Langkah Lanjut Seusai UU Ciptakerja Ditandatangani

Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH

*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.

Setelah melalui proses yang tidak biasa, ibarat perjalanan melalui rintangan dan hambatan yang luar biasa, maka UU Ciptkerja ditandatangani oleh presiden Jokowi. Itulah UU yang juga dikenal sebagai omnibus law, Undang-Undang Cipta Kerja, pada hari Senin, tanggal 2 November 2020, saat dunia sedang berpaling ke Perancis karena peristiwa pelecehan agama Islam, melalui karikatur pelecehan terhadap Muhammad Rasulullah. UU itu adalah Undang Undang itu bertajuk Cipta Kerja diundangkan dengan pertanda administrasi bernomor 11 tahun 2020.
Salinan Undang-undang Cipta Kerja itu telah resmi diunggah oleh pemerintah dalam situs Setneg.go.id. Dalam situs itu, UU Cipta Kerja memuat 1.187 halaman. Satu paparan reguloasi level Undang Undang tertebal di sepanjang sejarah Republik, dan mungkin tertebal pda level produk rakyat di seantero jagat. Untuk ini, pejabat di lingkungan istana membagikan salinan Undang-Undang Cipta Kerja kepada media.

Substansi Perubahan
Apapun, terlepas dari berbagai hal yang berdimensi negatif dan kekurangan yang dikemukakan, UU ini sudah diundangkan. Satu satunya upaya formal yang secara konstitusional dilakukan adalah dengan mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan yang merupoakan sengketa untuk menguji materi UU ini. Para buruh yang tergabung dalam organisasi KSPI dipastikan menggugat UU dimaksud. Dalam 1×24 jam jika UU Cipta Kerja ditandatangani Presiden Jokowi, besoknya buruh pasti akan langsung menyampaikan gugatan ke MK.

Formalitasnya, MK menguji UU secara materiil terhdap UU yang dimohonkan pengujiannya. Hal itu sebagaimana ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Substansinya lewat uji materiil, MK bisa memutuskan suatu undang-undang dibatalkan secara keseluruhan karena substansinya dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan proses formal, DPR dan pemerintah telah menyetujui UU Omnibus Law Cipta Kerja per tanggal 5 Oktober lalu. Menurut peraturan, Presiden Joko Widodo harus segera mengesahkan UU tersebut dalam jangka waktu 30 hari. Batas akhir 30 hari, tepat jatuh pada 4 November 2020. Kalaupun tidak disahkan maka mutatis mutandis UU itu akan tetap berlaku 30 hari kemudian.

Untuk catatan, protes dan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat tak menyurutkan langkah Presiden Joko Widodo untuk menandatangani Rancangan Undang-Undang ini yang kemudian ditandatangani dengan resmi menjadi Undang Undang bernama Undang Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Idealismenya, dengan UU ini diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.

Bahwa sampai pengesahannya, UU Cipta Kerja atau UU Ciptaker ini masih menuai kontroversi publik. Intinya bahwa belum semua anggota masyarakat memang sudah menerima UU Ciptaker yang diketok sidang paripurna DPR RI akhir pekan lalu dan ditandatangani presiden. Intinya bahwa pemerintah terus mengutarakan alasan pentingnya UU Ciptaker berlaku di Tanah Air.
Memang masih harus terus disosialisasikan tujuan untuk meningkatkan dan mengentaskan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap. Alasannya undang-undang itu memberikan regulasi yang sederhana dan efisien. Substansinya, menjadi negara yang efisien, memiliki regulasi yang simpel dan memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk bisa berusaha secara mudah, merupakan idealism darei UU ini.

Secara substansi, UU Ciptaker yang memasukkan perpajakan sebagai salah satu klaster, memberikan insentif agar Indonesia mampu meningkatkan produktivitas, kreativitas dan inovasi. Bahwa intinya ketika berbicara middle income trap, di situlah letaknya, efisiensi birokrasi, regulasi yang seharusnya disederhanakan. Untuk itu salah satu insentif perpajakan yang dimuat dalam RUU Ciptaker yang sudah ditandatangani presiden itu adalah pembebasan pajak penghasilan (PPh) atas dividen yang didapatkan dari dalam dan luar negeri.

Adapun ketentuan dalam UU Ciptaker adalah dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan paling sedikit sebesar 30 persen dari laba setelah pajak. Kemudian, dividen dari badan usaha luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek harus diinvestasikan sesuai proporsi kepemilikan saham yang diinvestasikan di Indonesia kurang dari 30 persen dari jumlah laba setelah pajak di Indonesia.
Penurunan terhadap PPh Badan yang diturunkan menjadi 22 persen dari 25 persen mulai 2020-2021. Selain itu, juga pajak pertambahan nilai (PPN) dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) khususnya penunjukan subjek pajak luar negeri (SPLN). Beberapa aturan yang tidak masuk dalam UU Nomor 2 tahun 2020, dimasukkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja atau UU Ciptaker karena aturan ini juga untuk memberikan kemudahan dalam investasi.

Secara substantif, UU Ciptaker sangat penting untuk peningkatan dan pemulihan ekonomi rakyat, terutama di masa pandemi Covid-19. “Menurut survei SMRC Juli 2020, ada 29 juta orang kena PHK pada masa tiga bulan pandemi. Harus ada instrumen untuk menyediakan lapangan kerja bagi begitu banyak orang. UU Ciptaker, menurutku, memberi peluang bagi pembukaan lapangan kerja yang banyak. Termasuk dalam hal ini memberi peluang bagi publik secara luas terlibat dalam kegiatan ekonomi, maka ruh utama UU ini adalah mempermudah perizinan usaha.

Intinya bahwa UU Ciptaker adalah respons Pemerintah atas tuntutan masyarakat agar terciptanya lapangan kerja, perbaikan birokrasi, penyederhanaan regulasi, dan penciptaan iklim yang kondusif bagi investasi dan dunia usaha. Ma’ruf menjelaskan, selama ini penciptaan iklim kondusif bagi investasi dan dunia usaha terkendala oleh berbelit-belit serta tumpang tindihnya aturan-aturan, sehingga birokrasi iklim investasi memerlukan waktu yang panjang. Kondisi ini pun berdampak pada terhambatnya perluasan lapangan pekerjaan. Untuk ini diperlukan pembenahan-pembenahan melalui UU yang baru yang lebih responsif, cepat dan memudahkan segala keruwetan yang selama ini ada.

Substansi Pengujian ke MK
Bahwa selain sisi materiil atau substansi yang banyak mendapat tentangan dari buruh hingga akademisi, UU Ciptaker juga dinilai catat formal. Dari sisi prosedur pembuatannya sebagai contoh, UU Ciptaker sering berubah-ubah dari sisi halaman dan substansinya, padahal sudah diparipurnakan DPR. Kasus yang yang paling mencolok misalnya perubahan dari 905 halaman kemudian berubah menjadi 1.052, 1.035, dan 812 halaman. Jumlahnya kembali berubah dengan menjadi 1.187 halaman.
Pada sisi lain, secara substansi UU Ciptaker juga kerap berubah-ubah, mulai dari penambahan kewenangan daerah mengubah kata intervensi menjadi penyesuaian, hingga perubahan substansi soal Migas. Ini semuanya akan diuji di Mahkamah Konstitusi, terhadap perubahan yang terjadi dan tidak konsisten terhdap arah yang ingin dituju. Untuk ini masyarakat harus menunggu, sesuai dengan alur formal dan konstitusional sebagaimana sudah susah payah diuat mekanismenya.***

About redaksi

Check Also

Mengapa Disiplin dan Bersih Begitu Susah Di Indonesia ?

Oleh  : Nia Samsihono Saat aku melangkah menyusuri Jalan Pemuda Kota Semarang aku mencoba menikmati …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca