Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Hiruk pikuk mobilitas sosial dari gerak manusia terus berlangsung. Berbagai peristiwa suka duka terus berputar silih berganti. Tak peduli apakah ada di awal tahun, pertengahan tahun atau penghujung tahun. Sang Waktu terus bergerak, sesuai dengan hukumnya sendiri. Ruang sebagai wadah aktivitas manusia juga terus terbuka, dikehendaki atau tidak oleh pelaku peristiwanya. Sampai pada penghujung jatah usia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia harus menerima keterlepasan diri dengan sang Waktu, memenuhi panggilan Illahy, menuju keabadian yang terlepas dari ruang dan Waktu.
Saat ini, peradaban manusia sesuai dengan perhitungan yang dibuat oleh manusia sendiri, berada di penghujung tahun 2020, dan memasuki tahun 2021. Satuan Waktu yang bisa disebut sangat panjang, manakala diukur dengan perjalanan peradaban manusia. Namun tak berarti apa apa ketika diukur dengan bahasa keyakinan tentang kesementaraan hidup dunia. Hanya beberapa saat saja.
Semenjak Dahulu Kala
Dihitung, terlepas dari percaya atau tidak, yakin atau tidak, semenjak jaman Yunani Kuno. Sang Waktu terus bergulir, sesuai hukumnya sendiri. Tentang sang Waktu, pertanyaan abstrak dan filosofis tentang sang Waktu ini dapat diajukan, sebagai cuwilan kalimat penuh makna dari pujangga. Bahwa Waktu dengan hukumnya sediri mengalir bak air yang datang dan pergi tiada henti dan sulit dimengerti. Demikian juga terbit matahari yang tak pernah jeda dan lelah. Perpindahan siang dan malam yang terus bergulir. Bertaut dalam ruang yang maya, dari detik, menit, jam, hari, minggu, windu, bahkan abad dan millennium terus mengisi dimensi ruang yang abstrak.
Pada setiap peristiwa, bermakna atau tidak tergantung kepada manusianya, dan terus abadi menurut hukum alam. Waktu terus berjalan dan terus berputar dan beredar hingga akhir keabadian. Namun tak banyak orang yang menyadari keadaan sang Waktu. Pastinya sang Waktu berlalu begitu saja bak angin berhembus. Tidak termasuk, dan cenderung mengenang sang Waktu inilah yang dilakukan orang orang yang mengatur Waktunya dengan penuh seksama di atas penyadaran bahwa hidup hanya sesaat. Hidup bagaikan singgah mampir minum dan harus meneruskan perjalanan bersama dan dalam rengkuhan sang Waktu. Itulah sebabnya hidup harus dimanfaatkan untuk sesama di atas penyadaran baha hidup bukan hanya saat ini.
Kata orang bijak, cara mengukur Waktu dalam kehidupan ini ternyata berbeda, dari millennium, sampai kepada mili detik. Semuanya tentang keberhargaan sang Waktu. Untuk memahami kakna millenium, atau ribuan tahun tanyalah kepada sejarah perjalanan sang Waktu. Untuk memahami Waktu satu tahun yang menyakitkan, bertanyalah kepada siswa yang gagal tidak naik kelas dan harus mengulkang dan menunbhggu tahun berikutnya.
Untuk memahami makna Waktu satu bulan, tanyalah pada ibu yang melahirkan bayi prematur. Demikian selanjutnya, untuk memahami makna satu minggu, tanyalah pada editor majalah mingguan yang senantiasa dikejar oleh deadline. Untuk memahami makna satu hari, tanyalah pada pekerja dengan gaji harian yang senantiasa menunggu tibanya sore untuk menerima gajinya. Untuk memahami makna satu jam, bertanyalah maknanya kepoda gadis yang sedang menunggu kekasihnya di ujung Waktu yang sempit. Untuk memahami makna Waktu satu menit, bertanyalah pada seseorang yang ketinggalan kereta atau pesawat karena terdesaknya urusan yang harus diselesaikan.
Untuk memahami makna Waktu satu detik, bisa menanyakan maknanya kepada seseorang yang selamat dari kecelakaan dan mengapresiasinya dengan penuh syukur. Untuk memahami makna satu mili detik, bertanyalah kepada pelari peraih medali perak Olimpiade. Kesemuanya penuh duka lara. Namun apapun, Waktu terus berlalu dan tak akan akan pernah mengulang peristiwa. Semuanya terjadi kendatipun dengan tema yang kemungkinan nyaris sama.
Makna Sang Waktu
Ihwal sang Waktu dalam perspektif lain, menarik ketika membaca buku Stephen Hawkings, fisikiawan abad 20 yang tercatat berpikiran kontroversial. Di dalam buku The Grand Design (2010) yang terkenal itu, ia secara lugas membagi dunia pikiran manusia mengenai cara memandang alam semesta. Pada satu sisi ada alam pikiran sains atau bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan yang sepenuihnya didasarkan pada logika. Pada sisi lain ada alam pikiran metafisik atau mitos yang yang sifatnya bersifat keyakinan tanpa penjelasan ilmiah apapun. Kesemuanya dibingkai dalam satuan Waktu dan ruang.
Pada perspektif metafisis ini dicontohkan, tatkala terjadi gerhana matahari, maka orang menyakini ada sebuah kekuatan raksasa yang menelan matahari, sehingga mereka membunyikan berbagai kegaduhan untuk mengusir si raksasa. Dengan tindakan sang raksasa, menyebabkan rongkangnya matahari. Namun dengan kegaduhan itu berhasil mengsuir sang raksasa dan akhirnya matahari pun muncul kembali. Untuk saat sekarang, penjelasan ilmiah mengenai gerhana matahari sudah ada dan ini adalah suatu fenomena alam yang biasa dan dapayt dijelaskan berdasarkan ilmu fisika.
Bahwa berdasarkan satuan Waktu, pengetahuan akan mampu menjelaskan semua fenomena alam, sehingga pikiran-pikiran yang sifatnya metafisik atau mitos akan perlahan-lahan hilang dengan sendirinya.
Maknanya bahwa pada satuan Waktu, pada saatnya apapun di dalam fenomena keagamaan sekalipun, manakala ilmu pengetahuan sudah mampu menjelaskan semua fenomena alam tak ada lagi alam mitos.
Kesemuanya itu berjalan dalam runutan dan konteks sang Waktu. Pada perspektif ini, pemahaman terhadap ajaran keagamaan, sang Waktu merupakan representasi dari suatu alam metafisik atau mitos yang masih berada di alam metafisik. Sampai kini belum terungkap berdasarkan ilmu pengetahuan. Dengan bahasa sederhana, sang Waktu adalah sebagai media untuk berbuat kebajikan, sebagai semacam jembatan dari kehidupan yang fana menuju kehidupan keabadian atau menuju alam baka.
Pada catatan individual, sang Waktu melekat erat Bersama ruang yang senantiaa menjadi media untuk beraktivitas. Waktu telah membawa ke dalam banyak lika-liku perjalanan hidup pribadi, penuh dengan penantian untuk menuju hidup keabadian. Siapa yang menyadari keadaan ini, dia termasuk orang beruntung. Sebaliknya yang membuang Waktu dalam kehiduoannya temasuk golongan orang yang merugi.
Pandemi Korona
Sejarah mencatat, dan belum pernah catatan kemanusiaan mengalami seperti ini, pergantian tahun pada musim pandemic korona. Memprihatinkan, kalua tidak bisa disebut mengerikan. Bakteri covid 19 di pergantian tahun ini bermutai, hingga disebut sebagai covid 15, covid 18 dan entah covid dengan berapa angka lagi. Di penghujung tahun 2010 ini, kabar dari hamper seluruh rumah sakit di tanah airdan di banyak negara di seantero jagat mencatat sejumlah pasien Covid-19 dengan gejala, mulai dicampur dengan pasien tanpa gejala saat menjalani isolasi di fasilitas yang disediakan pemerintah, di tengah hunian tempat tidur rumah sakit yang makin penuh.
Pemerintah daerah mulai membuka ruang isolasi baru, termasuk merekrut relawan kesehatan untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 pasca libur panjang akhir tahun. Persatuan Rumah Sakit Indonesia menyatakan akan lebih selektif menerima pasien berdasarkan gejalanya di tengah tingkat ketersediaan tempat tidur yang semakin sedikit. Sementara epidemiolog mengeluarkan peringatan keras agar pemerintah mengambil “tindakan luar biasa”, namun pemerintah mengatakan, sudah diambil langkah untuk mengatasi masalah.
Hendaknya seluruh warga masyaakat berhati hati dan bisa menahan diri, dan menjaga diri dari tertularnya virus. Bijak, imbauan ini ditaati sebagai bagian dari upaya yang harus dilakukan untuk memutus mata rantai peredarannya.***