Mengenang Sehatun Bapak Wafat
Hari itu, bapak duduk di teras. Di atas lincak buatan bapak yang sudah reot. Anak-anaknya melingkar, berusaha menghibur, menemani, sambil sesekali meneliti ekspresi wajahnya yang sendu, 40 hari setelah kepergian ibu untuk selamanya.
Setahun lalu. Mbakyu dan adik saya mencoba mengurangi beban pikiran dan perasaan bapak. Sore itu, kami memang sudah harus meninggalkan rumah tabon untuk kembali ke rantau menjalani rutinitas entah untuk apa.
Mbakyu membujuk bapak untuk tetirah ke Solo, sehari dua hari atau sak kersane bapak asal betah. Ternyata itulah kongkow-kongkow kami bersama bapak untuk yang terakhir. Sebab, hanya beberapa hari setelah kami sampai di Jakarta, ada kabar bapak gerah.
Tidak hanya gerah, tapi malam setelah salah satu cucunya ulangtahun, bapak tak bergerak lagi. Lalu, dibawa ke PKO Muhammadiyah dan Jumat malam 1 November 2019 bapak kundur dipundut Allah SWT. Menyusul ibu yang 46 hari lebih awal kapundut Allah Taala.
Kebiasaan bapak naliko sugeng, selalu update informasi tentang politik nasional. Radio tua menjadi teman setianya. Telingga yang sudah sangat berkurang pendengarannya, membuat radio itu, seperti dikeloni, diletakkan sangat rapat dengan wajah.
Dua acara yang selalu dicari dari siaran radio: program nasional RRI. Atau wayang kulit, di radio-radio local di Jogja.
Bapak selalu update masalah-masalah politik nasional. Mulai dari kenaikan harga BBM, gas melon, pelaku kekerasan atau berita-berita hangat lain. Jika sedang ada pemilihan umum baik nasional maupun daerah, itulah yang diikuti.
Amin Rais, Gus Dur, Megawati dan SBY adalah tokoh-tokoh yang biasa dibicarakan. Juga kiprah Ngarso Dalem, Sultan HB X. Pak Habibie, Pak Harto, dan Bung Karno sesekali juga menjadi topik menarik untuk didiskusikan.
Jika kami sedang ngumpul di rumah, bapak selalu menantang kami anak-anaknya untuk berdebat tentang politik nasional. Bung Karno dan Pak Harto diapresiasi sebagai tokoh sentral dalam pembangunan nasional.
“Bung Karno dan Pak Harto sebagai tokoh bangsa, terlepas kekurangan dan kelebihannya sebagai manusia,” demikian bapak membuka diskusi tentang sosok pemimpin bangsa Indonesia di masa lalu.
“Amin Rais itu kecil tubuhnya, tapi lincah,” bapak mengomentari tokoh ini yang sepak terjangnya sering membuat masyarakat awam salah memahami. Bapak berkomentar sederhana tentang sikap, semangat, dan kelincahan berpolitik Pak Amin.
Bapak bukan orang yang memiliki Pendidikan tinggi, karena memang hidupnya di kampung, tak memberi pilihan selain banting tulang mencari nafkah sejak belia. Bukan di bangku sekolah bapak banyak belajar, termasuk ketertarikannya pada isu-isu politik.
Kerja di kereta (dulu disebut PJKA) hidupnya lebih banyak dihabiskan di dalam gerbong. Hilir-mudik, bolak-balik, Jakarta-Surabaya, Jakarta-Bandung, Jakarta-Banyuwangi. Lewat rel di belakang rumah kami.
Saya, jika malam-malam tanpa bapak, dulu sering menantikan suara klakson sepur yang terdengar dari rumah. Tidak terdengan nyaring memang, karena jarak antara rel di sebelah utara dengan rumah kami, ada 2 kilo. Tapi saya selalu nantikan, malam-malam, membayangkan bapak lewat dengan keretanya.
Tidak banyak sebenarnya, kenangan kami, anak-anaknya, dengan bapak. Kami, bersebelas (yang diberi umur panjang sampai hari ini hanya enam anak), lebih banyak bersama ibu. Bapak, hanya di rumah beberapa hari, untuk kemudian lebih banyak menghabiskan waktu di gerbong kereta.
Saya sering sedih. Sedih yang membuat tak mampu menangis, pertanda kesedihan yang sangat dalam. Sebab, di hari-hari akhir bapak masih sugeng, tidak bisa menemani. Bapak seperti ingin menempa anak-anaknya, untuk jauh darinya agar kuat menghadapi banyak kenyataan hidup. Kini, kami semua, benar-benar telah disapih oleh bapak dan ibu. Sungkem soho bekti kulo mugi konjuk, bopo.(D)