Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
Sengkeraut atas keberadaan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) masih belum selesai. Unjuk rasa masih terus berkembang di sejumlah titik di tanah air, memprotes keberadaan RUU dimaksud, yang tidak segera direspon secara kelembagaan oleh DPR. Mundurnya beberapa kekuatan sospol di DPR masih belum memberikan keyakinan bahwa RUU itu akan ditarik dan tak akan dibahas untuk seterusnya.
Di tengah sengkarut pembahasan RUU UUHIP ini, muncul suara untuk mempidanakan partai politik pengusung RUU dimaksud. Permasalahan yang mengemuka adalah tentang kemungkinan bisa diajukannya Parpol pengusung RUU ke pengadilan dan dijatuhi sanksi, khususnya sanksi pidana. Untuk itu rekonstruksi atas kemungkinan dimaksud perlu diklarifikasi sehingga tidak ada penggambaran secara emosional terhadap kemungkinan dimaksud. Untuk itu ada dua kemungknan, yaitu secara normatif dan kemungkinan secara secara praktis.
Secara Normatif
Teori konvensional menyebut bahwa tindak pidana terjadi karena berhukum kepada rumus N+K=P (niat tambah kesempatan melahirkan perbuatan). Ini teori pidana murni, tanpa embel embel politis. Bagi pelaku tindak pidana, apapun jenisnya maka pelakunya, berkelompok atau individu dapat dijatuhi pidana sesuai ketentuan pasal yang mengatur mengenai tindak pidana dimaksud.
Sekaitan dengan ini, ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dapat dijadikan sebgai dasar hukum untuk menjerat pelakunya. UU ini secara khusus direkonstruksi untuk mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Keberadannya adalah untuk dari adanya ancaman dan bahaya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, yang menjerat tindakan yang terbukti bertentangan dengan agama, asas-asas dan sendi kehidupan bangsa Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa. Itu dinyatakan di dalam penjelasan Umum dari UU dimakisud.
Secara normative, sehubungan dengan adanya RUU HIP, maka rekonstruksi hukum atas masuknya ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan berbagai implikasi yuridisnya menjadi dasar pengenaan ketentuan dimaksud. RUU-HIP menggunakan frasa ideologis, namun substansi inti dalam RUU justru memasukkan dasar filsafat negara (philosofische grondslag) dan bahkan melakukan perubahan terhadap Pancasila. Perubahan dimaksud antara lain yang paling prinsip adalah perihal Ketuhanan Yang Maha Esa dan Keadilan Sosial. Keberadaan Keadilan Sosial disebutkan dalam RUU-HIP sebagai Sendi Pokok Pancasila. Hal ini cenderung merubah dasar negara.
Secara normatif hal ini cenderung merubah Pancasila. Secara tidak langsung merubah eksistensi ketentuan dalam Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, akan tergantikan dengan “Negara berdasar atas Keadilan Sosial”. Padahal sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi titik sentral dari kehidupan kenegaraan.
Pada perspektif lain, terbuka pintu masuknya konsep Keadilan Sosial versi Sosialisme-Komunisme. Kemudian perihal Ketuhanan yang berkebudayaan dalam RUU-HIPdan konsep Ketuhanan yang berkebudayaan melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang kemudian terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong yang mengabaikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan demikian menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 menunjuk pada perbuatan tindak pidana berupa menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Hal ini memenuhi unsur sebagaimana diatur pada Pasal 107 huruf d yang menyebutkan, ”Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Ketentuan pada Pasal 107 huruf a menekankan pada perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang juga dilarang dan merupakan Tindakan kejahatan terhadap keamanan negara, khususnya pada veresi konseptual yaitu melakukan menyebarkan atau mengembangkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.
Secara normatif, ketentuan berikutnya yaitu pada Pasal 107 huruf d, pelaku menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara. Hal demikian menjadi dasar yang dapat diterapkan kepada siapapun, baik bersifat pribadi maupun kolektif untuk bertanggungjawab secara yuridisd atas perbuatannya menggganti dasar negara yang berpotensi melakukan kejahatan terhadap keamanan negara.
Secara Prtaktis
Secara praktis, dalam kaitannya dengan kehadiran RUU HIP, Partai pengusul berupaya secara terstruktur dan massif memasukkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dapat dipidana dengan dasar adanya kesalahan sebagai unsur subjektif yang ditandai adanya kesengajaan dengan maksud. Partai pengusul dengan para anggotanya tentu terkait pernyataan kolekifnya.
Para pelaku, membuat pernyataan pikiran kolektif guna pemenuhan maksud perubahan Pancasila sebagaimana terdapat dalam RUU HIP. Pernyataan pikiran kolektif ini melakukan perbuatan berupa penggunaan pikiran secara salah. Secra praktis, aktivitas yang dilakukan termasuk di dalamnya mengeluarkan pikiran sebagai bentuk perbuatan yang berpotensi dan cenderung serta dapat diklafisikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam kaitan ini, keengajaan merupakan tanda yang paling utama untuk menentukan adanya kesalahan pembuat yang menjadi unsur perbuatan pidana.
Secara praktis, tindakan mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara, termasuk kejahatan makar yang membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tindakan, yang jika dilakukan secara terncana, terstruktur dan kolektif merupakan tindak pidana yag dilakukan oleh korporasi, dan itu dapat dijatuhi pidana berdasarkan pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Secara praktis pula, korporasi berupa Partai Politik ini juga dapat dibubarkan. Untuk itu, pintu pertama, masuk melalui inisiatif yang bersifat internal. Keinginan membubarkan berasal dari dalam partai sendiri. Bentuknya bisa berupa keputusan internal partai untuk membubarkan diri atau menggabungkan diri ke partai lain. Cara yang tentunya awam untuk dilaksanakan.
Cara di atas untuk saat ini tentu merupakan hal yang mustahil. Bagaimana tidak, begitu banyak bahkan hampir setiap orang ingin masuk dan menjadi pengurus Parpol untuk mengabdikan diri demi nusa dan bangsa melalui Parpol (Bahasa idealnya). Bahasa praktisnya untuk mencari makan dan sebagai mata pencaharian kemudian masuk Parpol. Jadi mana mungkin membubarkan piring nasi?. Itu sama saja bunuh diri.
Pintu masuk kedua, melalui pintu eksternal. Partai dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Alasan pembubaran partai melalui MK bersifat limitatif. Ketentuannya terdapat dalam Pasal 40 Ayat 2 dan Pasal 40 Ayat 5 UU Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Intinya bahwa Partai dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan. Untuk usul pembubaran itu sendiri datang dari pemerintah dan sebagai tambahannya juga dari pihak lain yang punya legal standing. Kasat mata, mungkinkah untuk permasalahan yang berhubungan dengan RUU HIP ini pemerintah mengajukan pembubaran Parpol pengusung, yang notabene adalah pemerintah sendiri?. Hil yang mustahal, atau mimpi.
Terhadap tindak pidana yang dilakukan korporasi dalam hal ini Parpol secara normatif sangat terbuka. Namun praktisnya sekali lagi juga hal yang mustahil. Artinya mustahil mengharapkan alasan pengajuan RUU yang berupaya merubah dasar negara sebagai inisiatif eksternal ini menjadi dasar pembubaran Parpol pengusul. Kemungkinan yang dapat dimasuki adalah mengacu pada Pasal 48 Ayat 3 UU Parpol memberikan kewenangan kepada MK untuk membubarkan partai atas alasan melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundang- undangan. (Penulis, Notaris tinggal di Sampit)