Oleh Dasman Djamaluddin
Setiap memperingati tanggal 17 Agustus, sudah tentu seseorang mengingat peristiwa pada malam harinya, tanggal 16 Agustus 1945.
Tanggal 16 Agustus 1945, di rumah Laksamana Muda Jepang, Maeda tengah berlangsung pertemuan bersejarah antara Soekarno, Hatta dan Ahmad Subardjo di ruang tengah rumah bertingkat dua tersebut. Rumah Maeda yang sekarang terletak di Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta tersebut sudah menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Pada waktu itu, 16 Agustus 1945, bertepan dengan bulan Ramadhan atau bulan puasa. Di buku “Butir-Butir Padi B.M. Diah,” sebagaimana diungkapkan kepada saya/ Dasman Djamaluddin (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992) hal. 57, B.M.Diah menjelaskan, bahwa Bung Hatta yang berada di tempat naskah Proklamasi telah memesan makanan untuk sahur. Hari itu kaum Muslimin sedang melaksanakan puasa.
Di bawah tangga menuju ke lantai dua, memang terdapat ruangan kecil yang terbuka. Di sana waktu itu, Sayuti Melik disuruh Bung Karno untuk mengetik konsep naskah proklamasi tulisan tangan Bung Karno. Sekarang ini, para generasi muda yang berkunjung ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dapat juga menyaksikan patung Sayuti Melik sedang mengetik naskah Proklamasi yang disaksikan oleh B.M Diah.
Patung ini diresmikan pada tanggal 15 Agustus 2005 dan saya waktu itu diundang menyaksikan peresmiannya oleh Kepala Museum waktu itu, Edy Suwardi.
Sayuti Melik yang mengetik naskah proklamasi dan akan dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi WIB itu bernama lengkap Muhammad Ibnu Sayuti. Ia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional yang berperan dalam memerdekakan Indonesia.
Namun peran Sayuti Melik tidak hanya sekedar itu. Masih banyak jasa Sayuti Melik sebagai seorang pahlawan nasional dalam rangka perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia lahir di Kadisobo, Rejodadi, Sleman, Yogyakarta pada 22 November 1908.
Ayah Sayuti Melik bernama Abdul Muin alias Partoprawito, seorang kepala desa di Sleman, Yogyakarta, sedangkan ibunya bernama Sumilah.
Sayuti Melik menikah dengan seorang wartawati sekaligus aktivis masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, Soerastri Karma Trimurti atau SK Trimurti.
Dari pernikahan tersebut, Sayuti Melik dan SK Trimurti dikaruniai dua orang anak, yaitu Heru Baskoro dan Moesafir Karma Boediman. Meninggal pada 27 Februari 1989 ketika berusia 80 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata di Jakarta Selatan.
Berikutnya Burhanudin Mohamad (B.M) Diah merupakan satu di antara tokoh bagian dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Diah waktu itu masuk Angkatan 45 dan pada malam 16 Agusutus 1945, beliau hadir dalam perumusan naskah Proklamasi, waktu itu ada 6 orang di dalam ruangan dengan Bung Karno,
B.M. Diah adalah wartawan, sehingga para tokoh itu perlu sekali akan informasi terbaru tentang kekalahan Jepang.
Setelah Bung Karno, Hatta dan Ahmad Subardjo berdiskusi tentang konsep naskah Proklamasi, maka dilakukan pengoreksian. Ada beberapa perkataan yang dicoret. Kata “pemindahan” diganti “penyerahan.”Pada waktu ini terjadi diakusi lagi. Akhirnya kata “pemindahan” yang dipakai.
Juga kata “dioesahakan,” diganti dengan “diselenggarakan.”Pergantian kata kata ini menghapus kesan bahwa Proklamasi tersebut seakan akan dipaksakan.
Ada yang menarik mengenai konsep asli naskah Proklamasi tulisan tangan Bung Karno dengan pinsil hitam yang ditandatangani bersama Bung Hatta.
Setelah diketik Sayuti Melik, konsep tulisan tangan ini dibuang saja di lantai. B.M Diah yang sejak awal ikut menyaksikan pengetikan di sebuah ruang kecil di bawah tangga kediaman Laksamana Maeda, lalu memungutnya, di simpan di saku. Bertahun tahun dijadikan arsip pribadi.
Memang ada pertanyaan di mana disimpannya waktu itu? Di kantornya, harian “Merdeka” atau di rumahnya BM Diah ?
Yang jelas, teks asli itu sudah dibingkai ketika pada tanggal 19 Mei 1992, konsep asli tulisan tangan Bung Karno ini diserahkan B.M Diah kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Ikut menyaksikan Mensekneg Moerdiono dan Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Tjokropranolo.
_Harmoko dan Herawati Diah_
Situ Gintung, Ciputat, di hari Minggu, 24 April 2016, udara ketika itu sangat cerah. Sekitar pukul 10 pagi, saya melangkahkan kaki menuju ke tempat wisata tersebut.
Kebetulan, ketika akan menuju ke sana, berpapasan dengan mantan wartawan Harian “Merdeka” Sangaji 11 Jakarta Pusat, Agus Salim Suhana. Beliau adalah mantan Pemimpin Redaksi Harian “Merdeka” yang ikut dipecat Bapak Burhanudin Muhamad Diah (B.M. Diah) waktu koran perjuangan tersebut masih eksis mewarnai persuratkabaran di Indonesia. Koran perjuangan tersebut lahir pada 1 Oktober 1945.
Saya dan Agus Salim Suhana memutuskan untuk berjalan kaki saja, karena hari masih pagi. Saya mengangguk-angguk saja ketika menceritakan situasi terakhir Harian “Merdeka.” Ternyata kisruhnya koran perjuangan tersebut mencampurkan masalah bisnis dan keluarga (pribadi).
Sebagaimana ditulis wikipedia, tokoh pers Indonesia B.M. Diah ini memiliki dua istri.
” B.M. Diah meninggalkan dua orang istri, Herawati Diah dan Julia binti Abdul Manaf, yang dinikahinya diam-diam ketika ia bertugas di Bangkok, Thailand. Dari Herawati, ia memperoleh dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, sementara dari istri keduanya ia memperoleh dua orang anak: laki-laki dan perempuan,” tulis wikipedia.
Apa yang ditulis wikipedia itu benar. Bahkan ketika saya menulis biografi B.M. Diah berjudul: ” Butir-Butir Padi B.M. Diah (Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman), ” diungkapkan kepada Dasman Djamaluddin (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992), tulisan konflik dengan istri pertama B.M. Diah, Herawati, ditulis sendiri oleh B.M. Diah.
Menjelang buku terbit, saya dipanggil B.M. Diah ke ruangannya. Saudara Dasman, semalam saya tidak bisa tidur. Saya menulis ini, seraya menyerahkan beberapa lembar kertas kepada saya. Anda sebagai penulisnya, boleh Anda edit dan boleh juga tidak dimasukkan ke dalam buku. Suruh Eveline (Sekretaris pribadi B.M.Diah) mengetik,” ujar B.M. Diah kepada saya.
Saya berpikir, tidak dimasukkan? Bukankah saya menerbitkan buku di perusahaan penerbitan B.M. Diah. Bisa saja buku batal terbit karena saya menolak. Akhirnya buku terbit dengan 552 halaman dan tulisan B.M. Diah pribadi terdapat di halaman 297-315.
Apa yang dibicarakan Agus Salim Suhana tidak membuat saya kaget. Bahkan ketika menulis biografi B.M. Diah tersebut, istri kedua B.M. Diah, Julia Diah diperkenalkan kepada saya.
Agus Salim Suhana terus bercerita. “Saya sebagai Pemimpin Redaksi Harian “Merdeka, ” bingung. Pernyataan Herawati atau putra B.M. Diah dengan Julia, yaitu Asmarawan.
” Saya memutuskan memuat berita dari Herawati Diah. Besoknya, saya dipecat B.M. Diah,” ujar Agus Salim Suhana.
Tak terasa sambil berjalan, kami sampai juga di tempat tujuan ke tempat saung milik wartawan “Merdeka, ” Anang. Memang benar, di sanalah tujuan kami dalam rangka menghadiri Reuni Awak Kelompok Merdeka yang berlangsung hari itu. Kami diberi tahu, bahwa Mantan Menteri Penerangan Harmoko sudah hadir. Sudah tentu kami kaget, karena mantan Menteri Penerangan RI yang juga pernah menjadi wartawan ” Merdeka,” itu telah hadir lebih dulu. Apalagi dibanding usia, sudah tentu lebih tua dibanding kami.
Kami terpaku dan sangat gembira bisa bersalaman dan berbincang-bincang dengan Harmoko, tokoh pers yang sangat dikenal di masa-masa Orde Presiden Soeharto.
Saya bercerita panjang lebar dengan Harmoko yang duduk dengan santainya di kursi roda. Saya mencoba mengingatkan beliau akan peristiwa setelah buku yang saya tulis:”Butir-Butir Padi B.M.Diah,” (Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman),” diterbitkan.
Rupanya B.M. Diah pernah pula lebih dulu menjadi Menteri Penerangan RI mendahalui anak muridnya Harmoko. Ia berpesan kepada saya, bahwa Harmoko ingin menjumpai saya.
“Man,” ujar B.M. Diah kepada saya. “Moko (Harmoko) ingin bertemu Anda.” Waktu itu, entah apa sebabnya, saya tidak pernah menemui Harmoko. Barulah, untuk pertama kalinya selama ini, saya bertemu di acara Reuni Awak Pers Grup Merdeka, Jalan Sangaji 11 Jakarta Pusat.
Saya ceritakan hal tersebut kepada Harmoko, pada hari Minggu, 24 April 2016 tersebut. Ia hanya membalasnya dengan tersenyum. Selama percakapan, meski dengan nada pelan, di usia beliau yang lanjut itu, daya ingat Harmoko masih tajam. Sangatlah wajar jika di usia itu, ia bicara pelan-pelan di kursi rodanya. Bahkan Harmoko sangat suka lagu-lagu kenangan masa lalu. Dua kali beliau memanggil saya agar dipesankan dua buah lagu kesukaannya. Ia senang dan terhibur saat mendengarkan.
Grup Merdeka, mengapa disebut demikian? Di Jalan A.M. Sangaji 11 Jakarta Pusat itulah, sejak Harian “Merdeka” terbit 1 Oktober 1945, surat kabar yang lahir hanya satu setengah bulan setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, terus berkembang, mengembangkan sayapnya yang akhirnya menjadi sebuah grup, Grup Merdeka. Koran “Merdeka” dengan kekhasannya: kop warna merah darah, adalah koran pemberani di masanya. Lebih dari itu, koran tersebut memiliki garis politik yang jelas, sehingga lebih lama bertahan. Setelah Harian “Merdeka” lahir, lalu lahir pula “Minggu Merdeka,” koran berbahasa Inggeris pertama di Indonesia, “Indonesian Observer,” Majalah “Keluarga” dan Majalah Berita ” Topik,” sehingga membentuk grup bernama Grup Merdeka.
Setelah B.
M. Diah menikah dengan Herawati, isteri pertama B.
M. Diah ini selalu mendampingi suaminya di Grup Merdeka.Tanggal, 3 April 2016, usia Herawati Diah mencapai 99 tahun.
Tidak ada yang dapat saya katakan, ketika teman-teman yang pernah menjadi anak didik beliau di Jl.AM Sangaji 11 Jakarta, menyaksikan saat-saat kedatangan Herawati Diah di Gedung Perpustakaan MPR-RI, Kamis, 31 Maret 2016. Detik perdetik kursi roda Ibu Herawati didorong ke tempat acara peringatan 99 tahun beliau. Usia sepertinya tidak menjadi alasan Herawati tidak hadir. Bahkan senyuman di bibir seorang ibu atau guru bagi kami terus tersungging di kerumunan tamu-tamu undangan, sudah tentu di antara jajaran anak didik beliau di Grup Merdeka, Sangaji 11.
_Daya Ingat yang Masih Kuat_
Daya ingat Herawati masih kuat, ia tidak pernah lupa dan kemudian atas ide kawan-kawan terekamlah kenangan tersebut di dalam sebuah bentuk buku berjudul: “99 Tahun Herawati Diah, Pejuang Pers Indonesia.”
Pesannya kepada wartawan agar berbahasa santun yang dibacakan anak kandungnya Nurman Diah di acara tersebut. Sebenarnya ini bukanlah hal asing buat diri Herawati, karena ia telah memulainya dari dirinya sendiri. Pun jika sedang marah, tidak nampak kalimat-kalimat yang dikeluarkannya bernada keras.
Senyuman Herawati tersebut terulang kembali ketika sebuah mobil memasuki Situ Gintung, Ciputat, Minggu, 24 April 2016. Kami bersama-sama membantu mengangkat dan mendorong kursi roda beliau. Kembali senyum tersebut tersungging di bibirnya yang ditujukan kepada kami, ketika usianya sudah 99 tahun. Terimakasih Ibu.
Herawati Diah meninggal dunia, 30 September 2016, di usia 99 tahun.
Sedangkan suaminya B.M. Diah meninggal dunia lebih dulu, yaitu pada 10 Juni 1996 Sewaktu B.M. Diah meninggal dunia, saya tidak hadir di rumah Herawati. Saya hanya menulis sebuah catatan yang dimuat Harian “Merdeka’ pada 11 Juni 1996, “Selamat Jalan Bapak BM Diah.” (Penulis wartawan senior tinggal di Jakarta)