Oleh: Prof Dr H Haryono Suyono, MA, PhD
*Penulis, mantan Menko Kesra dan Taskin.
Keberhasilan program KB pada tahun 1980-an telah mengantar Presiden HM Soeharto memenuhi undangan Sekjen PBB berkunjung ke Markas PBB di New York, Amerika Serikat, guna menerima penghargaan tertinggi PBB berupa UN Population Awards. Penghargaan yang diberikan setiap tahun bagi pembangunan kependudukan dan KB, menurunkan angka kelahiran, kematian maupun usaha peningkatan kualitas keluarga dan penduduk. Kunjungan Presiden HM Soeharto ke New York dan PBB pada tahun 1989 itu adalah kunjungan Presiden HM Soeharto yang pertama sejak beliau menjabat Presiden RI karena sebelumnya “belum bisa” berkunjung ke Amerika karena dituduh “melanggar hak-hak azasi manusia”. Karena keberhasilan Indonesia dalam program KB dan ternyata dibuktikan melalui kunjungan beberapa kali oleh banyak anggota Senat Amerika Serikat yang diundang dan datang berkunjung ke banyak desa melihat kegiatan dan cara penanganan KB secara langsung, serta melihat keadaan nyata dengan lebih dekat, bertemu secara langsung dengan Presiden HM Soeharto, makin banyak anggota Senat Amerika makin yakin bahwa pak Harto tidak melanggar hak-hak azasi manusia pada tahun 1965. Karena itu akhirnya Presiden HM Soeharto secara resmi diundang oleh PBB ke New York dan diberikan visa resmi oleh Pemerintah Amerika untuk bersama seluruh keluarga yang mengantar pak Harto menerima kehormatan penghargaan itu dari PBB.
Sejak ppenerimaan penghargaan itu pada tanggal 8 Juni 1989 di New York itu, prograqm KB yang semula bercita-cita menurunkan fertilitas menjadi separo pada tahun 2000 dipercepat bahwa penurunan fertilitas diusahakan dicapai pada tahun 1990, agar setelah itu target kuantitatif penurunan fertilitas bisa lebih diperluas menjadi upaya membangun keluarga sejahtera yang sekaligus menyangkut target kualitatif karena menyangkut peningkatan kualitas variabel yang lebih luas. Oleh karena itu sejak tahun 1990 diusahakan mengembangkan Undang-undang yang memungkinkan pemerintah ikut membantu keluarga tertinggal mengejar ketertinggalannya agar bisa menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera. Karena itu upaya pengembangan UU itu tidak saja menjadi perhatian pemerintah tetapi dibantu oleh PBB dengan referensi internasional biarpun secara global belum pernah ada UU keluarga atau UU Kependudukan, tetapi para ahli PBB membantu BKKBN dan Menteri Kependudukan mengadakan penelitian dan mendapatkan referensi dunia yang sangat luas.
Akhirnya secara resmi Menteri Kependudukan Prof. Dr. Emil Salim bersama Kepala BKKBN Dr. Haryono Suyono ditugasi oleh Presiden HM Soeharto bersama-sama untuk membawa Konsep UU Kependudukan kepada DPR RI, dan alhamdulillah disetujui oleh DPR RI pada tahun 1992 dan disyahkan menjadi UU nomor 10 pada tahun 1992. Atas dasar UU itu, pada tahun 1993 ditetapkan Presiden RI bahwa setiap tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional, sekaligus merupakan merupakan tonggak sejarah peringatan Ibu Kota RI Yogyakarta kembali ke tangan Pemerintah RI. Pada tanggal itu berbondong-bondong keluarga yang mengungsi ke desa-desa karena serangan Belanda, kembali berkumpul dengan keluarga masing-masing. Tanggal 29 Juni itu Ibu Kota RI Yogyakarta kembali ke tangan Pemerintah RI sehingga keluarga yang mengungsi dan kembali berkumpul mulai hidup damai dalam satu rumah tangga, dan mulai bekerja ikut membangun Negara Kesatuan RI yang tercinta.
Momentum Hari Keluarga itu oleh Presiden RI HM Soeharto diarahkan bagi BKKBN dan jajarannya sebagai awal kegiatan pembangunan dan pemberdayaan keluarga melalui koordinasi BKKBN. Untuk itu pembangunan keluarga sejahtera mengacu pada peningkatan mutu dari delapan indikator pokok keluarga sejahtera. Sehingga mulai tahun 1993 tersebut BKKBN tidak saja ditugasi mencapai target kuantitatif menurunkan tingkat kelahiran, sekaligus mengembangkan dan mencapai terget kulaitatif upaya pemberdayaan keluarga sejahtera melalui penyempurnaan delapan indikator keluarga sejahtera.
BKKBN memperluas pendataan keluarga yang semula untuk mengenal pasangan usia subur muda, ditambah variabel baru guna mengenal indikator proxy keluarga prasejahtera dan indikator proxy keluarga sejahtera I yang sebagian besar miskin. Pada tahun 1994 – 1995, ketika pemerintah memutuskan menyelenggarakan upaya pengentasan kemiskinan melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT), dengan prioritas awal bagi 20.000 desa tertinggal, BKKBN diberi tugas melaksanakan Inpres Keluarga Sejahtera (IKS) membantu keluarga prqasejahtera atau keluarga miskin yang menetap pada sekitar 40.000 desa yang dianggap sebagai Desa non IDT. Karena jumlah keluarga dan penduduk di 40.000 desa ini lebih padat, maka sesungguhnya jumlah keluarga dan penduduk miskin juga jauh lebih banyak.
Karena pemerintah menempatkan prioritas pembiayaan pada 20.000 desa tertinggal, maka Presiden memberi petunjuk agar upaya di 40.000 desa tidak tertinggal (Non IDT) menggunakan pendekatan kemasyarakatan gotong royong. Tetapi karena “gotong royong” murni dianggap lamban, maka pada tahun 1995 mulai digagas mengajak “orang kaya” atau “konglomerat” untuk memberi bantuan. Untuk menampung bantuan itu, BKKBN mengembangkan program “lelang kepedulian” guna menolong keluarga miskin dengan bantuan keluarga kaya atau konglomerat. Bntuan dipergunakan guna menyempurnakan nilai fungsi keluarga yang lemah, seperti misalnya lantai rumahnya dari tanah. Agar pengumpulan bantuan tidak melanggar aturan, BKKBN mengusulkan dibentuk suatu yayasan guna menampung sumbangan para konglomerat yang ingin berpartisipasi.
Atas usul tersebut, Pak Harto mempertimbangkan agar Yayasan itu berbobot dan mendapat kepercayaan yang tinggi, diberi nama Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, disingkat Yayasan Damandiri, dan pimpinannya dipegang langsung oleh Pak Harto, dan para pendirinya ditentukan oleh beliau dari tokoh-tokoh yang bertindak secara pribadi. Pak Harto mengusulkan agar pribadi-pribadi berpengaruh itu mendampingi Kepala BKKBN yang memiliki prakarsa. Maka diminta dan ditunjuk Om Liem Sioe Liong, Pak Sudwikatmono sebagai pendamping Kepala BKKBN, yang semua diminta bertindak atas nama pribadi. Pak Harto memutuskan memimpin Yayasan itu sebagai pribadi . Keempatnya sekaligus ditetapkan bertindak sebagai pendiri Yayasan Damandiri secara pribadi.
Pada waktu pak Harto lengser, ada usaha untuk membubarkan dan mengambil alih beberapa Yayasan yang didirikan oleh pak Harto melalui mengaturan susunan pengurus dan aturan lain yang inti sesungguhnya adalah menghambat usaha yang dilakukan oleh beberapa yayasan itu. Untuk menjamin kelangsungan Yayasan Damandiri, Pak Harto memerintahkan agar Ketua Yayasan dipegang langsung oleh Haryono Suyono sedangkan Pembinanya dipegang oleh tiga pendiri lainnya, Pak Harto, Pak Sudwikatmono dan Om Liem Sioe Liong semuanya untuk menjamin agar tujuan dan sasaran Yayasan Damandiri berlanjut sesuai cita-cita pemberdayaan keluarga dan upaya pengentasan kemiskinan.
Sampai tahun 2015 kegiatan Yayasan diarahkan untuk bersama tidak kurang dari 450 Perguruan Tinggi Negeri dan swasta melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) bekerja keras meningkatkan kesadaran masyarakat di desa mebangun jiwa kebersamaan gotong royong melalui pembentukan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) di desa-desa. Kegiatan Posdaya diarahkan sebagai kegiatan sederha yang dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat desa antara lain berupa kegiatan pendidikan, kesehatan dan ekonomi sederhana. Dari kegiatan itu di banyak desa muncul berhasil membuat PAUD, Posyandu sampai ada pula yang membentuk koperai, usaha industri dan perdagangan kecil di desanya. Dewasa ini banyak usaha Posdaya yang dilanjutkan bergabung dalam kegiatan Bumdes di desa atau pengurusnya menjadi pemrakarsa atau pengurus Bumdes atau membuka usaha ekonomi mikro di tingkat desanya. Begitu pula Perguruan Tinggi mitra Yayasan, ada yang bergabung dalam kegiatan Pembangunan Desa dan Masyarakat Desa dalam wadah Pertides atau melanjutkan kegiatan KKN atau KKN Tematik bersahabat dengan masyarakat desa membangun desa dan masyarakatnya.
Setelah Om Liem dan Pak Dwi meninggal dunia, pak Harto, dengan kesepakatan Ketua Yayasan, yang semula bersama beliau mendirikan Yayasan, menunjuk Bapak Bob Hassan sebagai Pembina dan kemudian ditambah Ibu Ir. Hj. Siti Hutami Endang Adiningsih atau mbak Mamiek Soeharto sebagai Pembina. Pada tahun 2016, Pembina Yayasan menugaskan Dr Subiakto Tjakrawerdaja melanjutkanmemimpin YayasanDamandiri.
Dibawah kepemimpinannya upaya Yayasan Damandiri melanjutkan upaya pengentasan kemiskinan dan usaha lain dengan konsentrasi pada 15 desa, umumnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pada 15 desa tersebut Yayasan Damandiri memberikan banyak sekali bantuan agar keluarga di dalamnya bebas dari kemiskinan dan hidup mandiri. Di desa-desa tersebut dikembangkan berbagai usaha ekonomi melalui koperasi dengan modal kita yang melayani pinjaman masyarakat sampai Rp. 52,935 milyar bergulir disalurkan secara kumulatif sampai Rp. 228,478 milyar dengan NPL 2,74%. Mereka juga membangun usaha perdagangan eceran, rumah kemas, tani kita dengan usaha pertanian, demplot dan lainnya. Dikembangkan pula banyak koperasi yang tumbuh dengan baik melalui pengembangan Desa Damandiri Lestari, termauk pengembangan tidak kurang dari 45 homestay yang menarik. Kegiatan melalui kerja sama KKN ke desa-desa di serahkan kepada kebijakan setiap Perguruan Tinggi.
Alhamdulillah sejalan dengan kegiatan itu, gagasan upaya pengentasan kemiskinan, mirip yang dikembangkan melaui Yayasan Damandiri sampai tahun 2015, misalnya melalui dukungan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan bantuan pendampingan bagi desa oleh mahasiswa, atau program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Inpres Keluarga Sejahtera (IKS), atau dorongan pengembangan wisata desa yang banyak dirinntis mahasiswa KKN, dilanjutkan dan diperluas melalui Program dengan dukungan Dana Desa yang langsung di salurkan oleh pemerintah kepada hampir 75.000 desa, yang di masa lalu jumlah desanya baru 60.000, di seluruh Indonesia.
Selamat Ulang Tahun Yayasan Damandiri, sungguh suatu kebahagiaan karena gagasan-gagasan Bapak HM Soeharto banyak dilanjutkan oleh Yayasan dan pemerintah saat ini dengan sungguh-sungguh. Semoga berhasil dan membawa berkah untuk seluruh keluarga di Indonesia. Amin.