Oleh Dasman Djamaluddin
Haji hari pertama telah dimulai, Rabu, 29 Juli 2020. Mereka telah meninggalkan Hotel Four Points, Makah, tempat menjalani isolasi kesehatan selama 4 hari.
Tujuan para jemaah adalah tempat miqat (tempat dimulainya ibadah haji/umrah) di Masjid Qarn Al Manazil, yang terletak 94 km timur Mekah.
Tempat miqat ada beberapa, tapi untuk haji 2020 yang hanya diikuti sedikit jemaah, hanya ada satu miqat, yaitu Qarn Al Manazil.
Memang muncul peristiwa yang tidak diinginkan, tetapi pasukan keamanan haji Arab Saudi telah menangkap 244 orang tersebut. Semula, mereka berupaya menyusup masuk ke Mekah demi melakukan ibadah haji. Ke 244 orang itu ditangkap pada Selasa, 28 Juli 2020.
Arab Saudi membatasi haji hingga 1.000 calon jemaah asing. Haji yang dibatasi ini terpaksa dilakukan karena merebaknya wabah pandemi virus korona covid-19. Mereka yang ingin memasuki Mekah, juga harus memiliki izin.
“Para petugas keamanan telah menerapkan penjagaan yang ketat di dalam dan sekitar situs-situs suci untuk menegakkan peraturan-peraturan ini dan menangkap para pelanggar,” ujar seorang juru bicara keamanan,Saudi kepada _Press Agency,_ Rabu 29 Juli 2020.
“Dilarang untuk memasuki tempat-tempat suci tanpa izin,” tegasnya.
Sebelumnya, Keputusan Pemerintah Arab Saudi, Senin 22 Juni 2020, pukul 21.30 waktu setempat, memutuskan untuk menggelar ibadah haji 1441 H/2020 M dengan jumlah terbatas. Ibadah Haji tahun ini terbatas untuk Warga Negara Saudi dan Warga Negara asing atau ekspatriat yang saat ini sudah berada atau berdomisili di Arab Saudi.
Bersamaan dengan musim haji 2020 ini, Pemerintah Iran memprotes keputusan sepihak yang diambil Arab Saudi terkait menggelar ibadah haji secara terbatas di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Menurutnya, dengan kebijakan seperti itu, praktis membuat hanya penduduk dan orang-orang yang tinggal di Arab Saudi saja yang bisa menunaikan haji tahun ini.
“Arab Saudi seharusnya mendengarkan pandangan dari negara mayoritas Islam lainnya dan bisa mengambil kesimpulan dari kerja sama mereka dalam memecahkan masalah di tengah situasi pandemi,” demikian isi pernyataan Organisasi Haji Iran, seperti dilansir “Middle East Monitor.”
_Pengaruh Iran di Irak_
Setelah pasukan Sekutu pimpinan Amerika Serikat (AS) berhasil menginvasi Irak dan menggulingkan pemerintahan Presiden Saddam Hussein, tata pemerintahan di Irak mengalami perubahan.
Kekuasaan penuh seorang Presiden di Irak, sekarang ini tidak lagi penuh seperti di masa Presiden Irak Saddam Hussein. Sekarang yang berkuasa penuh di pemerintahan adalah seorang Perdana Menteri yang dijabat dari Muslim Syiah.
Jabatan Perdana Menteri Irak adalah kepala pemerintahan Irak. Posisi Perdana Menteri awalnya adalah jabatan yang dilantik, di bawah kepala negara, dan pemimpin parlemen (namun memiliki kekuasaan yang kecil). Di bawah konstitusi sekarang, yaitu konstitusi yang baru, sang perdana menteri juga akan menjadi pemimpin eksekutif yang aktif.
Itu sebabnya, ketika Haider al-Abadi, mantan Perdana Menteri Irak di twitternya hari ini, Kamis, 8 Agustus 2019 memposting fotonya yang sedang menunaikan rukun Islam ke-5, menunaikan ibadah haji ke kota suci Mekah, banyak mengundang perhatian masyarakat internasional.
Pada hari Minggu, 13 Maret 2019 itu, juga bertepatan dengan diperingati peristiwa kurban, yaitu ketika Nabi Ibrahim a.s yang bersedia untuk mengorbankan putranya untuk Allah, kemudian sembelihan itu digantikan oleh-Nya dengan domba.
Menjelang hari Idul Adha tahun 2019 itu, Haider al-Abadi berkunjung ke Masjid Nabi Muhammad SAW di Madinah. Pada awal berdirinya masjid ini, wilayah itu merupakan batang pohon palem kecil dan sebagian ditutupi dengan daun palem dan sisanya tidak tertutup karena kurangnya potensi Muslim di awal abad itu, ujar Haider al-Abadi.
Selanjutnya, ujar Haider al-Abadi, dengan sarana sederhana, Islam telah menyebar ke seluruh dunia. Dengan iman yang tulus, kita dapat mencapai mukjizat dengan kemungkinan sederhana.
Haider al-Abadi juga di twitternya mengunggah Masjid Quba, sebuah masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah SAW pada tahun 1 Hijriyah atau 622 Masehi di Quba, sekitar 5 km di sebelah tenggara kota Madinah.
Haider al-Abadi adalah mantan Perdana Menteri Irak di masanya. Ia adalah Muslim Syiah.
Sesuai perundang-undangan di Irak yang berlaku sekarang ini, seorang perdana menterilah yang menyelenggarakan pemerintahan.
Bahkan seorang presiden yang sesuai pembagian kekuasaan sekarang, berasal dari Suku Kurdi Irak. Jabatan Presiden sekarang bersifat seremonial. Sementara Ketua Parlemen Irak dijabat oleh Islam Sunni. Di Irak, Islam Sunni yang minoritas.
Oleh karena itu, munculnya Saddam Hussein sebagai Presiden Irak yang waktu itu berdaulat penuh, dipegang oleh Sunni, merupakan sebuah keistimewaan. Seorang Islam Sunni minoritas bisa memimpin penduduk Irak yang mayoritas Islam Syiah.
Membaca Islam Syiah dan Sunni ini, kita teringat tulisan Kiai Said Agil Siradj di “NU online” yang mengatakan, bahwa setelah Rasulullah wafat, timbul berbagai aliran dalam Islam. Ada yang disebabkan oleh alasan politik dan ada pula yang disebabkan oleh perbedaan cara tafsir ajaran Islam terhadap berbagai persoalan baru.
Menurut Kiai Agil, beberapa aliran yang muncul di antaranya adalah Kodariyah, Murjiah, Muktazilah, Khawarij, Syiah, dan Ahlusunnah. Dari sekian banyak aliran yang ada, kini dalam perjalanan 15 Abad Islam, tinggal Sunni (Ahlusunnah) dan Syiah yang tetap bertahan, sedangkan lainnya secara nama sudah hilang, meskipun pengaruh alirannya tetap ada dalam berbagai bentuk.
Kiai Said meyakini, keberadaan dua aliran yang sudah terbukti mampu bertahan ini akan mampu bertahan jauh di masa depan. Pengikut aliran Syiah memiliki kelebihan berupa militansi yang bagus. Militansi yang intelek, bukan militansi yang ngawur, jelas Agil Siradj.
Dalam kasus Palestina, di wilayah tersebut tidak ada orang Syiah, tetapi Iran lah yang paling menganggap musuh dengan Israel, Hizbullah yang paling menganggap musuh Israel.
Mengenai kepintaran orang Syiah, Kiai Said menjelaskan, hal ini bisa dilihat dari latar belakang peradaban Persia yang jauh lebih maju dari Arab. Begitu masuk Islam, tinggal ganti agama, ganti kitab suci Al-Qur’an, tetapi nilai-nilai peradabannya sudah mapan.
“Ahli hadits tidak ada orang Arab, tetapi orang Persia semua. Bukhari, Muslim, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Dawud, Daruqutni, Daylimi,” imbuhnya.
Ia menambahkan yang menciptakan ilmu nahwu, Imam Sibawaih merupakan orang Persia, yang menciptakan ilmu balaghoh atau kesusastraan bahasa Arab juga orang Persia, yaitu Amir bin Ubaid. Yang pertamakali menjadi mufassir besar, yaitu orang Tabaristan, yaitu Ibnu Ja’far Attabari yang membuat tafsir 10 jilid. Imam Ghozali merupakan Persia. Abu Hanifah dan Imam Hambali orang Persia. Sementara Imam Syafii dan Imam Malik orang Arab.
Mengenai hubungan yang harmonis antara Sunni dan Syiah, Kiai Said yang menyelesaikan doktor di Universitas Ummul Qura Makkah ini menjelaskan, Mesir bisa menjadi contoh. Mesir dulu ada kelompok Syiah, Sunni, dan Kristen Ortodok. Mereka bisa hidup damai.
“Ngak pernah ada konflik mazhab. 10 raja dari Syiah di Mesir dari dinasti Fatimiyah. Yang membangun kota Kairo orang Syiah, yang membangun masjid Al Azhar juga orang Syiah,” tandasnya.
Sayangnya, Mesir kini sudah mulai ada yang terseret pada fanatisme kelompok seperti mulai adanya ISIS dan Al-Qaedah.
Dari pernyataan Kiai Said Agil Siradj ini, saya yang pernah ke Irak dua kali, yaitu pada bulan Desember 1992 dan September 2014 merasakan hal tersebut. Tahun 2014, saya pergi ke Masjid Al-Kufah, masjidnya Ali ra, juga ke Padang Karnala. Menurut sejarah, ketika Hussein, anaknya Ali ra inilah muncul perpecahan dalam Islam. Di Irak itu penduduknya mayoritas Syiah. Presiden Irak Saddam Hussein merupakan pemimpim yang beruntung. Ia penganut Sunni, tetapi untuk beberapa dekade sebelum dihukum gantung pernah memimpin penduduk Irak yang penduduknya mayoritas Syiah. (Penulis wartawan senior tinggal di Jakarta)