Oleh Dasman Djamaluddin
*Penulis wartawan senior tinggal di Jakarta.
Dalam rangka menutup tahun 2020 dan mengawali tahun baru 2021, saya ingin melihat perkembangan Papua dari Jakarta.
Saya memang pernah melihat Papua dari dekat, tetapi itu sudah lama ketika kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih di Abepura, Papua dari tahun 1975-1980. Oleh karena itu, situasinya sudah sangat berbeda dengan sekarang. Maka, itulah sebabnya, saya ingin melihat Papua dari Jakarta.
Pertama, perubahan jelang tahun 2021 ini adalah mengenai persiapan Panitia Besar Pekan Olahraga Nasional (PB PON) XX di Papua. Mereka menyatakan, bahwa persiapan penyelenggaraan multi-event empat tahunan itu kini sudah mencapai 90 persen. Rencananya PON di Papua akan diselenggarakan pada 2-14 Oktober 2021.
Kedua, perubahan lainnya di Papua, adalah mengenai pembangunan infrastruktur. Memang muncul pula pertanyaan, mana yang lebih dahulu dilakukan, pembangunan infrastruktur, manusianya, atau akan tetap seperti biasanya.
Sejauh ini diakui, berbagai perubahan di Papua sangat cepat. Hal tersebut sudah tentu tidak terlepas dari berbagai rencana pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengembangkan infrastruktur. Apa yang dilakukan presiden yang salah satu komitmennya selama menjabat sebagai presiden Indonesia adalah menggenjot pembangunan infrastruktur dan konektivitas antar wilayah, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), yang sudah terlihat itu?
Salah satu daerah yang menjadi prioritas pembangunan infrastruktur adalah Provinsi Papua dan Papua Barat. Presiden meyakini program pembangunan infrastruktur, terutama di Papua, akan dapat meningkatkan mobilitas, mengangkat ekonomi lokal, dan pada akhirnya meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Maka dilakukanlah pembangunan jalan yang menghubungkan seluruh wilayah Papua, yang disebut sebagai jalan Trans Papua, dengan panjang sekitar 4.330 kilometer. Jalan tersebut membentang dari kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga Merauke di Provinsi Papua.
Pembangunan jalan Trans Papua tersebut tentu sangat berarti bagi orang Papua. Mengingat pembangunan infrastruktur seperti jalan adalah salah satu masalah mendesak yang harus dikerjakan pemerintah, karena masih terjadinya keterisolasian warga di beberapa wilayah Papua, akibat infrastruktur yang terbatas selama ini.
Mengenai pembangunan infrastruktur ini memang memunculkan berbagai pendapat. Sebagian warga ada yang menyambut baik pembangunan tersebut. Menurut mereka, adanya perbaikan dan penambahan jalan baru, bisa memangkas waktu transportasi dan membuat harga bahan pokok lebih terjangkau.
“Dulu barang-barang mahal karena harus diangkut dari Jayapura ke daerah-daerah lain seperti Wamena, lewat udara,” ujar seorang warga Wamena yang tinggal di Jayapura.
Sebagian masyarakat berpendapat lain. Kerusuhan di Papua ‘membuat khawatir’ warga pendatang, ujarnya. Bahkan ada pengungsi itu lahir di bawah pohon – fakta dari konflik di Nduga, Papua. Konflik Nduga: Sebagian pengungsi tolak bantuan pemerintah karena ‘tak sesuai adat’
Jadi pendapat ini mewakili yang berpendapat, pembangunan tidak ada gunanya jika korban manusia terus berjatuhan akibat konflik berkepanjangan.
Pembangunan Salah Sasaran
Thaha Al-Hamid, ketika di Papua, adalah Sekretaris Umum saya di Lembaga Hukum Mahasiswa HMI Cabang Jayapura. Awalnya, saya menjadi Sekretaris I HMI Cabang Jayapura (1977-1978). Kemudian saya Ketua Umum LHMI-HMI Cabang Jayapura (1978-1979 dan 1979-1970).
Thaha selanjutnya menjadi Sekretaris Presidium Dewan Papua (PDP) yang diketuai oleh Theis H Eluay. Sekarang, ia dianggap tokoh berpengaruh di Papua.
Baru-baru ini Thaha juga berkomentar tentang pembangunan di Papua. Sebagaiman saya kutip seluruhnya dari RMOL.co, Thaha menganggap bahwa pemerintah bangun jalan di Papua di tengah hutan itu seperti merampok negara dengan cara legal.
Inilah hasil wawancara yang dipublikasi pada hari Sabtu, 5 Desember 2020 :
‘ Sekjen Dewan Papua, Thaha Alhamid mengkritik kebijakan pemeritah Joko Widodo dalam membangun Papua yang selama ini dilakukan.
Tokoh Papua itu menyebut pembanguan Jokowi salah sasaran karena dianggap tidak mencukupi kebutuhan dasar warga lokal. Salah satunya mengenai pembangunan jalan yang menurutnya tidak perlu.
Menurutnya, cara pandang untuk membangun Papua masih belum tepat. Thaha meminta pemerintah lebih peka, khususnya terkait kebutuhan masyarakat yang tinggal di kampung-kampung Papua. Bukan justru membangun jalan.
“Orang-orang di kampung tidak jalan di jalan (yang dibangun pemerintah) itu, aspal panas kaki melepuh jadi lebih baik jalan di bawah pohon, jalan tikus, tapi de facto itu yang ada kemudian difoto, diumumkan dimana mana, jalan jalan yang hebat, ini bikin rasa Jakarta semua ini, bukan rasa Papua,” kata Thaha dalam diskusi Smart FM bertajuk “Setelah Otusus, Apa Lagi Jurus Untuk Papua?” Sabtu, 5 Desember 2020.
“20 tahun lagi orang tidak akan jalan, ada sapi ada babi di situ, biar sudah, sapi dan babi yang melihat aspal itu,” tambah Thaha menekankan.
Dengan mubazirnya pembanguan jalan di tengah-tengah hutan Papua ia mengibaratkan seperti merampok uang negara dengan cara legal. Pasalnya, Thaha khawatir tidak ada lembaga negara yang berani melakukan pengawasan alias melakukan kontrol.
“Bangun jalan-jalan di tengah hutan saya punya bahasa itu ini merampok negara dengan cara legal, bangun jalan di tengah hutan Papua, siapa mau kontrol? BPK? BPK tidak berani ke sana, KPK? Apalagi,” pungkasnya. ‘***