Ketika putri saya yang kuliah di Surabaya mengirim sebuah foto bersama teman-temannya, waktu baru saja bergulir dari hari kemarin. Itu berarti hari anyar masih sangat dini. Tanggal 10 November baru saja terlewati dan berganti hari ke hari berikutnya. Tapi masih di bulan November.
Tentu ada kecemasan yang lumrah dari seorang ayah, mengapa putri kedua sampai terlalu larut pulang ke kos-kosannya. Tapi bukan anak milenial jika kemudian diam dan tidak punya alasan yang tak terbantahkan. Disertai bukti.
Tanggal 10 November adalah hari penting, apalagi untuk arek Suroboyo. Juga bagi ITS. Orang memang sering salah menuliskan kepanjangan kampus ini. Padahal namanya sangat erat hubungannya dengan spirit 10 November. Sebab ITS adalah Institut Teknologi Sepuluh November.
Dan anak wedok yang sudah setahunan menjadi arek Suroboyo, terlibat dalam peringatan 10 November. Begitulah anak bungsu saya itu memberi alasan, lengkap dengan lampiran foto bersama mahasiswi lainnya.
Tak disangka ia menjadi panitia pelaksanaan peringatan Hari Pahlawan yang digelar oleh BEM kampusnya di Taman Makam Pahlawan Surabaya. Gelaran acara Aksi Sepuluh November dimulai pukul 21.00 WIB. Cara mahasiswa mengenang para pahlawan dengan memang beda. Pembukaannya, orasi semangat. Setelah itu, orasi lagi. Orasi Kebangsaan. Baru musikalisasi puisi, renungan, doa, serta diakhiri tabur bunga.
Mengapa acara dipilih malam, pasti ada alasan tersendiri. Walau tak pasti jawabannya, saya menduga pada pagi hari hingga siang di tempat yang sama dilakukan upacara oleh instansi pemerintah. Tapi bisa jadi, karena suasana malam hari di Taman Makam Pahlawan Surabaya, menambah hikmat dalam meresapi arti Hari Pahlawan.
Dari rundown acara yang kemudian dikirimkan, saya tahu bahwa kegiatannya memang hingga larut. Hal yang baik selaku anak muda penerus bangsa menghargai para pejuang dan pahlawan. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sebuah pesan Bung Karno yang terkenal dengan idiom Jasmerah.
Nah, suasana yang lain lagi terjadi di kantor, Senin, 11 November 2019. Upacara memperingati Hari Pahlawan, dimundurkan karena tanggal 10 November 2019 hari Minggu. Tapi yakinlah, meski tidak tepat pada 10 November, tak ada makna yang dikurani: tetap hikmat, penuh haru, penuh rasa hormat kepada para pahlawan bangsa.
Yang didapuk sebagai pembina upacara adalah sahabat saya Direktur Umum dan SDM, Bapak Naufal Mahfudz. Seharusnya saya menjadi Pembina Upacara mengingat hari itu saya menjadi pejabat pengganti sementara Pak Direktur Utama yang sedang dinas. Namun, saya memohon dapat digantikan oleh Pak Direktur Umum SDM.
Hari itu, Pak Naufal menjadi pahlawan bagi saya karena berkenan tampil sebagai Pembina Upacara. Sementara itu, Pak Romie, Deputi Direktur Project Management, sepertinya memang langganan menjadi komandan upacara.
Mengapa harus digantikan? Bukan saya menolak menjalankan tugas sebagai Pembina Upacara. Tapi lebih disebabkan bagi-bagi tugas. Terutama saat menyiapkan bahan sambutan. Karena selepas upacara, saya ditugasi mewakili Direksi dalam rapat pembahasan capaian kinerja BPJS ketenagakerjaan Triwulan III 2019 dan rencana kegiatan 2020.
Saat ikut upacara, saya tertegun. Pak Naufal adalah pemeran pengganti yang hebat. Saya menyimak kalimat demi kalimat yang disampaikan oleh Pembina Upacara dalam sambutannya. Tak terasa air mata jatuh berlinang, seolah saya merasakan apa yang dirasakan oleh para pejuang atau mungkin merasakan menjadi anak atau cucu pahlawan yang gugur saat peristiwa 10 November 1945 itu.
Untung kaca mata saya membantu menutup malu. Malu bukan karena dianggap cengeng, tapi malu pada diri sendiri yang sering telah merasa berjasa. Padahal sebenarnya tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan para pahlawan yang berjuang bertaruh darah.
Saya kutipkan kalimat penting Amanat Pembina Upacara yang membuat merinding. Begini: bahwa Jumat, 9 November 1945, pesawat-pesawat Inggris dari udara menjatuhkan selebaran ke seluruh penjuru kota Surabaya yang berisi ultimatum kepada para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia untuk menyerahkan senjata pada 10 November 1945 paling lambat pukul 06.00 pagi hari.
Selebaran itu juga berisi pesan kepada siapa saja untuk menyerahkan orang yang bertanggungjawab atas tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby pada tanggal 30 Oktober 1945. Tak diduga. Alih-alih takut dengan ancaman tersebut, para pejuang dan rakyat Surabaya malah menantang Inggris dan para sekutu untuk bertempur secara terbuka.
Sabtu, 10 November 1945, Bung Tomo menyemangati para pejuang dan rakyat, “… selama kita masih punya darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi bendera Republik Indonesia, maka selama itu pula tidak akan mau menyerah pada siapa pun juga.”
Pertempuran pecah. Pusat kecamuk ada di dekat bioskop Sampoerna dan pabrik rokok Liem Seeng Tee, Surabaya. Ribuan nyawa beradu dengan mesiu. 6.000 pejuang kemerdekaan dan rakyat, menjadi paderi. Sedangkan 2.000 tentara sekutu, tersapu semangat 10 November.
Saya menarik nafas dalam, mendengar kalimat Pembina Upacara. Haru menderu. Saat berikutnya, saya ikut mendoakan seruan Pak Naufal yang mengajak anak bangsa terutama insan BPJS Ketenagakerjaan untuk menjadi Pahlawan Masa Kini, bisa terwujud.
Aku Pahlawan Masa Kini, tema yang dirancang pemerintah pada peringatan Hari Pahlawan tahun ini, rasanya pantas diwujudkan. Menjadi Pahlawan Masa Kini dapat dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia, dalam aksi-aksi nyata seperti menolong sesama yang kena musibah, tidak melakukan hal yang merugikan orang lain, menorehkan prestasi di berbagai kehidupan, memberikan kemaslahatan bagi masyrakat serta membawa harum nama bangsa di mata internasional.
Sambutan yang disampaikan Pak Naufal, seolah membangunkan diri dari enaknya tidur dan kenyangnya perut yang semakin membuncit. Sebutan Aku Pahlawan Masa Kini rasanya masih jauh, sehingga kalimat itu, tak pantas dilekatkan dalam diri ini.
Saya merasa belum melakukan aksi berarti untuk negeri. Saat orang lain terkena musibah, boro-boro menolong. Biasanya, justru sering menyalahkan mereka kenapa sampai muncul musibah. Apalagi jika bicara prestasi, saya harus menunduk malu untuk hal ini.
Lamunan lalu jauh ke negeri asyik tempat kelahiran saya bernama Kulon Progo. Khususnya dusun yang hingga saat ini pun jika hujan mendera, kendaraan tak leluasa melewatinya. Dusun Nganjir. Belum ada aksi saya yang berarti untuk dusun Nganjir.
Mimpi membangun dusun lama sudah tersusun, tapi tak tahu harus mulai dari mana dan bagaimana mewujudkan mimpi itu. Haruskah pulang sebelum dusun saya hilang diambil para pencari untung dari hadirnya Bandara baru di Kulon Progo?
Tidak. Barangkali saya akan segera memulai langkah. Mungkin programnya bisa dinamai NKS, Nganjir Kampung Sejahtera. Inilah bagian dari program Belabeli Kulon Progo yang semogalah bukan hanya mimpi. Tapi mimpi yang terealisasi.
Salam NKS: Nilai Kepahlawanan Sejati