Oleh Dasman Djamaluddin
Hari Jumat, 24 Juli 2020, saya menerima sebuah Skripsi dari Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial, Program Studi Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Malang, Yulinar Indah Christanti. Judulnya menarik, yaitu: ” Pengaruh Pemberitaan Golkar Terhadap Eksistensi Koran Suara Karya 1971-2005, ” (Februari, 2020).
Mengapa menarik ? Karena mahasiswinya pernah menemui saya di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada 4 September 2019.
Waktu itu, Yulinar menemui saya, karena saya pernah menjadi wartawan Harian “Suara Karya.” Pada hari Jumat ini saya merasa gembira, karena ia berhasil menyelesaikan Skripsinya yang dibuatnya setebal 126 halaman.
Tentang Harian “Suara Karya,” saya teringat akan sebuah file koran terakhir yang disebut Jimmy Rajah, mantan wartawan di surat kabar tersebut, sebagai “Suara Karya” asli. Menurut pengakuannya, file tersebut dirawatnya dengan baik dan dikasih bingkai di dinding rumahnya. Sebuah dokumen bersejarah, ujarnya.
“Suara Karya” adalah surat kabar harian di Indonesia yang diterbitkan oleh PT. Suara Rakyat Membangun, sejak 11 Maret 1971. Surat kabar ini merupakan salah satu corong media Partai Golongan Karya.
Buat saya, hal ini mengingatkan akan Bambang Sadono, yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi harian “Suara Karya.” Awal mulanya, setelah saya menerima Penghargaan dari Sekretaris Presiden Republik Irak, tanggal 24 Juni 1998 terkait buku yang saya tulis: “Saddam Hussein Menghalau Tantangan” (Jakarta: PT. Penebar Swadaya, 1998), selanjutnya tanggal 23 September 1998 datanglah surat dari Menteri Penerangan RI yang ditandatangani Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika, H. Dailami dengan tembusan kepada Menteri Luar Negeri RI dan Duta Besar Irak di Jakarta.
Dari surat Menteri Penerangan RI inilah, kemudian Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ditandatangani Ketua Umumnya Tarman Azzam dan Sekretaris Jenderalnya Bambang Sadono, mengucapkan selamat kepada saya atas penulisan buku tersebut.
Pada tanggal 30 Maret 2000, saya memperoleh surat pribadi dari Bambang Sadono, jika saya masih bisa membantu dirinya bekerja di surat kabar di Jakarta, agar segera menghubunginya. Setelah itu, saya membantu desk luar negeri di Harian “Suara Karya,” karena Bambang Sadono juga adalah Pemimpin Redaksi di koran tersebut. Berikutnya saya bergabung di Harian “Suara Karya,” pada 10 April 2000.
Apa yang dialami Jimmy Rajah tidak saya alami, karena saya sudah keluar dari “Suara Karya.” Memang benar juga, Jimmy Rajah memberi label “Suara Karya” asli. Entahlah, saya tidak mengikuti perjalanan Harian “Suara Karya,” selanjutnya.
Selama saya bergabung dengan Harian “Suara Karya,” selain mengulas masalah-masalah luar negeri, juga melakukan wawancara dengan para Duta Besar negara sahabat di Jakarta.
Dalam rangka mewawancarai para Duta Besar negara sahabat di Jakarta, pernah Duta Besar Malaysia untuk Indonesia di Jakarta, waktu itu, Yang Mulia Dato’Rastama Mohamad Isa setelah selesai wawancara di Kedutaan Besar Malaysia, beliau bertanya kepada saya, di mana saya harus cari hasil wawancara bapak dengan saya ? Saya hanya diam dan langsung menelpon bagaian sirkulasi Harian “Suara Karya,” agar segera mengirimkan koran tersebut ke Kedubes Malaysia di Kuningan, Jakarta. Teka-teki peredaran media ini bagi saya masih tanda tanya, ketika saya bergabung di harian “Suara Karya.” Saya berpikir, kenapa peminatnya masih banyak, tetapi tidak bisa di manajemen dengan baik?
Berikutnya, di merdeka-io.com, saya baca:
“Kalangan media massa di Indonesia selalu berkeyakinan, Suara Karya akan tetap hidup sepanjang Golkar masih ada.”
Tapi takdir Tuhan berkata lain. Koran Suara Karya akan terbit terakhir kalinya pada 2 Mei 2016. Usai sudah perjalanan panjang selama 45 tahun 52 hari. Sebuah koran partai terlama yang pernah hidup di negeri ini.
Kematian yang mengenaskan, karena matinya Suara Karya diberitahukan secara mendadak ke karyawan dan awak redaksinya pada rapat Kamis , 28 April 2016, sore.
“Suara Karya” mati dengan meninggalkan sejumlah tunggakan kertas dan percetakan, tunggakan sewa gedung, gaji karyawan yang belum dibayar 3 bulan, dan sejumlah utang lainnya. Ada pula Dana Hari Tua Karyawan (DHT) yang tidak disetorkan oleh perusahaan sejak 2006 sesuai UU Ketenagakerjaan. Belum lagi pesangon yang harus dibayarkan sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan jika perusahaan tutup secara sepihak.
Apakah kematian ini untuk menghindari kewajiban sebagai sebuah perusahaan?
Atau, apakah matinya “Suara Karya” pertanda kematian sang induk, Partai Golkar?
Golongan Karya, dulu semasa Presiden Soeharto berkuasa enggan memakai imbuhan Partai. Jadi cukup Golongan Karya saja.
Di masa Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, Golkar memperoleh hak istimewanya. Di masa ini, seorang Presiden memegang tiga wewenang sekaligus. Dia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI), dia adalah Kepala Eksekutif dan sangat kontroversial, dia juga adalah Ketua Dewan Pembina Golkar. Sementara kedua partai politik lainnya, masing-masing Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) seakan-akan terpinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang kalimat “seakan-akan” memberi arti bahwa tidak terlalu terlihat apa yang dilakukan oleh Presiden. Jika ada acara-acara ketiga partai tersebut, Presiden selalu menghadiri acara Golkar.Tetapi kalau berlangsung acara dua Partai Politik lainnya, yang hadir cukup wakil yang ditunjuk oleh Presiden. Pada waktu ini, tidak ada kata kalah dalam kamus Golkar jika sedang melaksanakan Pemilihan Umum. Golkar selalu menang.
Pada 21 Mei 1998, Ketua Dewan Pembina Golkar, Soeharto lengser dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Sudah tentu Golkar ikut terseret ke dalamnya dan dianggap bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun. Golkar dihujat, dicaci maki, malah ada yang berkeinginan agar Golkar dibubarkan.
Keinginan membubarkan Golkar ini bukan hanya datang dari sebahagian masyarakat, tetapi juga dari penyelenggara negara di masanya, sebut saja Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika mengeluarkan Maklumat Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur memaklumkan di poin ke-3 nya untuk membekukan Golkar dengan dalih untuk menyelematkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur Orde Baru. Akhirnya sejarah berkata lain, keinginan untuk membekukan Golkar ditolak Mahkamah Agung.
Di era Reformasi, pada 7 Maret 1999, Golkar mendeklarasikan diri sebagai Golkar “baru,” di bawah Ketua Umumnya, Ir.Akbar Tandjung. Di Pemilihan Umum, Juni 1999, Golkar sudah memakai imbuhan Partai. Lengkapnya Partai Golkar. Pada waktu ini masih meraih suara kedua, di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Partai Golkar terus berbenah diri. Ketua Umumnya silih berganti, dari Akbar Tandjung ke Jusuf Kalla dan sekarang Aburizal Bakrie. Sepertinya baru sekarang ini, Partai Golkar menghadapi dilema. Pencalonan Aburizal Bakrie sebagai Presiden RI mengundang kritikan-kritikan tajam, terutama dari Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Elektabilitas Aburizal tidak pernah mampu menandingi calon-calon Presiden RI lainnya. Ada himbauan agar Aburizal mundur saja dari pencalonan dan menggantinya dengan kader-kader Golkar yang lain.
Di detik-detik terakhir Aburizal masih tetap ngotot menjadi Calon Presiden RI. Bahkan hingga Rapimnas Golkar terakhir ada kalimat yang seakan-akan mengatakan, Aburizal adalah satu-satunya wakil sah yang diusung partai berlambang beringin itu untuk menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden RI. Jika ada kader-kader Golkar yang mendukung calon lain selain Aburizal Bakrie, maka silahkan mengundurkan diri dari jabatan strukturalnya. Faktanya, bisa kita saksikan banyak yang mengundurkan diri.
Di calon partai lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkembang pula gerak cepat dinamika partai. PDI-P memilih Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi Calon Wakil Presiden RI mendampingi Joko Widodo. Sepertinya Partai Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie salah tingkah. Mereka menerima jabatan setingkat Menteri dan tidak lagi mendesak jabatan Wakil Presiden atau Presiden, karena posisi itu sudah diisi partai-partai yang berkoalisi lebih dulu. Akhirnya Partai Golkar berlabuh ke Calon Presiden Prabowo.
Memang ada persoalan , mengapa Partai Golkar secara resmi mendukung Gerindra yang jelas jelas Calon Presiden dan Wakil Presidennya berasal dari partai lain. Sementara PDI-P mengusung Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Golkar sebagai Calon Wakil Presiden RI ? Nah, boleh jadi jika nantinya Aburizal Bakrie suatu ketika tidak menjabat Ketua Umum Partai Golkar menjadi Calon Presiden atau Wakil Presiden, boleh saja kader Golkar yang resmi pun tidak wajib mendukungnya. Kalau demikian, apa yang terjadi sekarang ini di Partai Golkar. Sudah tidak adakah rasa soliditas dan solidaritas di antara sesama kader? Kalaulah bisa disebut politik dua kaki, tetapi tidak eloklah melakukan hal demikian. Kecuali kalau Jusuf Kalla bertarung bukan sebagai Calon Wakil Presiden RI.
Inilah yang banyak disesalkan kader-kader Golkar lainnya. Jika semua kader Golkar yang mendukung Jusuf Kalla di PDI-P diwajibkan melepas jabatan strukturalnya, tetapi tidak mungkinlah terhadap Jusuf Kalla. Ia tumbuh dengan sendirinya sebagai kader Golkar yang berhasil. Bagi Jusuf Kalla dengan mengunjungi kediaman Suhardiman, pendiri Partai Golkar dan Soksi, di Cipete, Jakarta Selatan baru-baru ini secara tidak langsung memberikan contoh, beginilah seharausnya kader Golkar berbuat.
Sangat jelas apa yang dikatakan Jusuf Kalla, “Saya datang sebagai kader Golkar dan mantan Ketua Umum Golkar. Datang ke sini untuk minta restu kepada pendiri Golkar,” kata Jusuf Kalla di kediaman Suhardiman Jl. Kramat Batu No.1 Cipete, Jakarta Selatan, Senin, 26 Mei 2014.
Suhardiman merupakan satu satunya pendiri Golkar yang masih hidup. Di usia senjanya ia tetap mengikutin perkembangan politik di Tanah Air.
“Saya tetap mengikuti perkembangan politik dan tahu kalau Pak JK maju dalam Pilpres mendampingi Jokowi. Saya mendukung dan mendoakan Pak JK dan Jokowi agar terpilih dan membawa rakyat Indonesia jadi makmur dan sejahtera,” kata Suhardiman.
“Dalam sejarahya, pemimpin kita itu ada yang keluar masuk penjara, yakni Soekarno. Kedua adalah yang punya wibawa, yakni Soeharto. Ketiga yang akan memimpin Indonesia diramalkan adalah Satrio Piningit. Saya melihat ada tokoh yang datang dari bawah dan itu Pak Jokowi. Jadi Satrio Piningit itu tidak lain Jokowi,” kata Suhardiman.
Di kalimat terakhir Suhardiman ini saya mengomentari Wallahualam. Yang jelas, pertemuan Suhardiman dan Jusuf Kalla ingin meninggalkan pesan, hendaknya di antara kader Golkar, rasa soliditas dan solidaritas serta saling mendukung tetap dipertahankan kader-kader Golkar. Kalau tidak mereka yang melakukan siapa lagi? Ini yang saya puji dari Suhardiman, satu-satunya pendiri Golkar yang masih hidup waktu itu.
Tetapi, dinamika yang berkembang di dalam Partai Golkar, tidak mampu mengangkat keberhasilan surat kabanya, bernama “Suara Karya.” (Penulis Mantan Wartawan Suara Karya)