Ini dia Montreal. Tiba-tiba, mata mengerjap, dada bergetaran saat memasuki pusat kota. Ada nuansa yang berbeda. Sementara itu, suasana yang segera terasa serupa ketika memasuki Bandung, dulu sekali. Waktu pertama datang ke kota cantik itu, pindah dari Dusun Nganjir untuk kuliah sebagai bekal berkarir.
Dan, saya kembali jatuh cinta. Seperti jatuh cinta pas pandangan pertama pada kota Bandung. Lalu, apa yang bisa dikatakan dari Montreal? Banyak. Tapi yang identik adalah wanita cantik, modis, feminin, fashionate, dan wangi. Itu, sudah saya temui 23 tahun silam. Rasa-rasanya, kota ini, layaknya kota mode Paris, Perancis.
Dan benar, para wanita cantik itu fasih berbahasa Perancis. Tinggal saya yang sering kesulitan berkomunikasi dengan mereka. Padahal saya mengajaknya berbicara dengan bahasa Inggris yang sebisa mungkin saya usahakan tidak berbalut Inggris ndeso.
Saya mencoba membandingkan dengan suasana di Corvallis, Portland, San Fransisco, Newyork, atau kota di USA lainnya yang saya pernah tinggali atau kunjungi. Tampak nyata beda.
Sepertinya, di Montreal penampilan sangat diperhatikan. Termasuk pola makan dan olahraga yang menjadi unsur utama penunjang penampilan. Tidak sulit, mendeskripsikan wanita Montreal. Hanya perlu satu kata: molek.
Molek itu saya devinisikan menarik yang mendekati sempurna. Berat badan ideal, tinggi badan menjulang, serta paras yang kalua saya lihat-lihat, tidak ada yang jelek. Semua wanita yang sedang berjalan, duduk-duduk, atau yang sedang bekerja, kok ya serba mempesona.
Nah, ini juga yang jarang terjadi di kota lain. Jika di kota lain, orang dihadapkan dengan berbagai masalahnya di muka bumi, tapi di Montreal kehidupan dan permasalahannya justru banyak terjadi di bawah tanah.
BACA JUGA: NKS Menulis Kanada-1: Meninggalkan Corvallis tanpa Tangis…
Tak tahu pasti mengapa terbentuk peradaban di bawah tanah, sehingga mirip semut yang tak terlihat di permukaan bumi saat memasuki lubang pintu rumahnya di bawah tanah. Saya yakin, ada alasan kuat peradaban ini bisa terbentuk. Bisa saja karena sejarah masa lalu, faktor cuaca, atau faktor geografi.
Underground city atau kota bawah tanah Montreal ini dikenal dengan nama jaringan RESO. Melihat semua itu, jiwa ndeso saya bergejolak. Kok bisa ya. Semua komplet. Ada perkantoran, toko-toko, restoran, hotel, galeri dan masih banyak lagi layanan lainnya.
Antara gedung satu dan gedung lainnya pun nyambung terhubung. Walau gedung nyambung terhubung, namun di atas permukaan bumi seolah tak menyatu karena lorong penghubungnya berada di bawah tanah. Bukan lorong kosong melompong, namun dihiasi toko dan restauran.
Pola peradaban ini, membuat Montreal agak senyap. Tapi lihatlah di bawah tanah, keriuhan ekonomi, dan segala kesibukan khas kota besar, ada di bawah bumi bukan di muka bumi. Sebuah cara ekfektif mengurangi kemacetan jalan raya.
Kalaupun seseorang menikmati hari di underground city, ia tak perlu takut kepanasan jika sedang musim panas tiba. Dan yang paling utama adalah saat musim dingin tiba. Underground city menjadi tempat berlindung dari dinginnya suhu ketika salju sudah memenuhi jalanan permukaan bumi kota Montreal.
Saat sampai di Montreal, saya langsung jatuh cinta dengan kota ini. Tiga bulan tak bakal terasa lama. Benar. Jatah saja tinggal di Montreal memang hanya tiga bulan. Menjalani on the job training di Lembaga konsultan aktuaria, Sobesco Ernst & Young.
Selain jatuh cinta pada kotanya, saya seperti menemukan tempat nyaman di Montreal karena bisa mendapat banyak hal. Terutama, guru baru yang menambah bekal ilmu. Malah, tak hanya sebagai guru, dia juga seolah atasan yang membimbing saya memahami dunia kerja seorang aktuaris.
Namanya Daniel Lacroix. Saat menyebut nama itu, saya sampai-sampai diajari bagaimana membacanya yang benar, Daniel Lakroa. Bertemu dengan Pak Daniel, saya harus membatinkan syukur. Lagi-lagi mendapati orang baik yang tak saya kenal sebelumnya.
BACA JUGA: NKS Menulis Corvallis-1: Tirakat hingga Amerika Serikat
Bertemu Daniel Locroix, saya layaknya menemukan orangtua yang sangat sabar mengajari dunia kerja di konsultan aktuaria. Programing adalah salah satu yang harus saya kuasai walau sejatinya saya tak terlalu menyenangi.
Dari apartemen menuju kantor Sobesco E & Y, saya cukup berjalan kaki. Tak perlu lama, hanya sepuluh menit. Sudah pasti (ini yang menyenangkan) jalan kakinya menyusuri lorong kota bawah tanah Montreal.
Saat jam istirahat, sering saya sholat dan makan siang di apartemen. Maklum agak sedikit ribet menjadi minoritas muslim di kantor konsultan aktuaria itu.
Sesekali Daniel Lacroix mengajak makan siang bersama dengan menu spesial khas Montreal. Salah satunya yang saya baru kenal adalah poutine. Poutine ini dimasak dari potongan kentang goreng yang dicampurkan dengan irisan keju segar. Nah, poutine ini dilumuri saus kental (gravy) warna kecoklatan sehingga warna dan bau harumnya semakin menggoda. Meleleh di lidah saat dimakan panas-panas.
Ada lagi yang menarik dan terasa enak memanjakan lidah. Namanya smoked meet sandwich Montreal atau sandwich daging asap Montreal. Sandwich Montreal ini dibuat dari daging sapi yang diiris tipis lalu ditumpuk berlapis-lapis. Bumbunya sangat sedap meresap. Sepertinya bumbu-bumbu yang digunakan dari rempah-rempah pilihan seperti lada, ketumbar, biji sesawi, dan bawang putih. Rasanya hanya ada dua: enak dan enak sekali.
Ternyata terdapat cukup banyak orang Indonesia tinggal di apartemen yang sama. Banyak yang sebaya dengan saya. Mereka adalah para mahasiswa program S2 atau S3 di McGill University. Lebih mengherankan lagi mereka belajar agama. Para dosen muda dari berbagai IAIN sedang menempuh program master dan doktoral di Institut Studi Islam, McGill University.
Saya terheran karena yang saya tahu jika belajar agama Islam para pelajar atau mahasiswa pergi ke universitas di wilayah negara Timur Tengah. Nama-nama para profesor di McGill University pun nampak bukan nama-nama muslim.
Namun saya jadi teringat banyak peneliti dan ahli sejarah Islam dari berbagai kalangan. Bukan hanya dari kalangan muslim saja.
BACA: NKS Menulis Corvallis-2: Nganjir, Mimpi Pertama di Amerika
Suatu ketika saya diminta untuk bercerita tentang asuransi, pekerjaan yang beberapa tahun lalu saya geluti dan dua tahun terakhir saya lebih dalami di bangku kuliah. Dibungkus dalam kemasan pengajian para calon master dan calon doktor bidang agama. Tentu saya tak akan mampu menjelaskan dalil dan fikih tentang asuransi. Kala itu kajian tentang asuransi dengan prinsip syariah belum populer.
Jadilah saya mendongeng tentang asuransi: bagaimana prinsip-prinsip asuransi, jenis asuransi (jiwa dan umum) dan produk-produk asuransi. Tentu dengan panjang lebar saya bercerita tentang asuransi sepanjang yang saya ketahui, terutama tentang manfaatnya. Setelah selesai, barulah mereka para calon doktor bidang ilmu agama membahas seru sesuai bidang keilmuannya.
Sudah lama sekali cerita ini sehingga saya tak lagi ingat para calon doktor satu per satu. Namun, dari yang tak banyak yang saya ingat, tiba-tiba memori saya mampu mengingat nama seorang rektor salah satu IAIN. Rektor yang kemudian diberi amanah yang lebih tinggi di Jakarta.
Saking banyaknya mahasiswa yang belajar di McGill University dilirik oleh yang memiliki jiwa bisnis. Salah satu istri dari yang sedang tugas belajar mencoba membuat tempe. Tentu tak langsung berhasil, namun akhirnya ia mendapat dollar yang sangat lumayan dari olahan tempe seperti orek tempe. Saya pun pernah merasakan kelezatannya.
Saat menyenangkan memang ketika dapat dengan puas makan masakan Indonesia seperti olahan dari tempe. Dan, gratis. Ya, itu terjadi saat merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia tiba tanggal 17 Agustus 1997. Saya membawa serta anak-istri ikut merayakannya di Kedutaan Besar Indonesia di Ottawa. Dengan dijemput bus dari kedutaan, saya bersama rombongan yang sebagian besar mahasiswa McGill University bersama keluarganya menuju ibu kota negara Kanada.
Tak hanya makanan yang berlimpah ruah. Ada pula berbagai produk langka di Ottawa dan ada hanya di Indonesia. Contohnya rokok dengan merk tertentu. Saya yang tidak merokok sudah diminta oleh salah satu rekan untuk mengambil rokok yang diproduksi di kota Kediri, Jawa Timur itu.
Tentu sebungkus rokok kesukaan rekan itu sangat berarti untuk dinikmati setelah melahap sepiring nasi. Apalagi rekan saya ini tak membawa serta keluarga. Mungkin dengan menghisap asap rokok, itu bisa menenangkan jiwanya. Seolah merdeka. Tapi seperti yang tertera di bungkus rokok, sejatinya rokok merusak raga. Rokok membunuhmu. Begitu pesan pabrik rokok yang tak pernah dibaca oleh penggemarnya. (Bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS