalah doa kami, al Fatihah.(*)
Salam NKS