Yogyakarta, Koranpelita.com
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama istri Siti Atikoh tampil luwes saat mengikuti Nitilaku UGM 2019, Minggu (15/12). Keduanya tampak serasi mengenakan kostum Rama-Shinta. Keluwesan Ganjar juga menjadi daya tarik sepanjang jalan dari Keraton Yogyakartahingga Kampus UGM.
“Temanya ini kekayaan budaya Nusantara. Ada yang ‘mekso’ pakai baju wayang, bangun setengah 4 pagi, terus didandani (dirias). Itu orangnya ‘mekso tenan’ (memaksa betul). Apakah nampaknya ia tertipu. Ini kostumnya wayang, cari pinjaman susah, ternyata sampai sini semua pakai wayang. Tapi itulah yang selalu unik, selalu ngangeni, ini agak nyeleneh juga,” kata Ganjar Pranowo.
Sepanjang perjalanan, Ganjar mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Salah satu yang menjadi perhatian Ganjar adalah sambutan dari ibu-ibu pengajian bersama suster. Hal itu menjadi bukti meskipun berbeda tetapi tetap satu dan harmonis.
“Jalan dari sana (Keraton) tentu banyak memori, banyak bertemu masyarakat di kanan kiri. Sambutan masyarakat luar biasa. Ini saya sedang bersama suster dan ibu-ibu pengajian. Ini sangat menarik dan suasana itu yang selalu kita rasakan sejak puluhan tahun lalu di Jogja. Biasanya kawan-kawan yang hidup di Jogja dan pernah belajar di Jogja itu tidak baperan, selalu bersahabat dan menjaga persaudaraan kita,” ungkap Ketua PP KAGAMA yang menyempatkan diri berfoto bersama dan menyapa satu persatu barisan ibu pengajian dan suster tersebut.
Tradisi Nitilaku UGM 2019 tersebut memang mengangkat kekayaan Nusantara bersama masyarakat. Menurut Ganjar, kegiatan berjalan kaki dimulai dari Keraton Yogyakarta untuk membuka memori dan selalu mengingat peran besar Keraton Yogyakarta terhadap kelahiran Universitas Gajah Mada, khususnya peran Dari Hamengku Buwono IX.
“Dari akar itu, kawan-kawan KAGAMA belajar dan hari ini kita menempati tugas masing-masing untuk membangun negara. Mengingatkan kita semua bahwa ‘kacang kui ora entuk lali karo lanjarane’. Itulah yang selalu kita gunakan sebagai pegangan untuk selalu mengabdi,” jelasnya.
Ganjar menambahkan budaya merupakan tata nilai yang bisa menjadi pegangan sekaligus bisa dipakai untuk relasi sosial dan politik. Pendekatan dengan cara budaya terasa lebih enak dirasakan. Seperti yang dicontohkan dalam Nitilaku UGM 2019 itu.
“Apapun yang terjadi ketika hari ini kita bertemu itu mewarnai. Kawan-kawan yang hadir di sini terlihat berbeda, dari bajunya saja sudah berbeda. Tapi kita berkumpul di sini atas nama persatuan seperti sila ketiga Persatuan Indonesia,” pungkasnya.
Rektor UGM Prof Panut Mulyono mengatakan budaya itu erat kaitannya dengan cinta, keindahan, dan persatuan. Hal itu yang selama ini mewarnai kiprah UGM dalam turut serta membangun bangsa dan negara. “Kita harus bersatu dengan berbagai mozaik dan keberagaman,” katanya.(sup)