Oleh: Dede Farhan Aulawi
*Penulis, Pemerhati Kebijakan Luar Negeri.
Apa yang terjadi di dunia saat ini, terutama terkait dengan hebohnya permasalahan akibat pernyataan dan sikap kontroversial Presiden Perancis hendaknya menjadi pelajaran bagi seluruh umat manusia. Satu sama lain masih harus terus belajar untuk bisa saling menghargai dan menghormati, apalagi untuk hal – hal yang terkait dengan sebuah keyakinan agama. Bukankah slogan Perancis mengatakan “Liberte, Egalite, Fraternite” merupakan suatu semangat dan ideologi yang menjunjung tinggi Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan. Artinya Kebebasan yang menjadi haknya, disaat yang bersamaan juga harus sejalan dan seiring dengan semangat Persamaan dan Persaudaraan. Apa yang dilakukan oleh Charlie Hebdo dengan menghina keyakinan umat Islam sejatinya mencoreng semangat persaudaraan itu sendiri.
Adapun terkait dengan peristiwa pemenggalan kepala seorang Guru Sammuel Patty oleh salah satu siswanya di sana, tentu tindakan tersebut tidak dibenarkan oleh hukum yang berlaku. Kekerasan tentu tidak dibenarkan. Namun apa yang ia lakukan sesungguhnya tidak berdiri sendiri, artinya bukan sesuatu yang tiba – tiba tanpa sebab. Ini sebuah gambaran puncak emosi remaja muslim yang sangat marah kepada guru tersebut, karena mengajarkan kebebasan berekspresi dengan mempertontonkan media terbitan Charlie Hebdo yang dinilainya menghina keyakinan anak tersebut, dan juga tentu menghina keyakinan seluruh umat Islam di dunia. Tindakan anak itu adalah tindakan “akibat” dari suatu “sebab”. Namun disaat yang bersamaan ungkapan Presiden Perancis untuk menarik simpati publik dengan mengeluarkan kalimat lain yang dinilai menghina lagi umat Islam, menjadi satu rangkaian dari kebebasan yang kebablasan. Apakah ia lupa bahwa semboyan “Liberte” yang ia miliki, juga dibatasi oleh semangat “Fraternite”.
Prinsip “kebebasan” yang dimiliki oleh Perancis saat ini, ternyata juga melukai sebagian anak bangsanya sendiri dan melukai perasaan jutaan bahkan miliaran muslim dunia. Bahkan pimpinan umat kristiani di Perancispun, nyatanya menyesalkan implementasi “Kebebasan” yang cenderung tanpa batas sehingga “menghina” keyakinan umat beragama. Kebebasan yang tanpa batas ini, sejatinya tidak membawa obor persaudaraan dan malah membakar semangat permusuhan dan potensi konflik yang lebih besar lagi. Padahal selama ini, semangat perdamaian selalu digaungkan oleh seluruh pemimpin dunia dalam rangka mewujudkan dunia yang aman dan damai, termasuk tentunya sesuai dengan harapan Pemerintah Perancis juga.
Pemerintah dan parlemen Perancis seyogyanya belajar membuka mata dan hati untuk melakukan review dan revisi terhadap UU maupun landasan hukum lainnya yang nyatanya berpotensi menimbulkan konflik umat manusia. Karena dalam prakteknya akibat dari “kebebasan” yang mereka miliki telah menimbulkan korban lain yang tidak berdosa dalam jumlah yang lebih besar. Baik itu korban harta atau jiwa. Bisakah pemerintah dan parlemen Perancis sedikit mengerem ambisi “kebebasannya” demi sedikit rasa “persaudaraan dan perdamaian”. Faktanya Pemerintah Indonesia pun turut mengecam pernyataan Presiden Perancis yang menghina agama Islam dan telah melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia, dan berpotensi memecah belah persatuan antar-umat beragama di dunia. Padahal, saat ini dunia memerlukan persatuan untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa “kebebasan berekspresi” yang mencederai kehormatan, kesucian, serta kesakralan nilai-nilai dan simbol agama sama sekali tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan. Apalagi mengaitkan agama dengan tindakan terorisme adalah sebuah kesalahan besar. Terorisme adalah terorisme. Teroris tidak ada hubungannya dengan agama apa pun.
Kekerasan tentu tidak dibenarkan secara universal, tetapi jangan melupakan sumber kenapa seseorang bisa melakukan kekerasan. Konsep untuk membasmi orang yang dianggap “radikal” tanpa memperhatikan akar penyebab kenapa ia radikal, bisa mengalami kegagalan total. Oleh karena itu, ada baiknya jika Macron sesekali berkontemplasi diri untuk berfikir dan merenung secara jernih untuk mencari “kebijakan solutif” yang bijaksana. Tindakan seperti ini jangan dianggap “tunduk” pada kaum radikal, tetapi berfikir dan bertindak penuh pengayoman untuk seluruh umat manusia yang cinta damai.
Momentum ini harus dijadikan momentum renungan buat seluruh pemimpin di dunia untuk selalu menjaga ucapan dan perbuatan. Dunia ini dihuni oleh banyak umat manusia yang sangat beragam, jadi satu sama lain harus memelihara semangat untuk menjaga persaudaraan dan kerukunan. Kebebasan di ruang publik, sejatinya dibatasi juga oleh kebebasan yang dimiliki oleh orang lain. Jika kebebasan yang dimiliki tanpa batas dan tidak dinaungi oleh semangat persaudaraan, maka “liberte” akan berdiri dan berjalan pincang tanpa “fraternite”. ***